Oleh: Sulaeman
Pendahuluan
Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, memiliki potensi sumber daya air yang luar biasa dengan keberadaan Waduk Darma, mata air Cibulan dan Linggarjati, serta jaringan sungai yang relatif stabil sepanjang tahun. Namun, kondisi di lapangan memperlihatkan paradoks: ketimpangan distribusi air masih menjadi masalah serius. Balai Pengelolaan Sumber Daya Air (BPSDA) Jawa Barat (2022) menyebutkan, “Distribusi air di Kuningan belum merata, menyebabkan ketimpangan antara wilayah yang menjadi sumber air dengan daerah yang justru kekurangan.”
Fakta menunjukkan bahwa air dari Waduk Darma yang diharapkan menopang kebutuhan warga setempat justru lebih banyak dialirkan ke Kota Cirebon. Mata air Cibulan dan Linggarjati pun lebih dominan dikomersialisasikan, sementara Talaga Remis menghadapi penurunan debit akibat eksploitasi berlebih. Ironisnya, menurut Dinas Lingkungan Hidup Kuningan (2023), terdapat 12 desa di 5 kecamatan yang rutin mengalami krisis air bersih saat musim kemarau meski dekat dengan sumber air utama.
Situasi ini memunculkan pertanyaan mendasar: di manakah letak keadilan dalam pengelolaan air ? Soemarwoto (2023) menegaskan dalam kajian ekologi politiknya, “Ketimpangan akses terhadap sumber daya air kerap mencerminkan ketidakseimbangan relasi kekuasaan dalam pengambilan keputusan.” Maka, artikel ini mencoba menganalisis pola distribusi air di Kuningan, mengidentifikasi dampak sosial-ekonomi-lingkungan, serta menyodorkan rekomendasi kebijakan yang adil.
Waduk Darma: Sumber Air yang Ironis
Waduk Darma, dengan kapasitas tampung hingga 25 juta meter kubik, seharusnya menjadi jantung pasokan air bagi pertanian dan kebutuhan rumah tangga warga sekitar. Namun, realitasnya 60% air waduk ini justru mengalir ke Cirebon untuk memenuhi kebutuhan industri dan domestik. Menurut Dinas PUPR Kuningan (2023), “Sebagian besar desa di bawah Waduk Darma justru kekurangan air bersih.”
Kecamatan Selajambe, Subang, dan Cilebak menjadi contoh nyata ketimpangan. Tarno (45), petani Desa Cilebak, mengungkapkan, “Setiap musim kemarau, kami beli air Rp 50.000 per tangki, padahal kami hidup di bawah waduk besar.” Di sektor pertanian, lahan seluas 1.250 hektar berulang kali gagal panen karena irigasi tidak memadai. Ironisnya, rencana awal pembangunan Waduk Darma pada 1923 justru menargetkan pengairan 3.500 hektar sawah.
Minimnya infrastruktur distribusi memperburuk keadaan. Pakar tata air dari Universitas Kuningan, Dr. Asep Saepudin (2023), menekankan pentingnya “keberpihakan kebijakan: prioritas air harus untuk warga sekitar sumber air.” Tanpa perubahan signifikan, Waduk Darma hanya akan menjadi simbol ironi pengelolaan air.
Eksploitasi Mata Air Cibulan dan Linggarjati
Mata air Cibulan dan Linggarjati dikenal sebagai sumber air alami berkualitas tinggi. Ironisnya, rata-rata 60.000 liter air per hari dari kedua mata air ini dikomersialisasikan ke luar daerah, terutama ke Cirebon. Sementara itu, 42% warga Kecamatan Kalimanggis terpaksa membeli air Rp 25.000–30.000 per jeriken saat musim kemarau (DLH Kuningan, 2023).
Debit mata air sebenarnya cukup besar: Cibulan 50 liter/detik, Linggarjati 35 liter/detik. Artinya, potensi ini mampu memenuhi kebutuhan dasar sedikitnya 15.000 kepala keluarga di sekitar lokasi. Namun, realitasnya warga sekitar harus mengantre berjam-jam. “Kami harus antre dan bayar mahal untuk air dari tanah kami sendiri,” keluh Maman (37) warga Kalimanggis.
Dampak ekonomi pun berat: LSM Air untuk Rakyat (2023) mencatat, “Rumah tangga di tiga desa sekitar mata air menghabiskan 15–20% pendapatan hanya untuk membeli air bersih.” Dari sisi ekologi, muka air tanah turun 3 meter dalam 5 tahun terakhir, menandakan ancaman keberlanjutan debit mata air. Dr. Tati Mulyati (2023) memperingatkan: “Jika eksploitasi tak dikendalikan, penyusutan permanen tak terelakkan.”
Ketidakseimbangan Ekosistem
Ketimpangan distribusi air memicu krisis ekologis. Balai Pengelolaan DAS Cimanuk-Cisanggarung (2023) mencatat debit 12 sungai di Kuningan menurun 40% dalam lima tahun. Penurunan debit sungai berdampak pada populasi ikan lokal. Penelitian Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat (2023) mendapati penurunan 60% populasi ikan dewa (Tor soro) dan udang galah di Sungai Cijulang dan Cisanggarung.
Lahan pertanian juga terancam. Dinas Lingkungan Hidup Kuningan (2023) mencatat 35% lahan di utara Kuningan mengalami penurunan kesuburan. Laju erosi meningkat hingga 25 ton per hektar per tahun, terutama di Selajambe dan Kalimanggis. Suryana, petani Desa Cilebak, mengeluh: “Tanah kami retak-retak di kemarau, air makin susah.”
Penurunan air tanah pun memicu masalah kualitas air sumur warga. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (2023) menemukan kandungan logam berat meningkat karena sumur digali makin dalam. Prof. Hidayat Pawitan (IPB, 2023) menegaskan: “Eksploitasi berlebihan mengubah mikroklimat, menaikkan suhu, dan mengurangi kelembaban tanah.”
Talaga Remis: Potensi yang Terkikis
Talaga Remis, danau alami 12 hektar, menyuplai 2,5 juta liter air per hari ke luar Kuningan, padahal 1.200 KK di tiga desa sekitar harus membeli air Rp 35.000–50.000 per meter kubik. “Anak-anak kami sering terlambat sekolah karena harus membantu angkut air,” ujar Iin (32), warga Dusun Kalimati . Laporan DLH Kuningan (2023) menyebut permukaan air danau turun 1,5 meter dalam sepuluh tahun.
Forum Masyarakat Peduli Talaga Remis menuntut kebijakan distribusi air adil, infrastruktur pipanisasi, dan perlindungan zona tangkapan air. Dr. Taufik Hidayat (2023) menekankan, “Jika pola eksploitasi berlanjut, 40% kapasitas Talaga Remis bisa hilang dalam 15 tahun.”
Implikasi, Rekomendasi, dan Solusi
Implikasi ketimpangan distribusi air di Kuningan meluas ke ranah sosial, ekonomi, lingkungan, dan kepercayaan publik. Petani terjerat kemiskinan, lahan pertanian terancam kritis, konflik sosial rawan muncul, debit sungai menurun, ekosistem terganggu, dan legitimasi pemerintah daerah melemah.
Rekomendasi mendesak meliputi:
- Reformasi distribusi: warga lokal prioritas; kuota berbasis kajian hidrologi.
- Perlindungan sumber air: zona lindung, evaluasi izin industri AMDK, harga air wajar.
- Pemberdayaan masyarakat: pengelola air berbasis komunitas, edukasi hemat air, pemanenan air hujan.
- Diversifikasi: embung, sumur dalam, waduk kecil, teknologi rainwater harvesting.
Solusi
Solusi jangka pendek (1–2 tahun): distribusi air darurat via tangki, perbaikan saluran irigasi, pembatasan ekspor air saat kemarau.
Jangka menengah (3–5 tahun): pembangunan infrastruktur air baru, teknologi irigasi hemat air, Perda Pengelolaan Air.
Jangka panjang (5 tahun ke atas): restorasi DAS, reboisasi, penataan tata ruang, penguatan kelembagaan pengelola air dengan prinsip transparansi.
Penutup
Ketimpangan distribusi air di Kabupaten Kuningan bukan sekadar masalah teknis, tetapi cermin ketidakadilan struktural. Pemerintah daerah memikul tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan air bersih layak bagi semua warga. Air adalah hak, bukan komoditas semata. Hanya reformasi kebijakan yang adil, penataan infrastruktur, perlindungan ekosistem, dan pemberdayaan warga yang dapat memastikan air tetap menjadi berkah, bukan sumber konflik.
Tindakan nyata tidak boleh ditunda!
DAFTAR PUSTAKA
Dokumen dan Laporan:
- Balai Geologi. (2022). Laporan penelitian hidrologi mata air Cibulan dan Linggarjati. Bandung: Balai Geologi, Kementerian ESDM.
- Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat. (2023). Laporan pemantauan populasi ikan lokal Sungai Cijulang dan Cisanggarung. Bandung: BKSDA Jawa Barat.
- Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Cimanuk-Cisanggarung. (2023). Laporan tahunan status debit sungai di Kabupaten Kuningan. Majalengka: BP DAS Cimanuk-Cisanggarung.
- Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Jawa Barat. (2022). Laporan pengelolaan sumber daya air Kabupaten Kuningan. Bandung: BPSDA Jawa Barat.
- Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuningan. (2023). Kuningan dalam angka 2023. Kuningan: BPS Kabupaten Kuningan.
- Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Kuningan. (2023). Laporan produksi dan ketahanan pangan Kabupaten Kuningan 2023. Kuningan: DKP Kabupaten Kuningan.
- Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kuningan. (2023). Laporan pemantauan lingkungan hidup Kabupaten Kuningan 2023. Kuningan: DLH Kabupaten Kuningan.
- Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Kuningan. (2023). Laporan status Waduk Darma dan jaringan irigasi 2023. Kuningan: Dinas PUPR Kabupaten Kuningan.
- Dinas Pertanian Kabupaten Kuningan. (2023). Laporan dampak kekeringan terhadap lahan pertanian 2023. Kuningan: Dinas Pertanian Kabupaten Kuningan.
- Forum Masyarakat Peduli Air Kuningan. (2023, September 5). Pernyataan pers terkait tuntutan Perda perlindungan sumber daya air. Kuningan: FMPAK.
- Forum Masyarakat Peduli Talaga Remis. (2023). Laporan advokasi perlindungan Talaga Remis. Kuningan: FMPTK.
- LSM Air untuk Rakyat. (2023). Studi sosial ekonomi komersialisasi mata air di Kuningan. Kuningan: LSM Air untuk Rakyat.
- Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Kuningan. (2023). Laporan kualitas air tanah Kabupaten Kuningan. Kuningan: PPLH Universitas Kuningan.
- Soemarwoto, O. (2023). Kajian ekologi politik sumber daya alam. Bandung: Humaniora.
Wawancara Pribadi (Personal Communication):
- (2024, Agustus 10). Wawancara tentang akses air bersih di Desa Kalimanggis [Personal communication].
- Siti Aminah. (2024, Juli 15). Wawancara tentang dampak kekeringan bagi petani di Desa Selajambe [Personal communication].
- (2024, Juli 12). Wawancara tentang kebutuhan air di Desa Cilebak [Personal communication].
- (2024, September 15). Wawancara tentang kualitas air tanah di Kecamatan Cidahu [Personal communication].
- (2024, September 20). Wawancara tentang degradasi lahan di Desa Cilebak [Personal communication].
- (2024, September 22). Wawancara tentang dampak krisis air di Dusun Kalimati Timur [Personal communication].