KUNINGAN (MASS) – Musim telah tiba. Secara bertahap para calon tamu Allah berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Melaksanakan ibadah haji merupakan dambaan bagi setiap Muslim. Apalagi, apalagi ibadah yang dilaksanakan diterima oleh Allah, sehingga hajinya menjadi mabrur, yang dibalas dengan surga (H.R. Bukhari dan Muslim).
Harta yang dikeluarkan untuk berhaji diberi pahala yang sama dengan pahala pembiayaan di jalan Allah (H.R. Ahmad dan Tirmidzi), bagi jamaah yang meninggal dunia dalam perjalanan haji sama dengan mati syahid (H.R. Muslim), dan mendapatkan pahala jihad (H.R. Bukhari).
Perintah melaksanakan ibadah haji ini sejatinya tidak hanya berlaku pada umat Nabi Muhammad SAW, diperintahkan pula kepada Nabi dan Rasul-Rasul sebelumnya. Oleh karena itu, semua rangkaian ibadah haji ini mengandung pelajaran berharga bagi umat manusia.
Pertama, memakai pakaian ihram. Pakaian ihram terdiri dari dua lembar kain yang tidak berjahit. Hal ini dimaksudkan pemakaiannya agar melepaskan diri dari sifat-sifat buruk yang melekat pada dirinya. Sebab kemewahan pakaian dapat membangkitkan sikap hidup sombong bagi pemakainya, yang pada akhirnya menjauhkan diri dari orang lain, tidak mau bergaul, tidak mau mendengarkan apa kata orang lain dan yang lebih celaka lagi jika tidak mau mendengar firman Allah dan sabda Nabi SAW. Dan pada dasarnya mengenakan pakaian ihram adalah menanggalkan perhiasan dunia yang penuh dengan gemerlap dan cobaan.
Kedua, berihram. Berihram adalah niat, yaitu niat memasuki ibadah haji atau umrah sebagai pemenuhan atas panggilan Allah, memenuhi panggilan dengan penuh keyakinan, ditinggalkannya kampung halaman dengan berbagai hal yang melekat padanya. Ditinggalkan jabatan yang membuat sibuk sepanjang waktu, dilepaskan atribut, titel, dan gelar, menuju rumah Allah (Baitullah).
Ketiga, membaca talbiyah. Talbiyah merupakan panggilan Allah kepada seseorang untuk selalu ikhlas memenuhi panggilan tersebut, bukan keterpaksaan. ”Labbaikallahumma, labbaik, labbaika la syarikalaka labbaik, innalhamda wanni’mata laka walmulka la syarikalak”.
Keempat, melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah). Thawaf artinya keliling. Maksudnya mengelilingi Ka’bah baik berkaitan dengan umrah atau haji. Mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran yang dimulai dan diakhiri di hajar aswad. Perputaran tujuh keliling bisa diartikan sama dengan jumlah hari yang beredar mengelilingi kita dalam setiap minggu. Lingkaran pelataran Ka’bah merupakan arena pertemuan dan bertamu dengan Allah yang dikemukakan dengan doa dan zikir dan selalu dikumandangkan selama mengelilingi Ka’bah. Agar manusia memahami hubungan manusia dengan sang Pencipta dan ketergantungan manusia akan Tuhannya.
Gerakan mengelilingi Ka’bah ini juga mengacu kepada gerakan perputaran benda-benda langit. Bulan, bintang, matahari, dan semua planet berputar pada porosnya masing-masing. Ini merupakan sebuah bentuk kepatuhan benda-benda langit tersebut kepada hukum-hukum Allah yang mengatur seluruh alam jagat raya ini. Dengan melakukan thawaf, manusia diharapkan menyadari bahwa mereka pun seharusnya hanya tunduk dan patuh kepada aturan-aturan Allah, sebagaimana tunduk dan patuhnya seluruh benda-benda di jagat raya ini (Q.S. Ali Imran [3]: 83).
Kelima, melaksanakan sai (berlari-lari). Sai adalah berlari-lari kecil di antara bukit Shafa dan Marwah. Gerakan ini dilakukan bolak-balik sebanyak tujuh kali. Ritual pelaksanaan ibadah sai ini mengacu pada gerakan Siti Hajar, ibunda Nabi Ismail AS, yang berlari bolak-balik tujuh kali antara bukit Shafa dan Marwah dalam upayanya mencari air untuk Ismail yang sedang kehausan.
Apa yang telah dilakukan Siti Hajar ini memberikan pelajaran bagi umat manusia, yakni setiap orang harus senantiasa berusaha dan bekerja dengan mengharap ridha Allah SWT. Apa pun yang didapat, berhasil atau tidak upaya itu, hendaknya selalu memanjatkan syukur kepada-Nya.
Allah SWT berfirman, ”Sesungguhnya Shafa dan Marwah ialah bagian dari syiar (agama) Allah. Barang siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya untuk mengerjakan sai antara keduanya.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 158).
Keenam, bercukur. Mencukur rambut adalah penegasan dan realisasi akan selesainya masa ihram. Sedangkan perintah untuk mencukur rambut adalah agar kotoran yang melekat para rambut menjadi hilang karena rambut kepala berfungsi menjaga otak dari berbagai penyakit dan otak yang sehat akan membuahkan pemikiran yang positif.
Ketujuh, berwukuf di Arafah. Makna wukuf adalah berhenti, diam tanpa bergerak. Jika dikaitkan dengan thawaf, maka setelah kehidupan diwarnai dengan gerakan, maka suatu saat gerakan itu akan berhenti. Manusia suatu saat jantungnya akan berhenti berdetak, matanya akan berhenti berkedip, kaki dan tangannya akan berhenti melangkah dan berkeliat.
Ali Syariati dalam bukunya, Al-Hajj, menjelaskan, wukuf di padang Arafah adalah sebuah upaya merenungi hakikat penciptaan alam semesta, perbuatan yang telah dilakukan, dan menjadikan tempat tersebut sebagai tempat penghisaban. Ia menambahkan, Arafah bermakna mengenal, mengetahui, atau menyadari. Dari makna ini, kata Ali Syariati, Arafah merupakan gambaran dari padang mahsyar di akhirat kelak sebagai tempat penghisaban segala amal perbuatan manusia selama di dunia. Di lokasi inilah, setiap jamaah haji dianjurkan memperbanyak doa, istighfar, dan melakukan penghisaban (perhitungan) diri atas segala perbuatan yang pernah dilakukan.
Kedelapan, melempar jumrah. Melempar jumrah adalah batu-batu kecil pada sebuah tiang yang dianggap sebagai perumpamaan setan (iblis) dan hawa nafsu, yang senantiasa menggoda hati manusia untuk berbuat dosa dan maksiat. Melempar batu (jamarat) ini sebagai simbol kemenangan anak manusia terhadap godaan setan (iblis).
Ritual melempar batu-batu kecil pada tiang jamarat ini, meneladani apa yang telah dilakukan Nabi Ibrahim AS. Saat Nabi Ibrahim AS diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putranya, Ismail AS, tiba-tiba datanglah iblis yang meminta Ibrahim AS agar mengurungkan niatnya.
Begitu seterusnya, masih banyak rangkaian ibadah haji yang belum disebutkan di sini. Jika nilai-nilai ibadah haji di atas diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maka akan dapat berpengaruh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Amin.
Penulis : H. Imam Nur Suharno
(Penulis Buku Kupenuhi Panggilan-Mu, dan Penceramah)