KUNINGAN (MASS) – Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengajak seluruh komponen pondok pesantren di Indonesia untuk menjadikan Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) sebagai “anak tangga pertama” menuju kembali “The Golden Age of Islamic Civilization” (Zaman keemasan peradaban Islam). Menag menegaskan bahwa pesantren lah yang harus menjadi pelopor dan pemimpin menuju zaman keemasan ini.
Runtuhnya peradaban pada masa itu dikarenakan adanya dualisme ilmu, yaitu pemisahan Ilmu agama dari ilmu umum, sehingga harus ada integrasi. Perkawinan antara kitab putih “iqra” dengan kitab kuning (kitab turats) “bismirobbika” akan melahirkan insan kamil. (https://kemenag.go.id.02/10/2025)
Indonesia dengan pesantren terkuat, maka pantas untuk menjadi pelopor kebangkitan menuju peradaban emas. Sepintas ajakan ini benar, seruan untuk mengintegrasikan kitab kuning yang berarti berisi tsaqofah-tsaqofah Islam dengan kitab putih yang berisi ilmu-ilmu umum, adalah benar akan menjadikan peradaban emas (Islam) kembali terwujud. Seruan untuk mengajak pesantren sebagai pelopor dalam kebangkitan juga benar.
Namun semua itu perlu pencermatan lebih dalam lagi, tidak cukup hanya dengan seruan. Jika kita menelusuri sejarah keberadaan pesantren di negeri ini, memang betul pesantren pernah menjalankan fungsi strategisnya dalam mencetak para ulama tafaqquh fiddin berkarakter pemimpin. Terlahir darinya banyak para pemimpin Hasyim Asy’ari, Ahmad Dahlan, KH Muhammad Natsir yang dikenal sebagai perdana menteri pertama, kemudian KH Agus Dahlan, dan lain-lain.
Demikian juga pangeran Diponegoro yang menggerakkan santrinya melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Bahkan dalam penetapan hari santri tanggal 22 Oktober pun dilatarbelakangi oleh semangat jihad para santri dalam melawan penjajahan pada tanggal 22 Oktober 1945. Pesantren betul-betul pernah menjadi motor penggerak menuju peradaban yang baik.
Seharusnya semangat jihad tetap bergelora hingga sekarang, meski penjajahan fisik sudah tidak ada lagi, berganti ke penjajahan pemikiran sekuler liberal. Namun ironis, hal ini tidak disadari oleh kebanyakan masyarakat di negeri ini, tak terkecuali para pemimpin, “ulama” dan para santri. Tidak terdengar lagi seruan-seruan dan ajakan untuk melawannya, seperti melawan penjajahan fisik pada masa lalu. Sebaliknya malah terjebak pada menjadi agen-agen penjajahan.
Tidak disadari bahwa penjajahan pemikiran sekuler liberal telah melahirkan ide moderasi beragama yang bertujuan melanggengkan peradaban kapitalis. Pesantren diarahkan untuk mengadopsinya dan menjadi corong untuk menyuarakannya.
Tanpa ada perlawanan, nampak pesantren mengikuti sesuai arahannya, menjadi agen-agen dan corong moderasi beragama. Moderasi beragama yang membawa spirit mengkompromikan ajaran Islam agar sesuai dengan pemikiran luar Islam, yaitu pemikiran barat seperti demokrasi, HAM, pluralisme, dan sebagainya banyak dibahas, diadopsi, dan disosialisasikan oleh pesantren ke tengah-tengah masyarakat. Bahkan di antara oknum “ulama” tidak segan memanipulasi ayat-ayat Allah untuk tujuan melegalkan ide-ide tersebut.
Di bawah penjajahan sekuler kapitalis juga, nampak pesantren diarahkan menjadi subjek pelaku ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan. Diantaranya projek OPOP, dan proyek kemandirian ekonomi pesantren. Pesantren juga diarahkan menjadi pelaku pembaharuan dalam pelestarian lingkungan di tengah isu perubahan iklim secara global dalam program eco pesantren, dan banyak lagi.
Posisi pesantren dalam gambaran ini terjadi karena berada dalam naungan sistem kapitalis sekuler. Sistem yang berasaskan sekuler ini, yaitu memisahkan agama dari kehidupan memang tidak akan pernah memberi ruang sedikitpun untuk Islam. Berbagai cara akan dilakukan untuk menghilangkan Islam menjadi landasan kehidupan. Karena ideologi Islam jika tegak akan menjadi momok bagi para kapitalis. Mereka tidak akan bisa leluasa di dalam memperturutkan keserakahannya dalam menguasai harta kekayaan. Pesantren sebagai pabrik para ulama berkarakter pemimpin yang akan terus menerapkan, menjaga, dan terus mendakwahkan Islam, tentu akan mengancam sistem ini. Maka tidak aneh pesantren menjadi pihak yang paling disasar untuk dikerdilkan peran strategisnya, demi sekuler kapitalis tetap langgeng.
Pesantren sebagai pelopor kebangkitan hanya bisa terwujud dalam pengaturan sistem Islam. Islam mewajibkan menuntut ilmu untuk seluruh kaum muslimin. Ilmu bagi Islam merupakan kebutuhan yang sangat urgen. Bagaimana tidak, seluruh proses kehidupan yang dijalankan diatas ilmu, kehidupan akan terwujud dengan baik. Islam diturunkan oleh Allah merupakan sebaik-baiknya ilmu yang akan menghantarkan umat pada sebuah peradaban agung berlimpah rahmatan lil ‘alamin.
Ilmu harus disampaikan, dipahami, diterapkan, dan diperjuangkan. Pesantren merupakan tempat strategis di dalam transfer ilmu secara benar membentuk pemahaman. Pesantren merupakan tempat mencetak para ulama faqih fiddin berkarakter pemimpin dan ulul albab. Begitu penting kedudukannya, Islam mewajibkan pemimpin negara untuk mensupport penuh keberadaannya. Islam mensupport segala aspeknya. Dari mulai seluruh fasilitasnya, kesejahteraan para gurunya, hingga kenyamanan seluruh pelajarnya di dalam menuntut ilmu.
Mewujudkan kembali peradaban Islam adalah wajib bagi seluruh kaum mukmin, bukan hanya sekedar ajakan dan narasi. Penting untuk dicermati bagaimana Islam membangun peradaban. Terlebih narasi dan ajakan disampaikan di sistem kapitalis ini sering menjadi jebakan yang melenakan kaum mukmin. Kebanyakan narasi dibuat memiliki kepentingan untuk mengokohkan sekuler kapitalis.
Peradaban di dalam Islam tidak hanya berkaitan dengan megahnya bangunan-bangunan infrastruktur dan canggihnya teknologi, melainkan terdiri dari pemahaman, standar hidup, dan ketundukkan umat. Yaitu umat memahami ideologi Islam merupakan ideologi yang benar dan satu-satunya yang layak diterapkan. Umat menjadikan Islam sebagai satu-satunya standar kehidupan yang harus diterapkan, kemudian umat dengan penuh keridhaan siap mentaatinya. Umat pun memahami makna kebahagiaan yang benar sesuai arahan Islam.
Peradaban Islam hanya akan bisa tegak di dalam sistem Khilafah. Dia tegak diatas landasan ideologi Islam yang dipahami, diterapkan dan diperjuangkan umatnya. Dia juga tegak dengan metode yang jelas dan bersifat baku sesuai ajaran ideologi Islam.
Pesantren hanyalah satu komponen yang berperan dalam mewujudkan kembali peradaban Islam, karena butuh perjuangan dakwah politik Islam yang terarah pada hadirnya peradaban Islam yang hakiki.
Wallahualam bissawab.
Penulis : Fathimah Salma
Pengelola Ponpes Al-Mustaniir Kuningan
