KUNINGAN (MASS) – tengah gegap gempita pembangunan yang serba cepat, kita sering luput menyadari bahwa kampung bukan sekadar deretan rumah, fasilitas, atau papan nama proyek. Kampung adalah ruang kehidupan yang menyimpan ingatan, rasa, dan jalinan batin antarmanusia. Maka membangun kampung sejatinya adalah menghidupkan kembali nurani kolektif yang mungkin telah lama tertidur.
Ibnu ‘Athaillah dalam Al-Hikam pernah menulis: “Jangan bersandar pada usahamu, karena hasil datang dari-Nya.” Petuah ini mengingatkan kita bahwa kerja fisik semata tak cukup jika tak dibarengi dengan ketulusan niat dan kesadaran ruhani. Proyek infrastruktur yang kita kerjakan harus lebih dari sekadar menyusun batu—ia mesti menyentuh dan menggerakkan hati masyarakat.
Sering kali kita terjebak dalam logika pembangunan yang sibuk menghitung hasil, namun lupa bertanya apakah masyarakat merasa lebih dekat satu sama lain. Apakah jalan yang kita bangun juga membuka ruang perjumpaan dan sapaan? Apakah balai desa yang berdiri tegak juga menghidupkan kembali semangat berkumpul dan bermusyawarah?
Dalam narasi pembangunan, kita tak boleh abai pada nilai-nilai luhur yang menjadi dasar kebersamaan warga kampung. Nilai seperti saling membantu tanpa pamrih, rasa malu untuk berdiam diri, dan syukur atas apa yang sedikit namun barokah. Justru dari sinilah kekuatan kampung tumbuh—dari akar budaya dan spiritualitas yang menghidupi hari-hari sederhana.
Al-Hikam juga menekankan bahwa manusia hanya berperan sebagai perantara, bukan pemilik hasil. Maka setiap langkah pembangunan sebaiknya dilandasi rasa tanggung jawab sebagai amanah, bukan ambisi pribadi. Pembangunan bukan ajang unjuk kekuasaan, tapi ladang pengabdian.
Kampung hari ini memang menghadapi tantangan besar. Arus globalisasi datang membawa perubahan dalam cara berpikir dan berperilaku. Tapi selama masih ada ruang untuk silaturahmi, majelis ilmu, dan kerja bakti, maka kampung masih menyimpan harapan. Karena nilai-nilai itu yang menjaga kampung tetap bernyawa di tengah gempuran zaman.
Sesungguhnya, pembangunan yang utuh adalah pembangunan yang menyentuh sisi batin manusia. Kampung akan bertumbuh kuat bila warganya memiliki kepercayaan, kedekatan, dan keteduhan dalam berinteraksi. Dan semua itu dimulai dari hati yang jernih dan niat yang benar.
Kita tidak sedang membangun sekadar untuk dilihat, tetapi agar hidup bersama terasa lebih bermakna. Maka setiap perencanaan dan program harus ditimbang bukan hanya dari segi teknis, tapi juga dari sisi kemanusiaan dan keberkahan.
Seperti diungkapkan dalam Al-Hikam: “Kegembiraan pada pemberian jangan sampai membuatmu lupa pada Sang Pemberi.” Maka mari kita bangun kampung ini dengan penuh kesadaran: bahwa keberhasilan sejati bukan terletak pada rampungnya proyek, tapi pada hadirnya rahmat dan ridha Tuhan dalam setiap langkah kita.
Semoga kampung kita tumbuh bukan hanya secara fisik, tapi juga hangat dalam nilai-nilai. Semoga pembangunan tidak hanya menciptakan perubahan luar, tapi juga memulihkan yang ada di dalam. Dan semoga, melalui jalan ini, kita pun sedang dipandu untuk membangun diri—hingga akhirnya, pulang kembali ke arah yang seharusnya: menuju Tuhan.
Oleh: *Ali Khowas Abdul Basith, S.H.* _—Kepala Dusun Ciwuni 2 Desa Puncak_