KUNINGAN (MASS) – Ditengah perhelatan akbar pemilu 2019, jagat media sosial yang seharusnya mencerahkan dipenuhi ujaran kebencian hingga sumpah serapah. Akibatnya, banyak netizen menutup akun. Mereka memilih mengamankan diri, daripada saling bertengkar dari dukung-mendukung dua pasang capres-cawapres. Membela pilihannya tidak menjamin bebas dari jeratan UU Informasi dan Tranksaksi Elektronik (UU ITE) nomor 11/2008. Fenomena ini cukup memprihatinkan dan sangat mengganggu. Bukan soal anti demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Tapi, ini soal diksi dan labelisasi negatif yang harus dilawan.
Setadinya, penulis enggan menuliskan hal ini. Rasanya permasalahan ini bersifat sederhana dan ringan. Tapi faktanya tidak demikian. Penulis mengalami sendiri. Begitu memprihatinkan. Bahkan para pelaku yang terjerat regulasi ITE banyak yang berlatarbelakang pendidikan tinggi. Bisa dikatakan kalangan terdidik secara ilmu pengetahuan. Tidak merasa riskan status-statusnya berdampak negatif bagi diri dan kelompoknya. Bahkan secara brutal memproduksi setiap saat.
‘Menuhankan’ Capres-Cawapres
Kubu-kubuan yang teramat parah melegitimasi paslon pilihannya bagaikan tuhan. Upaya menuhankan selalu dibumbui dalil-dalil yang dipaksakan. Tidak melihat sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an (asbabun nuzul) maupun datangnya hadist (wurudul hadist). Tidak melihat batasan konteks dari teks wahyu yang diturunkan. Para ulama ahli tafsir sangat hati-hati dalam upaya memahami teks ayat dan saling berbeda, tapi tetap saling menghormati.
Legitimasi paslon capres-cawapres dengan tauhid tentu keliru. Tauhid sifatnya mutlak. Sementara politik kerangkanya fikih. Fikih berasal dari ijtihad(bisa benar atau salah), relasi antar sesama (habl minannas), kemaslahatan (maslahah mursalah). Pemilu 2019 yakni pergantian kepemimpinan kekuasaan. Pemilu 2004 saling berhadapan di pemilu 2009 berkoalisi. Pun di pemilu 2014 berkoalisi, di pemilu 2019 berhadapan. Belum lagi di berbagai pilkada. Semua hasil ijtihad politik.
Menggunakan logika tauhid muncul sebutan “muslim-non muslim.” Lalu lahir kata-kata: munafik, kafir, sesat, ahli neraka, pendukung penista agama dan seterusnya. Mendukung pasangan sebelahnya dilabeli demikian. Sebaliknya, mendukung capres-cawapresnya akan masuk syurga, orang-orang sholeh, tidak sesat, pengikut para ulama. Padahal, kedua pasangan ini semuanya didukung para ulama dan habaib. Mereka berijtihad sebagaimana penafsirannya terhadap kedua pasangannya. Jadi, tidak bisa salahsatu pihak mengklaim paslonnya lebih didukung ulama, yang lain tidak.
Jerat Hukum dan Tinjauan Agama
Hemat penulis, diksi ‘Kampret’ dan ‘Cebong’ memiliki beberapa konsekuensi: Pertama. Bagi pemilik akun status, fitnah, ujaran kebencian (hate speach) SARA bisa dikenakan UU Nomor 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, dan penginaan fisik (body shaming)bisa dijerat UU Nomor 11/2008 ITE. Penerapan regulasi ini banyak memakan korban dari netizen. Harus disadari, ketika terkena regulasi ini, yakinlah capres-cawapres itu akan acuh. Tidak akan menolong. Kebanyakan disebabkan kekurangpekaan, emosional dan tidak hati-hati menggunakan media sosial. Media Sosial sejatinya peralihan dari dunia offline (nyata). Ada pemilik akun menulis kalimat, dan ada pembaca dari pertemanan sebagai followers-nya.
Kedua. Bagi aktivis partai politik. Menggunakan media sosial tidak arif, akan men-downgrade (menurunkan) wibawa partai politiknya. Orang yang tadinya simpati berubah antipati. Tadinya akan memilih berubah haluan. Netizen dari pemilih kritis akan selalu mengawasi dan melihat hingga membandingkan ide-ide, status dan gagasan para kader partai politik. Bila tidak disiasati secara cerdas, akan jadi bumerang pada pemilu April 2019. Pemetaan di media sosia yang berlatarbelakang aktivis politik akan sangat mudah dibaca. Jejak digital dengan screenshot cukup satu detik menyimpan bukti dokumen hukum.
Ketiga. Labelilasi ‘Kampret’ dan ‘Cebong’ telah merusak nilai-nilai kemanusiaan. Hubungan persahabatan dan kekerabatan akan terganggu. Sebutan itu sangat kasar, tidak beradab terutama dalam agama juga dilarang. Kalimat negatif yang terus dipelihara akan mereduksi nilai-nilai kearifan yang terdapat dalam diri pengucapnya. Sekalipun berhias dengan dalil, tertutup tubuhnya serapi mungkin, suka share (berbagi) informasi religi, orang akan meragukannya. Akhlak bersosialnya akan dilihat. Apakah sesuai atau tidak. Jangan-jangan kamuflase.
Keempat. Tinjauan agama dalam julukan negatif sangat terang larangannya (haram) dalam QS. Al-Hujurat: 11. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki mencela kumpulan yang lain, boleh jadi yang dicela itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan mencela kumpulan lainnya, boleh jadi yang dicela itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.“
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutnya sebagai sikhriyyah, yaitu merendahkan orang lain dan menghinakannya. Sebagaimana hadits Nabi: “Sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.” Sebagai manusia yang paling sempurna dalam penciptaanya daripada makhluk lainnya, manusia harus memperlihatkan sikapnya dengan makhluk lainnya. Memiliki hati, akal pikiran, fisik. Semuanya diberikan secara sempurna. Terlebih hubungan antar manusia harus diciptakan dengan saling mengasih, menyayangi dan saling memuliakan.
Sebelum semuanya terlambat. Waktu pemilu masih ada waktu. Manfaatkan mengkampanyekan paslon sebaik mungkin. Tunjukkan dukungan sebagai pemilih santun, beradab dan memiliki konten-konten konstruktif juga edukatif. Pahami bahasa yang bisa berujung jerat hukum, dan dihalalkan oleh agama serta mana saja kalimat yang bisa menuai simpati banyak orang. Jangan karena emosi, marah-marah. Terus paslon kalah telak dan partai politik tidak lolos ke parlemen. Sudah itu, persahabatan cerai berai. Ini celaka !.
Penulis: Kana Kurniawan (Sekjen PP Pemuda PUI dan Mahasiswa S-3 SPs UIN Jakarta, Beasiswa Nuffic-Belanda)