KUNINGAN (MASS) – Semangat reformasi 1997/1998 membawa dampak banyak perubahan di Indonesia. Salah satu yang paling santer adalah semangat anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dimana saat itu ditenggarai banyaknya praktik KKN tersebut.
Semangat reformasi anti KKN inilah yang pada akhirnya melahirkan seorang bayi munggil bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Banyak harapan rakyat yang diberikan kepada bayi munggil tersebut dengan harapan agar segala bentuk praktik KKN dapat dihapuskan di bumi Indonesia.
Bayi munggil bernama KPK ini diberi amanat untuk melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. Profesional dapat dimaknai bahwa segala tindakan yang akan diambil harus sesuai dengan perundangan dan ketentuan lain yang berlaku, dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kompetensi.
Intensif artinya harus dilakukan secara bersunggguh-sungguh dan terus menerus agar mencapai hasil guna yang optimal. Bukan gebrakan yang panas-panas tahi ayam, tetapi secara konsisten harus dilakukan secara terencana dan berkesinambungan.
KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari aparat penegak hukum lainnya yang sudah ada sebelumnya, melainkan sebagai trigger mechanism, yaitu sebagai stimulus (perangsang/pendorong) agar upaya pemberantasan korupsi oleh aparat penegak hukum yang sudah ada tadi menjadi lebih efektif dan efisien.
Merujuk pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 KPK mempunyai tugas untuk melakukan (1) koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK); (2) supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK; (3) melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK; (4) melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK; dan (5) melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Jadi berdasarkan pasal 6 ini, maka tugas pertama KPK adalah berkoordinasi dengan lembaga yang berwenang melakukan pemberantasan tipikor. Koordinasi ini menjadi sangat penting agar terbangun sinergitas dan harmoni dengan aparat penegak hukum lainnya. Di saat yang bersamaan juga melakukan pengawasan (supervisi) terhadap lembaga yang berwenang tadi guna memastikan bahwa proses penegakan hukum berjalan sebagaimana mestinya.
Jika dinilai tidak berjalan, KPK tentu dapat mengambil alih penanganan kasus tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 8. Selain itu, KPK juga mengemban tugas untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan tipikor, serta memonitor penyelenggaraan negara.
Dalam melaksanakan tugas-tugas di atas, KPK harus berpedoman pada 5 asas, yaitu : kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. Di samping itu, KPK juga bertanggung jawab kepada publik dan wajib menyampaikan laporan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK.
Dari luasnya ruang lingkup tanggung jawab KPK ini, maka dipandang perlu untuk melakukan penguatan koordinatif dengan lembaga/aparat penegak hukum lainnya. Begitupun dengan penguatan aspek pencegahan menggunakan management tool, seperti financial data trecking ataupun model audit invenstigatif.***
Penulis: Dede Farhan Aulawi
Pembina Lembaga Bantuan dan Pengembangan Hukum (LBPH) Kosgoro Jawa Barat