KUNINGAN (MASS) – Apakah kebijakan Koperasi Merah Putih benar-benar akan memberdayakan desa, atau justru menambah beban fiskal dan menimbulkan risiko tata kelola yang berbahaya bagi masyarakat desa sendiri?
Pertanyaan ini muncul ketika pernyataan pemerintah tentang koperasi ini menjadi kontradiktif.
Maret lalu Mendagri menyebut Koperasi Merah Putih tidak akan mengganggu APBDesa, namun belakangan Menteri Keuangan menegaskan bahwa dana desa dapat digunakan sebagai jaminan pembiayaan koperasi tersebut.
Mengapa kebijakan yang seharusnya berpihak pada desa justru menimbulkan keresahan baru?
Jika kita menilik filosofi dana desa, ia adalah instrumen transfer fiskal yang dirancang untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.
Dana ini ibarat air kehidupan yang mengalirkan harapan pada desa-desa yang selama ini terpinggirkan oleh pembangunan nasional yang terpusat di kota.
Namun ketika dana desa dijadikan jaminan untuk koperasi, maka air kehidupan itu diikat dan dijadikan agunan.
Seperti petani yang menggadaikan benih padinya demi membeli pupuk dengan harapan panennya akan melimpah, namun jika gagal panen terjadi, maka benih pun hilang, sawah tak lagi bisa ditanami, dan kemiskinan menjadi semakin dalam.
Masalah utama dalam kebijakan Koperasi Merah Putih terletak pada kaburnya konsep kelembagaan dan tata kelola.
Apakah koperasi ini menjadi entitas milik desa, milik masyarakat anggota, atau justru milik pemerintah pusat?
Bagaimana bentuk pertanggungjawabannya ketika menggunakan dana desa sebagai jaminan?
Hingga kini belum ada kejelasan mendasar atas desain kelembagaan koperasi Merah Putih.
Padahal dalam teori kelembagaan, ketidakjelasan desain organisasi akan melahirkan governance failure, tumpang tindih kewenangan, serta tingginya biaya transaksi bagi masyarakat desa yang sudah memiliki struktur ekonomi dan sosial yang kompleks.
Di sisi lain, koperasi Merah Putih berpotensi menimbulkan moral hazard yang tinggi.
Ketika ada dana desa sebagai jaminan, para pengurus koperasi maupun pihak yang menyalurkan pembiayaan cenderung bersikap lebih longgar dalam menilai risiko usaha. Mereka tahu bahwa ada dana publik yang akan menutup jika terjadi kegagalan bayar.
Ini sama dengan memberi asuransi penuh kepada pihak yang mengambil risiko tanpa ada mekanisme mitigasi yang jelas.
Dalam konteks kebijakan publik, desain seperti ini berbahaya karena menciptakan perilaku tidak bertanggung jawab dan membuka peluang terjadinya korupsi atau kolusi antar elite desa dan pihak luar.
Jika kita melihat sejarah koperasi di Indonesia, koperasi yang berhasil adalah koperasi yang tumbuh dari bawah (bottom-up), berbasis kebutuhan dan solidaritas ekonomi anggotanya.
Sementara koperasi yang digagas secara top-down, apalagi diintegrasikan dalam program pemerintah pusat dengan struktur birokrasi yang panjang, cenderung gagal dan ditinggalkan masyarakat. Koperasi Merah Putih saat ini lebih dekat pada desain top-down.
Hal ini terlihat dari gagasan penggunaan dana desa sebagai jaminan, dimana desa hanya menjadi objek kebijakan, bukan subjek yang menentukan arah pembangunan ekonominya sendiri.
Selain itu, hadirnya koperasi Merah Putih dengan dukungan negara berpotensi mematikan BUMDesa yang selama ini menjadi instrumen resmi pembangunan ekonomi desa.
BUMDesa sudah diatur dalam UU Desa dan memiliki posisi strategis untuk mengelola potensi ekonomi lokal.
Jika dana desa dialihkan menjadi jaminan koperasi Merah Putih, maka BUMDesa akan kehilangan salah satu sumber modal utamanya. Akibatnya, akan terjadi dualisme kelembagaan yang menimbulkan kebingungan di tingkat desa: apakah mereka harus menguatkan BUMDesa atau koperasi Merah Putih?
Dalam perspektif pembangunan, kebijakan ini juga membuka risiko fiskal yang serius.
Dana desa adalah belanja negara, bukan aset komersial.
Jika dana ini digunakan sebagai jaminan dan koperasi gagal membayar kewajibannya, maka dana desa akan terpakai untuk menutupi utang.
Desa pun kehilangan sumber pembiayaan untuk pembangunan jalan, irigasi, air bersih, pendidikan PAUD, hingga penanganan stunting yang selama ini dibiayai dari dana desa.
Dalam jangka panjang, ini akan menurunkan indeks pembangunan desa dan memperlebar ketimpangan antara desa dengan kota.
Lalu bagaimana seharusnya pemerintah bersikap? Analogi sederhana dapat membantu kita memahami arah kebijakan yang benar.
Jika seorang ayah ingin menambah pendapatan keluarga, maka cara terbaik adalah memberdayakan anak-anaknya untuk produktif, bukan menggadaikan rumah mereka untuk membuka bisnis yang belum tentu mereka pahami.
Begitu juga dengan desa. Pemerintah harus mendorong desa untuk memperkuat BUMDesa, memberikan pendampingan manajemen, membuka akses pasar, dan memberikan insentif fiskal berbasis kinerja.
Inilah cara membangun kemandirian desa secara berkelanjutan.
Dalam teori ekonomi kelembagaan, institutional strengthening adalah syarat mutlak sebelum institutional scaling-up.
Artinya, sebelum membuat koperasi nasional seperti Merah Putih, pemerintah harus memastikan kelembagaan ekonomi desa yang sudah ada kuat dan efektif.
Jika tidak, kebijakan koperasi nasional hanya akan menambah beban baru tanpa memberi nilai tambah signifikan bagi masyarakat desa.
Penutup dari pandangan ini, kebijakan koperasi Merah Putih dengan menjadikan dana desa sebagai jaminan pembiayaan lebih banyak menimbulkan risiko dibanding manfaatnya.
Alih-alih memberdayakan desa, kebijakan ini berpotensi mengorbankan dana publik yang seharusnya menjadi hak rakyat desa untuk pembangunan.
Dana desa bukanlah jaminan komersial, melainkan sumber kehidupan desa.
Jika kita mengikat air kehidupan ini untuk dijadikan agunan, maka ketika kekeringan datang, desa akan kehilangan harapan mereka untuk bertahan.
Indonesia membutuhkan kebijakan ekonomi desa yang berpihak kepada rakyat desa, bukan hanya kebijakan populis yang memberi citra baik bagi pemerintah pusat tetapi mengabaikan risiko struktural di tingkat desa.
Kebijakan ekonomi rakyat yang ideal adalah kebijakan yang tumbuh dari bawah, berbasis pada kekuatan sosial, budaya, dan ekonomi desa sendiri.
Koperasi Merah Putih hanya akan berhasil jika ia benar-benar menjadi milik rakyat desa, bukan sekadar instrumen fiskal yang dibungkus dengan bendera nasionalisme tanpa keberpihakan sejati kepada rakyat desa.***
Achmad Nur Hidayat, ekonom dan pakar kebijakan publik UPNVJ
