KUNINGAN (MASS) – Transformasi teknologi digital telah mengubah cara hidup manusia dengan cara yang signifikan. Saat ini, anak-anak di tingkat sekolah dasar sangat familiar dengan gadget, internet, dan platform media sosial. Mereka terlibat dalam proses belajar, bermain, serta bersosialisasi secara online. Situasi ini membuka pintu bagi kemajuan dalam pendidikan, tetapi juga menimbulkan tantangan baru dalam pembentukan karakter dan prinsip-prinsip demokrasi pada anak usia muda. Oleh karena itu, penting untuk memperkenalkan konsep kewargaan digital sedari awal, sehingga anak-anak dapat menjadi pengguna teknologi yang bijaksana, etis, dan bertanggung jawab.
Anak-anak di era kini tumbuh dalam sebuah lingkungan yang disebut oleh Marc Prensky (2001) sebagai generasi native digital, generasi yang sudah akrab dengan teknologi sejak mereka lahir. Mereka cepat menguasai aplikasi, menyaksikan video pembelajaran, dan bermain permainan daring. Namun, keterampilan teknis ini tidak selalu diimbangi dengan pemahaman etika digital, seperti menghargai privasi orang lain, berpikir kritis tentang informasi yang diterima, atau menggunakan media sosial secara bertanggung jawab.
Di sinilah terdapat tantangan besar bagi pendidikan dasar: bagaimana mengembangkan karakter anak agar tidak hanya memiliki keterampilan teknologi, tetapi juga mampu beradaptasi dengan budaya digital. Tanpa pondasi pendidikan karakter yang kuat, anak bisa jatuh ke perilaku negatif seperti perundungan daring (cyberbullying), ketagihan video game, atau menyebarkan informasi yang salah.
Kewargaan Digital: Bukan hanya Sekadar Kemampuan Teknologi
Konsep kewargaan digital tidak hanya berkisar pada kapasitas untuk menggunakan teknologi, tetapi juga tentang bagaimana menjadi warga digital yang bertanggung jawab. Mike Ribble (2015) menyebutkan sembilan elemen dalam kewargaan digital, antara lain: etika digital, tanggung jawab digital, keamanan digital, hak dan kewajiban digital, serta literasi digital.
Dalam konteks siswa sekolah dasar, nilai-nilai ini harus disampaikan dengan sederhana: cara menggunakan internet dengan santun, tidak menyebarkan kebencian, menghormati karya orang lain, serta berpikir kritis terhadap informasi yang ada. Anak-anak perlu menyadari bahwa dunia digital juga terikat pada norma moral dan sosial, sama seperti kehidupan di dunia nyata.
Pembentukan Karakter di Era Digital
Pembentukan karakter di zaman digital memerlukan pendekatan yang baru dan relevan. Para guru tidak cukup hanya menyampaikan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, atau empati dalam bentuk teori, tetapi harus mengaitkannya dengan pengalaman anak di dunia digital.
Misalnya, saat membahas nilai kejujuran, guru bisa mengajak siswa untuk berdiskusi mengenai plagiarisme atau etika dalam mengutip sumber di internet. Ketika membahas empati, guru bisa menyoroti efek negatif dari kata-kata kasar di media sosial. Dengan cara ini, nilai-nilai karakter menjadi relevan dan memiliki makna dalam kehidupan anak-anak di era digital. Lebih jauh, sekolah juga perlu menciptakan budaya digital yang positif. Contohnya, melalui kegiatan literasi digital, pelatihan dasar tentang keamanan siber, atau proyek kolaboratif online yang mengajarkan kerja sama dan toleransi.
Demokrasi di Ruang Digital
Salah satu nilai penting yang perlu diajarkan kepada anak-anak SD adalah demokrasi digital kemampuan untuk berpartisipasi dengan cara yang konstruktif, menghormati perbedaan, serta berpikir kritis terhadap masalah-masalah sosial yang ada di ranah maya. Anak-anak perlu memahami bahwa media sosial bukanlah arena untuk bersaing, melainkan platform untuk berdiskusi dan belajar menghargai sudut pandang orang lain. Para pengajar dapat menggerakkan pembelajaran yang berbasis proyek untuk melatih anak dalam berdialog, mengambil keputusan secara kolektif, dan mengemukakan pendapat dengan etika yang baik. Dengan demikian, pembelajaran tentang demokrasi tidak hanya berlangsung di dalam kelas, namun juga di ruang digital yang mereka hadapi setiap harinya.
Tantangan dan Peran Guru serta Orang Tua
Salah satu tantangan utama dalam pengembangan karakter dan demokrasi digital adalah kurangnya bimbingan dari orang dewasa. Banyak anak yang menjelajahi internet tanpa pengaturan yang memadai, sedangkan para guru dan orang tua seringkali belum sepenuhnya memahami keadaan dunia digital yang dihadapi anak. Guru dan orang tua perlu berkolaborasi dalam memberikan pendidikan literasi digital yang penuh karakter, bukan dengan melarang secara kaku, tapi melalui pembimbingan dan komunikasi yang baik. Orang dewasa harus menjadi contoh dalam memanfaatkan teknologi secara bijak, tidak menyebarkan informasi palsu, serta menghargai perbedaan pendapat di media sosial.
Menuju Generasi Digital yang Berkarakter dan Demokratis
Anak-anak Indonesia akan berkembang menjadi individu global yang hidup di era digital yang sarat tantangan. Apabila mereka diajari sejak dini mengenai nilai-nilai karakter, rasa tanggung jawab, dan konsep demokrasi digital, maka mereka akan mampu mengoptimalkan teknologi untuk kebaikan bersama.
Pendidikan di tingkat sekolah dasar memiliki posisi strategis dalam membangun kepribadian digital. Jadi, guru, orang tua, dan institusi pendidikan harus bersinergi agar anak tidak hanya menjadi pengguna teknologi yang cekatan, tetapi juga individu yang memiliki etika, empati, dan sikap kritis. Sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara, “Yang menjadi target pendidikan bukan sekadar menjadikan anak cerdas, tetapi juga mengubah mereka menjadi individu yang berperilaku baik. “ Oleh karena itu, pendidikan digital di era ke-21 perlu difokuskan tidak hanya pada kemampuan teknis, tetapi juga pada etika digital sehingga teknologi dapat berfungsi sebagai alat untuk kemanusiaan, bukan sebagai bahaya bagi nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Oleh : Dudung Abdu Salam, M.Pd
Dosen PGSD UM Kuningan
