KUNINGAN (MASS) – Ada yang terasa getir ketika sebuah stasiun televisi nasional, Trans7, menayangkan potongan program yang seolah mereduksi santri, pesantren, dan kiai menjadi bahan tontonan murahan. Dengan narasi yang sembrono, mereka mengaitkan kehidupan santri dengan gambaran sempit. Seakan santri hanya hidup dalam kepatuhan kaku, kiai dilukiskan dengan citra kemewahan, dan pesantren dipotret dari sudut gelap yang dibuat-buat.
Lebih menyakitkan lagi ketika narator acara tersebut melontarkan kalimat seperti, “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?” atau narasi lain yang menyinggung kiai seolah hanya sibuk dengan mobil mewah dan amplop. Potongan narasi seperti ini jelas bukan sekadar salah ucap. Ia membentuk stigma. Ia menanamkan persepsi keliru kepada publik tentang dunia pesantren yang sebenarnya sarat nilai luhur.
Di negeri ini, pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan. Ia adalah rahim peradaban, tempat lahirnya ribuan ulama, pejuang, dan pemimpin bangsa. Santri bukan sekadar murid, melainkan generasi yang digembleng dalam kesederhanaan, dilatih dengan disiplin, dan ditanamkan nilai adab sejak dini. Kiai bukan figur yang bisa diperas maknanya demi rating, melainkan penuntun yang dihormati, simbol kesabaran, dan penopang moral masyarakat.
Sebagai Wakil Ketua GP Ansor Kuningan, saya mengecam keras konten tersebut. Kritik terhadap pesantren bukan hal yang tabu, tetapi harus dilakukan dengan cara yang beradab, adil, dan bertanggung jawab. Apa yang dilakukan Trans7 jelas keluar dari jalur etika jurnalistik. Ada bias, ada prasangka, dan ada kelalaian dalam melakukan verifikasi.
Saya pribadi menyatakan sikap tegas:
Pertama, menuntut pemecatan produser dan pembaca narasi acara tersebut. Bukan soal mencari kambing hitam, tetapi pertanggungjawaban harus jelas. Dalam dunia penyiaran, produser adalah nahkoda. Ketika kapal menabrak karang, maka pemimpinnya harus siap menerima konsekuensi.
Kedua, kami menuntut permintaan maaf secara langsung dan terbuka. Permintaan maaf yang disampaikan hanya lewat surat formal tidak cukup. Luka ini lahir di ruang publik, maka permintaan maaf pun harus diperdengarkan di ruang publik. Trans7 harus berani menyatakan penyesalan mereka, baik kepada para kiai, pesantren, maupun seluruh umat yang merasa tersinggung. Kemudian adab sowan dan silaturahmi harus dikedepankan. Jangan hanya pandai melalui media namun pandir untuk bersua.
Ketiga, kami menuntut pembuatan program tandingan. Bila Trans7 sungguh-sungguh ingin menebus kesalahan, maka seharusnya mereka menayangkan program yang menampilkan nilai-nilai luhur pesantren: konsep adab, pendidikan karakter, kehidupan sederhana namun penuh makna. Program ini bisa menjadi ruang klarifikasi sekaligus ruang edukasi, bahwa pesantren bukan sekadar stereotype, melainkan laboratorium moral bangsa.
Ada sebagian pihak yang mungkin berkata, “Ah, ini hanya tontonan, tidak usah dibesar-besarkan.” Tetapi mari kita ingat: apa yang ditayangkan media membentuk persepsi publik. Anak-anak muda yang menonton bisa salah paham. Masyarakat awam bisa terjebak dalam stigma. Dan perlahan, citra pesantren yang beradab bisa terkikis oleh narasi keliru. Di sinilah bahayanya.
GP Ansor tidak anti kritik. Justru kami terbuka untuk evaluasi, karena pesantren juga bagian dari masyarakat yang perlu terus berbenah. Tetapi kritik itu harus jujur, seimbang, dan bertanggung jawab. Apa yang dilakukan Trans7 bukan kritik, melainkan distorsi.
Media bisa menjadi guru bangsa, tetapi juga bisa menjadi racun bangsa jika dibiarkan sembrono. Karena itu, kami tegaskan: Trans7 harus bertanggung jawab.
Santri terbiasa diajarkan sabar. Tapi jangan keliru menafsirkan kesabaran itu sebagai kelemahan. Ketika adab diinjak-injak, maka suara akan terdengar lantang. Kali ini, suara itu jelas: hentikan pelecehan terhadap pesantren, perbaiki kesalahan, dan kembalikan marwah media sebagai pencerah, bukan perusak.
Sebab pada akhirnya, bangsa ini tidak akan kokoh berdiri hanya dengan gedung-gedung tinggi atau hiruk pikuk layar kaca. Ia akan tegak justru karena ada santri yang menjaga adab, ada pesantren yang mendidik akhlak, dan ada kiai yang terus menjadi penuntun jalan di tengah gelapnya zaman.
Oleh: Ageng Sutrisno
Wakil Ketua PC GP Ansor Kuningan