KUNINGAN (MASS) – Dalam dunia birokrasi, kekompakan dan keharmonisan bukanlah hal sekunder ia adalah prasyarat keberhasilan. Tapi apa jadinya jika seorang kepala daerah, yang baru saja terpilih dan sedang merancang jalur kepemimpinannya, justru dipaksa menerima “jodoh politik birokrasi” berupa hasil seleksi Sekretaris Daerah (Sekda) yang tidak ia rancang, tidak ia nilai, dan tidak pernah ia libatkan?
Penetapan hasil seleksi terbuka (selter) Sekda dilakukan secara tergesa, bahkan sebelum Penjabat (Pj) Bupati yang mengawalnya resmi diganti. Menurut informasi yang beredar, pada 31 Oktober 2024 pukul 16.00 WIB, tahapan wawancara masih berlangsung, namun hanya berselang empat jam, pukul 20.00 WIB, hasil tiga besar langsung diumumkan padahal jadwal resmi menyebutkan pengumuman dilakukan pada 8 November 2024.
Satu hari berselang, Pj Bupati resmi dicopot. Dan publik pun mulai bertanya: mengapa begitu tergesa? Yang lebih janggal, setelah pergantian Pj, narasi baru mulai berkembang bahwa salah satu dari tiga nama tersebut harus segera dilantik sebagai Sekda definitif. Bahkan disebutkan bahwa nama itu telah diajukan ke Kementerian Dalam Negeri. Namun hingga kini, izin pelantikan belum juga turun.
Perlu disadari, Sekretaris Daerah bukan sekadar jabatan administratif. Ia adalah pengendali birokrasi dan mitra utama kepala daerah. Maka, ketika proses pemilihannya tidak melibatkan Bupati definitif, bahkan dipaksakan sebelum Pilkada usai, muncul pertanyaan mendasar: apakah ini fair? Apakah ini etis?
Ini ibarat perjodohan yang tidak berdasarkan cinta, melainkan kontrak warisan. Bupati membutuhkan Sekda yang sejalan visi, mampu bergerak cepat, dan loyal pada program-program pembangunan yang ia rancang. Jika “pasangan” ini tidak seirama, maka yang terguncang bukan hanya komunikasi internal, tetapi juga agenda-agenda strategis daerah.
Kita tidak sedang membahas soal teknis administrasi semata. Ini soal hak politik kepala daerah dalam menentukan siapa yang akan menjadi mitra strategisnya dalam menjalankan roda pemerintahan. Jika kepala daerah terpilih tidak diberi ruang untuk memilih orang kepercayaannya, maka makna Pilkada itu sendiri menjadi kabur.
Maka, demi stabilitas pemerintahan dan kelangsungan pembangunan daerah, perlu ada jalan tengah yang konstitusional. Bupati terpilih seharusnya diberikan kewenangan penuh untuk menentukan figur Sekda yang ia anggap layak mendampingi.
Proses birokrasi tidak boleh menjadi alat untuk mewariskan “jodoh” kepada kepala daerah. Karena dalam politik pemerintahan, “jodoh yang dipaksakan” hanya akan menghasilkan konflik, bukan kolaborasi.
Dan dalam sistem demokrasi yang sehat, kepala daerah harus diberi ruang untuk memilih, bukan hanya menerima.
Oleh: Epa Siti Nurpalah, Wakil Bendahara PSI Kuningan