KUNINGAN (MASS) – Di negeri ini, ganti menteri bukan lagi berita langka. Kita sudah terlalu sering menyaksikan reshuffle kabinet, sampai-sampai rakyat kadang hanya angkat bahu: “Oh, ganti lagi? Siapa sekarang?”
Tapi reshuffle kali ini agak beda. Pertama, karena terjadi hanya beberapa minggu setelah gelombang demonstrasi besar. Kedua, karena yang diganti bukan menteri sembarangan: Sri Mulyani, Menteri Keuangan yang selama hampir dua dekade jadi simbol profesionalisme, harus lengser. Digantikan oleh Purbaya Yudhi Sadewa, ekonom yang sebelumnya lebih dikenal di ruang kajian dan perencanaan.
Apakah ini kejutan? Jelas. Apakah rakyat harus cemas? Belum tentu.
Justru di sinilah menariknya: politik kita selalu bergerak cepat, sering tanpa aba-aba. Publik sering merasa seperti penumpang bus malam: kita ikut berbelok tanpa tahu siapa yang pegang setir.
Kalau reshuffle ini hanya dipandang sebagai “bagi-bagi kursi”, kita akan cepat lelah. Tapi mari kita lihat lebih dalam: apa arti perubahan ini bagi rakyat?
Misalnya, pembentukan Kementerian Haji dan Umrah. Kedengarannya teknis, tapi sebenarnya simbol. Ada kesadaran bahwa ibadah haji dan umrah bukan sekadar ritual, tapi juga bisnis raksasa yang melibatkan logistik, diplomasi, dan tentu saja, harapan jutaan umat. Apakah kementerian baru ini bisa memberi layanan yang lebih manusiawi, lebih efisien? Itu yang layak kita tunggu.
Atau soal Kemenkeu. Menggantikan Sri Mulyani jelas bukan pekerjaan ringan. Purbaya ditugasi di tengah inflasi yang mencubit, utang negara yang menumpuk, dan harapan publik yang kian tinggi. Kita boleh skeptis, tapi juga boleh optimistis. Siapa tahu, justru dengan darah baru, ada terobosan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Perlu diingat, reshuffle ini bukan turun dari langit. Ia datang setelah gelombang protes rakyat—tentang keadilan sosial, soal kesenjangan, soal elite yang terasa makin jauh dari realitas.
Artinya, reshuffle ini adalah cermin: bahwa suara jalanan masih bisa menggoyang kursi empuk di istana. Ada rasa lega sekaligus rasa was-was. Lega karena pemerintah ternyata masih mendengar. Was-was karena jangan-jangan ini hanya kosmetik politik—mengganti orang tanpa mengubah cara kerja.
Apa pelajaran buat masyarakat? Bahwa politik bukan tontonan, tapi arena yang terus memengaruhi isi dapur, biaya sekolah anak, sampai harga beras di pasar. Reshuffle bukan sekadar headline berita, tapi sinyal arah negara ini mau ke mana.
Kita memang tidak bisa memilih menteri langsung. Tapi kita bisa terus mengingatkan, mengkritik, bahkan—jika perlu—turun ke jalan lagi. Demokrasi hanya sehat jika rakyatnya tidak apatis.
Maka, mari kita sambut reshuffle ini dengan mata kritis, hati tenang, dan semangat optimistis. Kritiklah bila salah, dukunglah bila benar. Karena pada akhirnya, siapa pun menterinya, yang lebih penting adalah: apakah rakyat merasa lebih sejahtera?
Kalau reshuffle ini hanya ganti wajah tanpa ganti nasib, maka rakyatlah yang paling rugi. Tapi kalau reshuffle ini jadi titik balik—maka ia layak dicatat sebagai langkah berani Prabowo di tahun pertamanya memimpin negeri.
Dan sejarah biasanya ditulis bukan oleh siapa yang duduk di kursi, tapi oleh siapa yang berani membuat perubahan nyata.
Oleh Agus Saiful Anwar – Dosen UM Kuningan