KUNINGAN (MASS) – Kasus pengelolaan air dan kerusakan kawasan konservasi yang mencuat belakangan ini memperlihatkan kegagalan serius dalam tubuh lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi penjaga lingkungan. Bukan individu yang menjadi masalah, tetapi struktur birokrasi yang memilih diam ketika kawasan lindung dirusak di depan mata.
Kawasan konservasi dibuka tanpa kendali, infrastruktur ilegal dipasang tanpa prosedur, dan sumber air dieksploitasi tanpa kehati-hatian. Semua ini terjadi bukan karena alam lemah, tetapi karena lembaga yang diberi mandat untuk melindungi justru tidak menjalankan fungsinya dengan tegas. Regulasi ada, namun implementasinya longgar; kebijakan dibuat, tetapi hanya berhenti di kertas.
Instruksi resmi pemerintah provinsi untuk menghentikan pemanfaatan lahan hutan jelas, tegas, dan tidak ambigu. Namun beberapa instansi terkait tidak mengindahkannya. Ketika arahan formal setingkat provinsi saja bisa diabaikan, maka publik berhak mempertanyakan:
Apakah institusi di daerah masih bekerja berdasarkan hukum, atau berdasarkan kepentingan internal yang menabrak aturan?
Dampak ekologis akibat lemahnya peran lembaga-lembaga ini kini dirasakan masyarakat. Debit air turun, zona konservasi tergerus. Ini bukan kegagalan teknis ini adalah kegagalan kelembagaan. Kerusakan tidak mungkin berlangsung selama itu tanpa adanya pembiaran struktural.
Runtuhnya wibawa pemerintah daerah sebagai institusi pengambil keputusan.
Regulasi lingkungan terlihat seperti alat yang hanya digunakan ketika nyaman, dan diabaikan ketika menyentuh kepentingan tertentu. Ketidakkonsistenan ini mengikis kepercayaan publik, bukan kepada sosok, tetapi kepada lembaga pemerintahan itu sendiri.
Jika pola pembiaran kelembagaan seperti ini terus berlanjut, maka daerah ini sedang berjalan menuju bencana ekologis yang tidak lagi bisa dikendalikan. Kita sudah melihat bagaimana keruntuhan lembaga pengawasan lingkungan di Sumatra pada 2025 melahirkan banjir besar dan longsor. Bukan individu yang menyebabkan tragedi itu tetapi lembaga yang tidak menjalankan fungsinya, mekanisme yang longgar, dan pengawasan yang tumpul.
Pada titik ini, tuntutan publik sangat jelas:
Lembaga pemerintah daerah harus memilih tetap menjadi penonton kerusakan, atau kembali menjalankan mandat konservasi sebagaimana diatur oleh hukum.
Sebab yang dipertaruhkan bukan reputasi satu orang, tetapi integritas lembaga pemerintahan, kredibilitas kebijakan, dan keselamatan generasi mendatang. Jika lembaga tetap diam, maka rakyat harus bersuara lebih keras agar konservasi tidak lagi menjadi korban dari birokrasi yang gagal.
Oleh: Fillah Ahmad, Mahasiswa Kuningan
