KUNINGAN (MASS) – Dari pembacokan di Cigugur hingga pelecehan terhadap mahasiswi, ruang publik di Kabupaten Kuningan telah berubah menjadi tempat yang menakutkan bagi perempuan. Data Unit PPA mencatat puluhan kasus kekerasan dalam beberapa bulan saja. Ironisnya, di tengah darurat kekerasan ini, peta pembangunan utama Kabupaten Kuningan hingga 2031—Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)—ternyata adalah dokumen yang “bisu gender” dan abai sama sekali terhadap keselamatan perempuan. Ketika realita berteriak, kebijakan justru memilih untuk tutup mata.
Bayangkan menjadi perempuan di Kuningan hari ini. Setiap keluar rumah, ada bayangan ketakutan. Pada Oktober 2023, seorang wanita di Desa Puncak, Cigugur, dibacok mantan suaminya di ruang publik hingga kehilangan jari. Tidak lama sebelumnya, tiga mahasiswi yang sedang menimba ilmu justru menjadi korban pelecehan di kawasan Cigugur. Data UPTD PPA Kuningan mengonfirmasi kekhawatiran ini: puluhan kasus kekerasan terhadap perempuan telah ditangani hanya dalam kurun Januari hingga Mei 2024 saja. Ini adalah sinyal darurat yang tidak bisa lagi diabaikan.
Tragisnya, dalam naskah Perda RTRW Kuningan No. 26 Tahun 2011 yang menjadi panduan pembangunan hingga 2031, kita akan sia-sia mencari kata-kata seperti “perempuan”, “keamanan”, atau “inklusi”. Dokumen ini bisu ketika realita berteriak. Tidak ada satu pun arahan tentang penerangan jalan yang memadai, penataan “mata jalan” (eyes on the street) untuk pencegahan kejahatan, atau desain ruang publik yang minim titik gelap dan lorong sunyi. RTRW yang seharusnya menjadi tameng pertama untuk menciptakan lingkungan aman, justru adalah dokumen yang secara sistemik mengabaikan keselamatan separuh warganya.
Angka-angka itu bukan sekadar statistik. Setiap kasus—mulai dari 6 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke Polres pada 2021 hingga kasus asusila Kades di Padamenak yang memicu protes warga—adalah bukti kegagalan tata kelola ruang kita. Ruang publik yang tidak aman membatasi mobilitas, mengikis hak pendidikan (seperti pada mahasiswi), dan merampas rasa nyaman perempuan. Tanpa arahan RTRW yang responsif, trotoar yang rusak, penerangan yang minim, dan tata letak kios yang tertutup akan terus menjadi faktor pemicu dan pemungkin (enabler) bagi kekerasan.
Konsideran Perda ini juga membuktikan bahwa proses penyusunannya tidak melakukan upaya khusus untuk melibatkan organisasi perempuan atau mendengar suara korban. Bagaimana mungkin RTRW bisa menjawab kebutuhan perempuan jika suara mereka tidak didengar dalam Musrenbang? Hasilnya adalah sebuah kebijakan yang dibuat untuk mereka, tapi buta terhadap teror yang mereka hadapi setiap hari.
Kini, dengan berakhirnya masa berlaku RTRW 2011-2031 dan dihadapkan pada data kekerasan yang mengkhawatirkan, kita berada di titik balik yang krusial. Kabupaten Kuningan memiliki peluang dan tanggung jawab moral untuk membatalkan warisan “buta gender” ini. Revisi RTRW bukan lagi soal perencanaan teknis, melainkan sebuah tindakan penyelamatan dan pemenuhan hak dasar perempuan untuk merasa aman.
Oleh karena itu, dengan didasari pada data kekerasan yang memprihatinkan, kami mendesak:
- Kepada Bupati Kuningan dan DPRD: Segera percepat proses revisi RTRW dengan menjadikan “Keamanan Perempuan di Ruang Publik” sebagai agenda prioritas. Integrasikan prinsip Safe City atau Cities for Women secara eksplisit dalam naskah Perda.
- Kepada Bappeda Kuningan: Lakukan Audit Keamanan Perempuan (Women’s Safety Audit) secara partisipatif di lokasi-lokasi rawan, seperti di Cigugur dan area lainnya, dan jadikan hasilnya sebagai dasar kebijakan. Selenggarakan Musrenbang Khusus Perempuan untuk mendengar langsung solusi dari mereka.
- Kepada Kepolisian dan Dinas Terkait: Kolaborasikan data dan pemetaan kriminalitas dengan Bappeda untuk menciptakan Peta Rawan Kekerasan Berbasis Gender yang dapat diintegrasikan ke dalam RTRW.
Sudah waktunya RTRW tidak hanya mengatur di mana gedung dan jalan dibangun, tetapi lebih dari itu: ia harus menjamin bahwa setiap perempuan dan anak perempuan Kuningan dapat berjalan di jalanannya sendiri tanpa rasa takut. Jangan biarkan satu pun korban berikutnya jatuh karena pembangunan yang abai.
Oleh: R Diah Ayu P
Mahasiswa Prodi Hukum Univ. Muhammadiyah Kuningan
