KUNINGAN (MASS) – Siapa tidak kenal Cimande, salah satu pencak silat asli nusantara ini, memang berkembang dan besar di tatar Sunda, termasuk di Kuningan.
Cimande sendiri, merupakan sebuah pencak silat yang diyakini berasal dari Sunda Buhun. Lahir sekitar tahun 1618, Silat Cimande ini berkembang di Kuningan sekitar tahun 1917an.
Hal itulah yang diutarakan Formateur Padjajaran Cimande Kabupaten Kuningan, Deni Solehudin M Pd saat diwawancarai kuninganmass.com beberapa waktu lalu.
“Dulu penyebarannya di pesantren. Disebarluaskan oleh para kyai dan santri, seperti Mbah Dako dan Eyang Hasan Maolani,” sebutnya.
Cimande sendiri, menurut Deni dianalogikan sebagai kepanjangan dari ‘Cai Iman Anu Hade’, yakni air wudhu.
Selain itu, bisa juga dianalogikan sebagai ‘Ciri Manusia Anu Hade’ karena pesantren merupakan tempat pendidikan agama.
“Menurut sejarah, Cimande ini dikembangkan mbah Khoer di Bogor ke seluruh nusantara. Kasepuhan bilang mah, aslinya (mbah khoer belajar) dari Kuningan,” tuturnya.
Di Kuningan sendiri, Padjajaran Cimande berpusat di Kelurahan Awirarangan. Tak heran, hingga kini Awirarangan sarat dikenal sebagai Kampung Jawara.
Tokoh besar yang dianggap berperan penting dalam penyebaran Cimande sendiri, masih dikaitkan dengan Eyang Prabu Siliwangi. Cimande sendiri, saat masuk di pesantren memiliki sebutan lain, alif-alifan.
“Di kita proses latihannya itu, harus bersih. Wudhu dulu, baca fatihah, sholawat, hadoroh baru latihan,” tuturnya.
Syarat masuk Cimande sendiri cukup unik. Ada istilah yang namanya shigot talek, membaca bai’at.
Biasanya dengan membaca dua kalimat syahadat. Hal itu sangat masuk akal, karena dulunya memang syiar islam.
Ada juga tradisi lainnya seperti kecer untuk ‘menjaga’ mata dan mulut. Lalu ada nyegah (tidak makan nasi, red), serta ngabungbang pada perayaan maulud.
Tingkatan sabuknya pun cukup unik, karena meskipun berawal dari warna putih, tapi tingkatan tertinggi juga warna putih. Seperti ilmu padi, katanya.
“Cimande dulunya khusus bagi yang sudah baligh dan laki-laki. Cuman tahun 2000-an ada perubahan, perempuan juga boleh. Lalu anak-anak di bawah usia juga bisa, kan untuk melestarikan budaya silat,” paparnya.
Selain adanya perubahan tadi, silat sendiri di zamaan modern lebih banyak dilakukan sebagai kebutuhan bela diri dan olahraga. Deni bilang, tradisi jadi prestasi.
Kolaborasi juga makin meluas dengan adanya alat musik lain seperti kendang dan karinding, serta unsur alat musik lain.
“Kita tidak akan menghilangkan musik silatnya, tapi kita akan kolaborasi dengan musik lain. Kita kolaborasi juga dengan birokrasi seperti UMKM, Damkar atau kepemudaan lainnya untuk pemberdayaan ekonomi dan SDM,” jelasnya. (eki)