KUNINGAN MASS – Pada setiap konflik agraria, narasi bisa menjadi senjata. Tak terkecuali dalam polemik jalan Cisantana di Kabupaten Kuningan. Jalan yang kini menjadi akses utama ke sejumlah objek wisata di selatan Palutungan, disebut-sebut dibangun di atas tanah negara, bahkan dituduh diserobot pemilik tanah. Namun bagi Abidin, warga asli Cisantana yang menjadi kuasa dari pemilik sah lahan tersebut, menyatakan tuduhan itu tidak hanya menyakitkan, tapi juga menyesatkan.
“Banyak yang bilang itu sertifikat baru, padahal sudah ada sejak 1975,” ujar Abidin dalam podcast Kuningan Mass, Rabu (23/4/2025).
Ia menyebut, sertifikat atas nama Irene Lie yang terbit pada tahun 2022 bukan sertifikat baru, melainkan perubahan nama dari hasil transaksi yang sudah dilakukan sejak 2013. Menurut Abidin, penyebutan sertifikat baru dan klaim tanah negara merupakan bentuk manipulasi informasi yang dapat menciptakan persepsi keliru di masyarakat.
“Ini bukan fiksi, ini fakta. Kalau ada yang menyebut tanah ini milik negara, tolong buktinya. Kami punya semua data, legalitas lengkap,” tegasnya.
Ia bahkan menilai narasi yang berkembang di media justru memperkeruh keadaan.
“Ada judul berita yang menyebut penyerobotan tanah milik oleh pemerintah. Ada juga yang bilang kami menghambat pembangunan. Padahal kami belum pernah diajak duduk bareng untuk tabayun,” katanya.
Sebagai kuasa dari Irene Lie, Abidin tidak menyoal kehadiran jalan itu jika dibangun untuk kepentingan umum. Namun, menurutnya, penting untuk meluruskan kesalahpahaman yang bisa memicu konflik horizontal.
“Kami tidak ingin jadi korban framing media. Hak kami sebagai pemilik tanah diabaikan, lalu kami disudutkan pula seolah penghambat kemajuan,” ujarnya.
Ia juga menanggapi pernyataan yang menyebut adanya pertemuan antara pemilik tanah, BPN, dan pemerintah daerah. Pada podcast yang ia hadiri bersama Tono Kartono yang dikuasakan, pihaknya langsung memberikan klarifikasi.
“Kami klarifikasi, tidak ada pertemuan itu. Kami sebagai pemegang kuasa justru tidak pernah diundang. Kalau pun ada komunikasi, mestinya resmi, bukan katanya,” ungkapnya
Pada konteks agraria, kejelasan asal-usul tanah menjadi hal utama. Abidin menjelaskan, jenis tanah yang mereka kuasai bukan tanah negara, melainkan tanah GG (Gunung Garap) dan tanah gendom, yang bisa dimiliki secara sah menurut Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1950.
“Istilah tanah negara itu terlalu mudah digunakan. Padahal ada banyak jenis tanah dengan prosedur masing-masing,” jelasnya.
Klarifikasi seperti itu, menurutnya, penting agar publik tidak hanya menerima satu sisi cerita. Karena dalam setiap konflik, kebenaran tak hanya soal hukum, tapi juga soal siapa yang didengarkan. Ia mengingatkan, agar publik lebih berhati-hati dalam menerima informasi.
“Masyarakat awam bisa jadi korban narasi. Yang kami harapkan, duduk bersama, bicara baik-baik. Bukan dibentuk opini seolah kami ini menghalangi pembangunan,” pungkasnya. (argi)
Selengkapnya tonton di sini :