KUNINGAN (MASS) – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, kembali menjadi sorotan publik dengan pendekatan kontroversial dalam menangani anak-anak bermasalah. Alih-alih dihukum secara konvensional, mereka justru dibawa ke sebuah barak pembinaan berkonsep semi-militer. Di sana, mereka diberi kegiatan fisik, kedisiplinan keras, dan rutinitas padat layaknya latihan militer.
Kebijakan ini menuai pro dan kontra. Di satu sisi, banyak pihak menilai metode tersebut efektif meredam kenakalan remaja secara cepat. Namun di sisi lain, pendekatan ini belum memiliki dasar kajian akademik dari sudut pandang psikologi perkembangan anak dan sistem pendidikan nasional.
Menurut pengamat pendidikan karakter, pendekatan militeristik hanya menekankan aspek kedisiplinan tanpa menyentuh dimensi emosional, spiritual, dan sosial anak. Padahal, karakter remaja terbentuk bukan hanya dari kepatuhan, melainkan dari pemahaman nilai, motivasi internal, dan keteladanan.
Pembinaan ala barak mungkin menyelesaikan masalah sesaat, tapi berisiko memunculkan trauma atau ketundukan tanpa makna jika tak didampingi pendekatan psikologis dan edukatif.
Steinberg, L. (2014). Age of Opportunity: Lessons from the New Science of Adolescence. Houghton Mifflin Harcourt. Dalam kajiannya, Steinberg menyoroti pentingnya pendekatan edukatif berbasis neuropsikologi dalam membentuk perilaku remaja, bukan hanya sekadar kedisiplinan otoriter.
Menjawab keresahan tersebut, Pesantren menawarkan solusi yang lebih terstruktur dan berbasis nilai. Dengan sistem pendidikan holistik terpadu, sekolah ini memadukan tiga pendekatan utama:
1. Pendidikan Karakter Islami – melalui pembiasaan adab, ibadah, dan pembinaan spiritual dalam lingkungan Pesantren.
2. Pendidikan Vokasi Berjenjang untuk menunjang life skill santri – mulai dari pertanian dan peternakan, tata boga dan produksi halal, hingga digital marketing.
3. Pendidikan Akademik dan Teknologi – berbasis Kurikulum Merdeka, berpadu dengan keterampilan abad 21.
Anak-anak bukan untuk ditundukkan, tapi diarahkan agar memahami jati diri, bertanggung jawab, dan memiliki masa depan jelas. Kami tanamkan karakter, akhlak, dan keterampilan sekaligus.
Model pendidikan di Pesantren membuktikan bahwa disiplin tidak harus keras, melainkan bisa dibangun lewat keterlibatan aktif siswa dalam kegiatan produktif dan spiritual. Di sekolah ini, siswa tak hanya belajar teori, tetapi juga praktik: bercocok tanam, bertani, memasak, memasarkan produk digital, dan membangun kerja tim. Sistem seperti inilah yang seharusnya jadi kebijakan pendidikan nasional.
Hal ini menyimpulkan agar kebijakan seperti militerisasi anak nakal dievaluasi secara akademik dan dikaji dengan pendekatan ilmiah yang matang. Anak-anak bukan tentara kecil, tapi calon pemimpin masa depan yang harus dibina dengan kasih sayang, teladan, dan ilmu.
Pendekatan karakter dan keterampilan berbasis nilai Islam dan teknologi modern mampu mengatasi masalah remaja tanpa harus mengintimidasi.
Oleh: K. Usmad Said
Dewan Pengasuh Pesantren Syamsul Huda