KUNINGAN (MASS) – Bangsa Indonesia akan kembali memperingati Hari Santri Nasional (HSN), tepatnya 22 Oktober pada setiap tahunnya. Peringatan HSN ini sejatinya pengakuan terhadap pesantren yang memiliki andil besar dalam membangun bangsa. Selain itu, menjadi tantangan bagi pesantren agar benar-benar menjadi kawah cadradimuka melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional dan berkarakter.
Berbicara pendidikan yang berkualitas tidak dapat dilepaskan dari pendidikan berbasis pesantren. Pendidikan berbasis pesantren –dengan segala kekurangan dan kelebihannya– memiliki keunggulan yang tidak diragukan. Pasalnya, pesantren mampu mengintegrasikan ilmu umum dengan ilmu agama, dan selama dua puluh empat jam santri (siswa) dalam pengawasan pembimbing (ustadz/guru).
Dengan sistem pengawasan dua puluh empat jam dapat meminimalisir pengaruh buruk dari luar peantren. Pun, di lingkungan pesantren santri diajarkan pola hidup kebersamaan, kemandirian, kedisplinan, kesederhanaan, dan yang utama adalah pendidikan akhlak mulia.
Sedangkan, salah satu kelemahan pendidikan yang tidak berbasis pesantren, siswa tidak diasramakan, dan setiap hari pulang ke rumah. Sayangnya, waktu di rumah tidak digunakan secara optimal untuk belajar, melainkan dihabiskan untuk menonton televisi dan internetan.
Dalam banyak kasus di kota-kota besar, anak-anak sekolah habis waktunya di jalan karena macet. Bisa dimungkinkan, siswa dari rumah izinnya berangkat ke sekolah tetapi tidak ke sekolah, atau pun sebaliknya.
Berkaitan pendidikan pesantren, Prof Nanat Fatah Natsir, menyebutkan empat keunggulan pendidikan berbasis pesantren. Keunggulan ini tidak dimiliki sekolah-sekolah pada umumnya.
Pertama, pesantren mengajarkan hakikat keimanan. Keimanan adalah pegangan pokok dan sangat menentukan bagi kehidupan manusia, karena iman menjadi landasan bagi setiap amal yang dilakukannya. Hanya amal yang dilandasi iman-lah yang akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang baik dan kebahagiaan yang hakiki di akhirat nanti.
Karena iman itulah dasar dan pondasi setiap langkah. Iman ini yang akan membentuk fikrah (pola pikir seseorang) menjadi seorang muslim yang bersih aqidahnya (salimul aqidah). Itulah bekal asasi memasuki hari-hari yang paling menentukan di ”… hari yang tidak berguna lagi harta dan anak-anak, kecuali yang menghadap Allah dengan hati yang lurus.” (QS Asy-Syu’ara [26]: 88-89).
Kedua, para santri menerima ilmu yang luas dari pendidikan di pesantren. Para santri tak cuma menerima ilmu menyangkut keagamaan, namun para santri betul-betul beribadah kepada Allah SWT. Sebab, selama 24 jam santri mendapat bimbingan dan pengawasan secara intens dari para ustadz/ kyai. Para santri pun dibekali pemahaman kemandirian dan bagaimana mencari rezeki yang halal sehingga dapat membentuk kepribadian santri yang mandiri.
Ketiga, dalam pesantren para santri pun diajarkan tentang akhlak mulia. Dengan akhlak mulia, diharapkan mereka menjadi suri teladan bagi keluarga dan masyarakatnya. Oleh karena itu, banyak lulusan pesantren yang memiliki kontribusi besar dalam membangun negeri ini.
Misalnya, Amin Rais, Din Syamsuddin, Hidayat Nur Wahid, Mahfud MD, Jimly Assiddiqie, dan masih banyak lagi tokoh bangsa yang lahir dari pendidikan pesantren yang tidak cukup untuk disebutkan satu-persatu di sini.
Keempat, lulusan pesantren dituntut untuk menjaga, mengamalkan, dan meningkatkan amal saleh. Sebab, Islam menginginkan orang yang berilmu mengamalkan ilmu demi kebaikan diri dan orang lain. Ilmu pada seseorang ibarat sebatang pohon dan amal sebagai buahnya.
Karena itu, layak jika pesantren menjadi pilihan utama pendidikan berkualitas sekaligus sebagai tempat untuk membentuk insan paripurna (insan kamil), atau lebih sederhananya adalah menjadikan anak shaleh dan pinter.
Modal Belajar di Pesantren
Modal mondok (belajar) di pesantren adalah betah. Jika tidak betah, anak pintar pun akan kehilangan konsentrasi belajar. Sebaliknya, jika anak itu pas-pasan tetapi betah di pesantren, ia akan dapat konsentrasi dan belajar dengan baik.
Hal yang perlu dilakukan orang tua ketika anak belajar di pesantren adalah doa. Jika segala upaya sudah dilakukan, maka langkah berikutnya adalah menguatkan diri dengan doa. Sebab yang membolak-balikkan hati itu, bukan siapa-siapa tetapi Allah SWT.
Pada umumnya, orang tua memasukkan anak ke pesantren, ingin memperoleh tempat aman dan nyaman bagi anak. Tempat yang sesuai dengan harapan orang tua. Apalagi banyak tempat saat ini mengkawatirkan orang tua. Pendek kata, orang tua meghendaki pendidikan yang diberikan ini menghasilkan peserta didik menjadi anak saleh dan pintar.
Pola aktivitas keseharian di pesantren berbeda. Jika di rumah anak lebih banyak nonton televisi dan internetan, di pesantren lebih banyak mengkaji Alquran. Hal sama terjadi juga dalam hal makan dan minum. Di rumah, makan, minum, dan mandi tidak harus mengantre. Di pesantren harus mengantre, sepintas hal ini tampak sepele, tetapi dikemudian hari anak akan tumbuh menjadi insan yang berkarakter sabar dan mandiri.
Kehidupan pesantren, mengantarkan anak pada kehidupan 24 jam bersama teman. Jika di rumah hanya mengenal beberapa orang, maka di pesantren akan mengenal banyak orang dengan latar belakang keluarga dan daerah yang berbeda-beda.
Di situlah akan terjadi kerukunan yang lintas batas, menanamkan dan menjalin ukhuwah. Makanya di pesantren ditanamkan saling menghargai dan menghormati. Yang tua menyayangi yang muda, yang muda hormat kepada yang tua. Di pesantren juga diajarkan akhlak kepada guru, orang tua, dan teman.
Di sekolah pada umumnya belajar hanya berkisar 2-7 jam, di pesantren 24 jam. Pesantren menjadi sebuah laboratorium dalam implementasi nilai-nilai Islam, sehingga lambat laun akan dapat membentuk karakter anak didik. Lebih jauh lagi adalah melahirkan sumber daya manusia yang profesional dan berkarakter. Semoga.
Penulis : KH. Imam Nur Suharno, SPd, SPdI, MPdI
Kepala Divisi Humas dan Dakwah Pesantren Husnul Khotimah Kuningan Jawa Barat dan Alumni Pesantren Raudlatul Ulum Pati Jawa Tengah