KUNINGAN (MASS) – Kabupaten Kuningan, yang terletak di lereng Gunung Ciremai, dikenal sebagai salah satu kantong keanekaragaman hayati dan penyangga sistem hidrologis penting di Jawa Barat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, wajah Kuningan mulai berubah. Hutan yang dulu lebat mulai dibuka untuk glamping, resort, kafe panorama, dan jalur wisata komersial. Semua mengatasnamakan kemajuan dan pengembangan ekonomi lokal. Tapi mari kita bertanya: ini kemajuan, atau justru kemunduran yang disamarkan?
Landasan Hukum: Lingkungan Bukan untuk Diperjualbelikan
Pembangunan apapun—terutama yang bersinggungan dengan kawasan lindung, sempadan sungai, atau daerah resapan air—wajib tunduk pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Salah satu instrumen penting yang diamanatkan oleh UU ini adalah AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).
Pasal 22 UU No. 32/2009 menyebutkan bahwa setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki dokumen lingkungan hidup—AMDAL, UKL-UPL, atau SPPL, tergantung skala dan dampaknya.
Lebih lanjut, dalam Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021, ditegaskan bahwa setiap kegiatan pembangunan di kawasan lindung atau kawasan resapan air harus melalui kajian ketat dan hanya bisa dilaksanakan bila tidak merusak fungsi ekologisnya. Jika pembangunan dilakukan tanpa izin lingkungan atau melanggar tata ruang, maka pelaku dapat dikenakan sanksi administratif, pidana, dan perdata.
Pertanyaan untuk Pemerintah dan Pengembang Wisata
Jika benar pembangunan wisata di Kuningan bertujuan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat dan mengenalkan alam kepada publik, maka mari kita audit secara terbuka:
1. Apakah semua lokasi wisata baru di Kuningan telah memiliki AMDAL yang sah dan dapat diakses publik?
2. Apakah proses AMDAL tersebut melibatkan partisipasi masyarakat sekitar, termasuk komunitas adat dan kelompok pemerhati lingkungan?
3. Apakah pengawasan terhadap pelaksanaan AMDAL dilakukan secara periodik oleh Dinas Lingkungan Hidup?
4. Bagaimana peran pemerintah daerah dalam menindak pelanggaran tata ruang dan lingkungan?
5. Apakah pendirian kafe, resort, dan glamping di hutan produksi atau kawasan lindung sesuai dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten Kuningan?
Dampak Nyata yang Mulai Terasa
Kerusakan hutan sekecil apapun akan membawa konsekuensi ekologis jangka panjang: hilangnya mata air, meningkatnya potensi banjir bandang, longsor, serta terganggunya habitat flora dan fauna endemik. Ini bukan retorika. Ini sudah mulai terjadi.
Contohnya jelas: Jalan menuju kawasan wisata Lembah Cilengkrang, salah satu gerbang penting menuju Gunung Ciremai, kini mulai mengalami longsor. Hal ini diduga kuat akibat gangguan pada struktur tanah dan penurunan fungsi resapan air akibat aktivitas pembangunan yang masif. Jalan yang dulu dilindungi pepohonan kini terbuka dan rentan geser. Ini alarm, bukan anekdot.
Jika wisata hanya berorientasi pada estetika visual tanpa memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan, maka yang terjadi adalah eksploitasi, bukan edukasi.
Pembangunan vs Kearifan Lokal
Kuningan memiliki kearifan ekologis yang hidup: dari sistem pengelolaan air berbasis leuweung (hutan) hingga tradisi dalam menjaga sumber daya alam. Namun ironisnya, alih-alih merujuk pada nilai-nilai lokal tersebut, banyak proyek wisata justru membawa pendekatan kapitalistik yang seragam dan menekan ekosistem.
Apakah kita ingin mengembangkan wisata berbasis ekologi dan budaya, atau sekadar mengulang pola eksploitatif seperti di daerah lain?
Mari Audit Bersama
Inilah waktunya kita, warga Kuningan dan pecinta lingkungan, mengawal proses ini secara terbuka:
* Desak transparansi semua dokumen AMDAL untuk proyek wisata.
* Minta pertanggungjawaban pemerintah daerah sesuai kewenangannya dalam *Pasal 63 UU 32/2009*, yang mewajibkan pemerintah daerah menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.
* Dorong partisipasi warga dalam revisi RTRW agar tidak dimonopoli kepentingan investor.
* Dukung inisiatif wisata yang benar-benar berbasis konservasi dan keadilan ekologis.
Kuningan bukan sekadar tempat untuk difoto dan ditinggalkan. Ia adalah ruang hidup yang harus dijaga dengan hukum, hati, dan nalar. Jangan biarkan pembangunan yang tak berpijak pada keadilan ekologis menjadi alasan kehancurannya.
Penulis: Muhammad Hanif – Founder Swara Pemoeda