KUNINGAN (MASS) – Makan Bergizi Gratis (MBG) dijanjikan sebagai berkah. Pemerintah menyebutnya sebagai investasi bagi generasi, pondasi bagi masa depan. Tetapi apa yang terjadi? Piring-piring yang seharusnya menghidangkan harapan, justru menyajikan racun. Ribuan anak jatuh sakit. Sekolah berubah jadi ruang gawat darurat. Orang tua panik, masyarakat marah. Dan pertanyaan besar pun muncul: apakah MBG benar-benar program gizi, atau sekadar proyek politik murahan?
Fakta berbicara lantang. Hingga September 2025, lebih dari 5.900 anak keracunan dalam 70 insiden di berbagai daerah. Angka ini bukan sekadar statistik ini adalah nyawa, tangisan, dan trauma. Penyebabnya begitu sepele: makanan basi, alat tercemar, distribusi kacau. Bukankah ada ahli gizi? Bukankah ada penanggung jawab dapur? Jika mereka bekerja dengan hati, bagaimana mungkin tragedi ini terjadi berulang-ulang?
Inilah yang mencurigakan. Apakah ahli gizi kita benar-benar profesional, atau hanya boneka titipan? Apakah kursi strategis diisi oleh mereka yang ahli, atau oleh mereka yang dekat dengan penguasa? Karena jelas, ketika yang diprioritaskan adalah loyalitas, bukan kompetensi, maka yang menjadi korban adalah anak-anak bangsa.
Masyarakat juga harus membuka mata. MBG bukan festival rasa. Anak-anak tidak butuh makanan ala kafe; yang mereka butuh hanyalah porsi sederhana, bersih, dan aman. Jangan terjebak pada ambisi “lezat”, yang justru berbahaya jika bertumpu pada zat kimia pelezat dalam jumlah besar. Gizi bukan soal lidah, melainkan soal keselamatan tubuh.
Jika benar niatnya hanya memperbaiki gizi, ada cara yang lebih sederhana: tablet atau sirup suplemen. Lebih aman, lebih jelas kandungannya, lebih mudah diawasi. Tapi pemerintah memilih jalur distribusi makanan jadi. Di satu sisi memang bermanfaat menggerakkan petani lokal, mendorong peternak unggas, membuka lapangan kerja. Tapi apa artinya itu semua jika nyawa anak-anak digadaikan karena pengawasan yang amburadul?
Lalu di mana transparansi? Rakyat tidak tahu siapa ahli gizi yang ditunjuk, bagaimana kontrol kualitas berjalan, dan siapa yang seharusnya bertanggung jawab. Semuanya kabur. Dan dalam kabut itu, terciumlah aroma nepotisme: jabatan vital dijadikan kursi titipan.
Tragedi keracunan MBG adalah alarm. Alarm keras bahwa kesehatan anak bangsa tidak boleh dipermainkan. Pemerintah harus membuka tabir, menghukum yang lalai, dan menyingkirkan praktik titipan. Jika tidak, MBG bukanlah investasi gizi, melainkan investasi politik yang menjual masa depan anak-anak.
Pertanyaan terakhir yang harus kita ajukan bersama: mau sampai kapan anak-anak kita jadi korban?
Oleh: Fillah Ahmad, Mahasiswa Kuningan