KUNINGAN (MASS) – Di awal kemerdekaan negara Malaysia, tenaga pendidik kita memiliki jasa besar dalam mencerdaskan anak bangsa Malaysia. Kenapa ini bisa terjadi? Ini karena pemimpin Malaysia meminta para tenaga pendidik untuk mengajar dan membagun sistem pendidikan di Malaysia. Tentunya prestasi ini amat membanggakan dan telah mencatat sejarahnya sendiri dalam dunia pendidikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Deutsche Well (2018) merilis daftar negara ASEAN dengan peringkat pendidikan yang tinggi meletakan Malaysia pada urutan ke Tiga dari sepuluh negara ASEAN. Artinya, legasi yang ditinggalkan oleh para tenaga pendidik kita berhasil membangun karakter pendidikan negara Malaysia.
Lalu bagaimana dengan kemajuan pendidikan kita. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 17 tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), pasal 15 Permendikbud No 17 tahun 2017 dijelaskan bahwa dengan menerapkan sistem zonasi, sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah paling sedikit sebesar 90 persen yang kemudian terdapat perubahan menjadi 80 persen dari total jumlah peserta didik yang diterima. Tentunya dari peraturan ini sangat mendukung bagi pengembangan dan kemajuan pendidikan di wilayah masing-masing.
Sebenarnya peraturan menteri ini memberikan kemudahan dan keuntungan bagi masyarakat untuk dapat memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka. Ini karena melaui kebijakan Sistem Zonasi Sekolah bagi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dapat melakukan penyeteraan pendidikan formal, tanpa membandingkan berkualitas atau tidak berkualitasnya satu sekolah. Namun tidaklah sesederhana menganalogikan Kebijakan menteri Pendidikan tersebut. Setidaknya ada beberapa alasan yang penting untuk diketahui oleh masyarakat.
Pertama, Sistem Zonasi meminimalisir sikap elitisme pendidikan. Sesuatu yang aneh jika sekolah adalah tempat pendidikan karakter yang bermoral akan tetapi sebaliknya mencetak generasi yang elitis adalah kesalahan yang besar. Oleh itu, melalui kebijakan tersebut sikap elitis ini dapat diminimalisir.
Kedua, diskriminasi sekolah yang fasih diucapkan dengan sekolah favorit yang hanya bisa dinikmati oleh anak-anak yang mampu tidak lagi mengemuka di ruang publik. Tentunya orang tua mahukan anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Namun, penyeteraan dan penyeragaman juga adalah hal yang penting bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Hal ini juga telah ditetapkan oleh pemerintah bahwasanya pemerintah memberi ruang kepada anak-anak bangsa yang secara kecerdasan mereka melebihi rata-rata dapat melamar di sekolah ikatan dinas yang telah ditentukan oleh pemerintah.
Merujuk dari dua alasan di atas, tentunya kebijakan menteri tersebut memiliki singkronasi dan tujuan yang sama dari sembilan butir kebijakan Zonasi diantaranya adalah Zonasi tidak hanya untuk PPDB, redistribusi tenaga pengajar, bertujuan untuk penyeteraan dan keadilan, orang tua tidak perlu resah dan prestasi siswa bukan sekolah.
Untuk memastikan kebijakan PPDB dapat terlaksana dan difahami oleh masyarakat. Pemerintah tentunya harus melakukan sosialisasi yang masif kepada orang tua murid. Bahwa kententuan ini adalah untuk menciptakan kondisi pendidikan yang setara tanpa adanya diskriminasi antar sekolah favorit dan tidak favorit. Selain dari itu, pemerintah juga harus memastikan bahwa ketersedian bangunan sekolah di setiap Zonasi mampu menampung siswa yang bersekolah di sana. Hal ini amatlah penting karena untuk meyakinkan setiap orang tua bahwa persepsi mereka tentang kualitas pendidikan sekolah unggul dan sekolah biasa haruslah di ubah sejak saat ini. Oleh itu, pemerintah harus merasionalkan dari setiap kebijakan mereka.
Kontroversi terkait hal zonasi memang menjadi polemik yang seksi untuk dibahas apalagi pasca pemilu yang menguras emosi bangsa Indonesia, tetapi nalar dan akal sehat perlu digunakan untuk mencerna kebijakan tersebut melihat dari sisi positif dan negatif. Yang dilakukan oleh pemerintah bukanlah upaya untuk menyengsarakan masyrakat tapi untuk meningkatkan kualitas agar pendidikan bisa merata, tidak sedikit Sekolah Negeri yang gulung tikar atau merger dengan sekolah lain diakibatkan oleh sepinya peminat, ataupun orangtua yang mengeluh karena anaknya merengek meminta kendaraan karena jarak tempuh yang jauh dari rumah ke sekolah favorit.
Problematika seperti ini memang tidak terjadi di semua wilayah tapi di beberapa daerah khususnya daerah terpencil. hal ini menjadi permasalahan yang patut diperhatikan, kebijaksanaan dalam menyikapi kebijakaan pemerintah perlu dikedepankan dengan melihat sampel yang diambil bukan di salah satu wilayah saja tapi di berbagai daerah.***
Penulis: Dede Awaludin
Sekjen DPD KNPI Kuningan & Sekjen ICMI Orda Kuningan