KUNINGAN (MASS) – Isu mengenai kualitas pengelolaan keuangan daerah kembali menjadi perbincangan di Kuningan. Bukan hanya karena opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang turun dari predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) menjadi Wajar Dengan Pengecualian (WDP), tetapi juga karena pernyataan Rana Suparman anggota DPRD dari Fraksi PDIP sekaligus politisi senior daerah ini.
Dalam tulisannya, ia menyatakan bahwa penurunan opini tersebut menunjukkan keunggulan politisi dalam mengelola pemerintahan, dibandingkan dengan birokrat. Sebagai argumen, ia menunjuk pada periode sebelumnya yang dipimpin oleh kepala daerah dari kalangan politisi yang berhasil mempertahankan opini WTP, sedangkan padaa saat di bawah kepemimpinan Penjabat (Pj) Bupati dari unsur birokrat, predikat itu justru menurun.
Pernyataan ini sontak memancing tanggapan, salah satunya datang dari seorang mahasiswi yang mengkritisi narasi tersebut. Ia menilai bahwa WTP bukanlah tolak ukur tunggal keberhasilan dalam tata kelola pemerintahan, apalagi menjadi cermin moralitas atau integritas. Ia mencontohkan bagaimana sejumlah kepala daerah yang pernah diganjar opini WTP justru tersandung kasus korupsi. Menurutnya, menjadikan opini WTP sebagai pembeda antara kualitas politisi dan birokrat adalah pendekatan yang dangkal dan menyesatkan.
Kedua pendapat ini, meskipun berada pada kutub yang berbeda, sama-sama menyisakan kekeliruan dalam melihat persoalan. Rana Suparman tampak menyederhanakan dinamika pemerintahan yang kompleks menjadi soal administratif semata. Ia menjadikan WTP, yang sejatinya adalah hasil evaluasi atas penyajian laporan keuangan, sebagai simbol keberhasilan politik. Padahal, opini WTP bukanlah indikator komprehensif atas kualitas kepemimpinan. Menggunakannya sebagai ukuran superioritas politisi atas birokrat terlalu tergesa-gesa dan cenderung menyimpang dari logika kebijakan publik yang objektif.
Namun kritik yang ditujukan pada rana suparman juga tidak sepenuhnya tepat. Menyamakan kasus di Kuningan dengan praktik korupsi kepala daerah lain yang pernah meraih WTP adalah bentuk perbandingan yang tidak sepadan. Harus dipahami bahwa WTP tidak pernah berarti jaminan bebas dari korupsi, sebagaimana WDP pun tidak secara otomatis berarti ada tindakan kriminal. Turunnya opini di Kuningan misalnya, lebih disebabkan oleh permasalahan administratif di tiga Organisasi Perangkat Daerah (OPD), yang dianggap menggunakan anggaran tidak sesuai dengan peruntukannya. Hal ini bukan perkara pidana, melainkan ranah pembinaan dan perbaikan manajerial (Administratif).
Di titik inilah kita harus bisa bersikap jernih. Memang, menjadikan WTP sebagai satu-satunya simbol keberhasilan jelas keliru. Tapi membuang maknanya begitu saja juga tidak adil. WTP tetap penting sebagai indikator kepatuhan terhadap standar akuntansi, kedisiplinan pencatatan keuangan, serta konsistensi dalam pelaporan. Yang patut dikritik bukan WTP-nya, melainkan cara sebagian elit menggunakannya secara politis, bahkan manipulatif, untuk membangun citra atau menyerang lawan.
WTP dan WDP seharusnya dipahami sebagai alat evaluasi dan bahan refleksi, bukan sebagai senjata dalam persaingan antara politisi dan birokrat. Apalagi jika dikemas dengan baju kepentingan partisan. Padahal, dalam sistem pemerintahan, politik dan birokrasi adalah dua elemen yang seharusnya saling mendukung, bukan saling meniadakan.
Publik juga perlu lebih hati-hati dalam membedakan hasil audit administratif dengan hasil penyelidikan hukum. Mengaitkan WTP dengan daftar kepala daerah yang terseret KPK akan menjebak kita dalam generalisasi berlebihan. Begitu pula, menjadikan opini BPK sebagai dalih menyalahkan satu pihak tanpa memahami konteks strukturalnya hanya akan menyesatkan arah diskusi publik.
Generasi muda di Kuningan, khususnya mahasiswa, perlu hadir sebagai penyeimbang dalam pusaran narasi semacam ini. Tidak larut dalam puja-puji yang terlalu cepat, namun juga tidak terjebak dalam sikap sinis yang berlebihan.
Kita perlu nalar yang sehat dan logika yang adil agar tata kelola pemerintahan bisa dikawal secara rasional. Karena pada akhirnya, baik politisi maupun birokrat, keduanya bisa membawa perubahan atau justru kehancuran tergantung pada sistem yang menopang dan integritas yang mereka bawa.
Oleh: Andika Ramadhan, Mahasiswa Hukum