KUNINGAN (MASS) – Akhir-akhir ini kemunculan bau tidak sedap kembali terjadi dilingkungan Kelurahan Purwawinangun, Kecamatan Kuningan. Bau tersebut bersumber dari kotoran hewan (kohe) sapi yang mengalir di aliran sungai RT 7, Dusun Puhun, Kelurahan Purwawinangun.
Masalah ini muncul setiap musim penghujan, ketika aliran sungai membawa limpasan kohe. Kohe tersebut diduga berasal dari peternakan di wilayah Kelurahan Cipari, Kecamatan Cigugur.
Aktivis lingkungan, Oky Rohmania salah satu warga Purwawinangun menjelaskan baru-baru ini masalah tahunan tersebut kembali di wilayahnya. Ia menyebut kemunculan bau tersebut sangat mengganggu warga setempat.
“Beberapa hari kebelakang, masalah tahunan ini kembali muncul saat Kuningan diguyur hujan deras, saya juga merekam video langsung aliran sungai, selain bau terlihat keruh dan berbusa,” ujar Oky, Rabu (1/10/2025).
Menurut Oky, saat musim kemarau, kotoran sapi ditimbun di tepi sungai. Namun, ketika hujan deras, kohe terbawa aliran air menuju sungai hingga akhirnya sampai ke Purwawinangun.
“Ketika hujan deras, air mengalir membawa kohe yang menimbulkan bau tidak sedap. Jarak sekitar 20 meter juga tetap tercium baunya,” jelasnya.
Aktivis lingkungan, Oky Rohmania, warga Purwawinangun. (Foto: didin sanudin)
Oky menyebut, persoalan tersebut telah berlangsung sejak 2018 hingga sekarang, warga sudah berulang kali mengeluhkan bau dan pencemaran air.
“Pada 2019 sempat dimediasi oleh Pak Bupati Acep dan beberapa pihak lain. Saya mendengar waktu itu sempat dibikin suatu kesepakatan atau MOU antara pihak kelurahan dan pihak peternak, menghasilkan kesepakatan berupa pemberian sanksi denda bagi peternak yang kedapatan membuang kohe sembarangan,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan dampak lain dari pencemaran kohe juga dirasakan warga. Air yang tadinya jernih kini berubah warna, dan pada beberapa kasus, ikan di kolam warga mati.
“Di Kelurahan Winduherang sempat ada ratusan ikan mati akibat kiriman kohe dari Cipari. Kalau disini ketika debit air tinggi, pencemaran bisa sampai ke sumber mata air yang dipakai warga untuk kebutuhan sehari-hari,” tambah Oky.
Ia menilai, hingga saat ini pemerintah daerah belum memberikan solusi konkret.
“Kami harapkan Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Peternakan jangan hanya turun sesaat ketika masalah mencuat. Harus ada langkah serius agar persoalan ini tidak terus berulang setiap tahun,” tegasnya.
Selain berdampak pada kesehatan dan kenyamanan, pencemaran kohe juga mengganggu ekosistem sungai. Warga khawatir jika tidak segera ditangani, persoalan ini akan menimbulkan kerugian lebih besar, terutama bagi masyarakat yang masih memanfaatkan sumber air alami untuk minum dan masak.
Sementara itu, saat ini warga masih menunggu tindak lanjut dari pihak terkait. Jika tidak ada solusi, mereka membuka kemungkinan untuk menggelar audiensi hingga aksi bersama sebagai bentuk protes atas pencemaran lingkungan yang terus berulang. (didin)