KUNINGAN (Mass) – Definisi dana aspirasi atau dana pokir (pokok-pokok pikiran), sebetulnya sudah sering dijelaskan oleh pimpinan maupun anggota DPRD. Konon dana tersebut teralokasi hasil dari penyerapan wakil rakyat atas aspirasi rakyat yang muncul baik lewat reses atau agenda kedewanan lain. Waktu itu dana aspirasi dikenal sebagai UP2DP (Program Pembangunan Daerah Pemilihan).
Kebutuhan masyarakat yang disampaikan melalui wakil mereka di tiap dapil (daerah pilihan) itu ditindaklanjuti dan diperjuangkan menjadi sebuah program. Agar bisa dilaksanakan, program tersebut harus masuk RKPD (rencana kerja pembangunan daerah) yang kini sudah berbasis online.
Contoh, ketika masyarakat di sebuah desa membutuhkan perbaikan jalan desa atau jembatan, dapat direalisasikan dengan mengusulkannya kepada anggota dewan di dapilnya. Tapi nominalnya terbatas, per paket hanya Rp 100 juta karena sistem proyek juksung (penunjukan langsung).
Nah, bagaimana kenyataannya? Salah seorang birokrat Kuningan mau membeberkan bagaimana sebenarnya dana aspirasi itu kepada kuninganmass.com. Tapi sayang sumber ini tidak mau identitasnya disebutkan. Dia hanya ingin mengutarakan fakta yang sebenarnya agar diketahui publik.
Berawal dari sejarah. Dana aspirasi mulai muncul pada tahun 2008 di era kepemimpinan Bupati H Aang Hamid Suganda-H Momon Rochmana. Waktu itu jatah dana aspirasi hanya diperoleh 17 anggota Panitia Anggaran (Panggar) DPRD saja. Masing-masing Rp 100 juta sehingga totalnya Rp 1,7 milyar.
Kenapa dialokasikan? Karena saat pembahasan RAPBD tahun itu terjadi kebuntuan. Berkat lobi-lobi politik akhirnya DPRD mau mengesahkan APBD dengan adanya pengalokasian dana aspirasi senilai Rp 1,7 milyar.
“Bukan uangnya diberikan langsung ke anggota dewan, tapi dalam bentuk program infrastruktur, semisal perbaikan jalan, jembatan dan lainnya. Proses tender biasa, juksung di Dinas Tataruang Ciptakarya, dan anggota dewan menyiapkan perusahaan sendiri untuk mengerjakan proyeknya itu,” tuturnya.
Sumber ini menyebutkan, rapat pembahasan untuk alokasi dana aspirasi tersebut dilakukan secara diam-diam. Singkat cerita, program pun berjalan namun sempat berhenti selama 3 tahun anggaran. Baru muncul kembali dana aspirasi pada tahun 2011, yang mana semua anggota dewan kebagian.
Menurutnya, terdapat kelemahan dalam pelaksanaan dana tersebut. Pertama, program muncul tanpa melalui musrenbang (musyawarah rencana pembangunan) baik di tingkat desa maupun tingkat kecamatan. Padahal idealnya, anggota dewan datang terlebih dahulu ke kades guna menanyakan kebutuhan program yang masuk skala prioritas pada musrenbang.
“Bukan program keinginan anggota dewan itu sendiri. Satu contoh dulu ada pembuatan jalan baru di Bayuning. Ketika disurvey, kadesnya malah enggak tahu,” ungkapnya.
Jika tanpa masuk musrenbang, menurut sumber ini, jelas menyalahi aturan. Sebab akan terjadi ketidaksinkronan antara kebutuhan di desa dan pelaksanaan program dari dana aspirasi. Contoh ketidaksingkronan itu terjadi di dapil 2 ketika warga membutuhkan jalan tapi anggota dewan malah melaksanakan pengadaan traktor.
“Menurut saya ngaco. Mestinya kalau mau membangun jalan, dianalisis dulu fungsinya untuk apa, dilewati oleh apa saja. Ada yang buat jalan di kebun jagung. Termasuk membangun jembatan, ada juga yang membangunnya padahal jembatan itu hanya dilewati sepeda,” ungkapnya.
Dia mengakui, dana aspirasi memang dialokasikan alias direalisasikan. Hanya saja manfaatnya tidak dirasakan oleh masyarakat secara luas se desa. Terkadang membuat atau memperbaiki jalan di jalan yang tak berstatus (bukan jalan desa). Ada pula jalan setapak yang akhirnya hanya dilakukan pengepluran saja.
“Kalau begitu, programnya memecahkan masalah apa atuh? Mestinya dengan adanya program tersebut desa merasa terbantu. Jadi seharusnya, ada sinkronisasi dengan desa. Ketika desa butuh sesuatu, bebannya bisa terkurangi dengan adanya dana aspirasi,” kata sumber tersebut.
Antara Dinas Tata Ruang Cipta Karya (DTRCK) dan Dinas Binamarga pun (yang kini sudah berganti nama) ternyata tidak ada sinkronisasi. Pernah kejadian, adanya 2 program dari 2 dinas tersebut akan dikerjakan di lokasi yang sama, yakni pembuatan Tembok Penahan Tebing (TPT). Akhirnya hanya dikerjakan satu dengan konsekuensi program satunya mencari lokasi lain.
“Program-program dana aspirasi itu terkesan ‘tamba heunte’. Padahal antara 2 dinas mesti ada sinkronisasi. Misal jalan lingkungan, meski dikerjakan DTRCK harus ada legalisasi dari Dinas Binamarga. Latasir (lapis tipis aspal pasir) yang biasanya ketebalan 1 cm, mestinya disesuaikan jadi 2 cm,” terang dia.
Banyak hal yang dikemukakan birokrat satu ini menyangkut dana aspirasi. Termasuk prosentase anggota dewan yang terlibat proyek di luar dana aspirasi. Namun agar tidak terlalu panjang, ada baiknya apabila disambung pada episode berikutnya.
Yang jelas, portal ini sudah mencoba mencari klarifikasi dari anggota dewan yang duduk 3 periode. Salah satunya H Ujang Kosasih MSi yang kini menjabat ketua Fraksi PKB. Lantaran belum bertemu langsung, dirinya baru mau berbicara panjang lebar ketika nanti bertatap muka. (deden)