Allah SWT berfirman:
قُلْ سِيرُوا فِى الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عٰقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلُ ۚ كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُّشْرِكِينَ
“Katakanlah (Muhammad), Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang menyekutukan (Allah).”
(QS. 30, Ar-Rum: 42).
HAJI PURWA DAN GENERASI AWAL JAMA’AH HAJI NUSANTARA
Nama asli Haji Purwa adalah Bratalegawa atau Dewa Bratalegawa. Sejauh ini beliau diketahui sebagai orang Sunda pertama[1] yang memeluk agama Islam, seorang keturunan Raja dari Kerajaan Galuh, Ciamis. Keterangan ini tercantum dalam Carita Parahyangan.
Naskah kuno selain Carita Parahyangan yang mengisahkan orang-orang jaman dulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji adalah Carita Purwaka Caruban Nagari dan naskah-naskah tradisi Cirebon, seperti Wawacan Sunan Gunung Jati, Wawacan Walangsungsang, dan Babad Cirebon.
Silsilah
Bratalegawa adalah putra kedua dari Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora (1357-1371), seorang penguasa Kerajaan Galuh sekitar abad ke-13. Sang Bunisora menggantikan kakaknya, yang bernama Prabu Maharaja (1350-1357). Prabu Maharaja gugur saat terjadi perang Bubat, yaitu perang antara Kerajaan Pajajaran dan Majapahit.
Tokoh Penyebaran Islam Sunda
Dewa Bratalegawa adalah seorang saudagar asal Indonesia yang hijrah ke Arab Saudi dan memeluk agama Islam serta menikah dengan wanita Arab bernama Farhana Binti Muhammad. Dialah orang pertama Sunda yang memeluk Islam sekaligus orang yang pertama kali melakukan ibadah haji. Selanjutnya ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa karena orang pertama yang berhaji dari kerajaan Galuh.[2]
Menurut Hardjasaputra, sepulangnya dari Mekkah, Bratalega berganti nama atau bergelar menjadi Haji Baharuddin al Jawi.[3]
Setelah memeluk Islam dan menikah, Bratalegawa kembali ke Tanah Air dan mulai menyebarkan ajaran Islam di Jawa Barat pada abad ke 14, tepatnya tahun 1337. Haji Purwa bersama istrinya kembali ke Kerajaann Galuh setelah menunaikan haji, dan bertemu kembali dengan adiknya yang bernama Ratu Banawati, yang mengajaknya untuk memeluk agama Islam. Ratu Banawati menolak ajakannya. Ia lalu berpindah ke Cirebon untuk bertemu kakaknya, Giridewata atau lebih dikenal dengan nama Ki Gedeng Kasmaya, penguasa kerajaan Cirebon, namun juga menolak ajakannya untuk memeluk Islam.
Bratalegawa kemudian mengajak adiknya (Ratu Banawati) dan kakaknya (Giri Dewanti) untuk memeluk agama Islam. Namun kedua saudara kandungnya itu juga menolak untuk memeluk Islam.
Dikisahkan, walaupun kedua saudara Bratalewaga menolak ajakannya, namun hal itu tidak mematahkan semangat Bratalegawa untuk menyebarkan ajaran Islam, khususnya di Jawa Barat. Malah ia mulai mengajak rakyat dari Kerajaan Cirebon Girang yang juga daerah kekuasaan Kerajaan Galuh Ciamis, untuk memeluk agama Islam.
Pola akulturasi atau memadukan ajaran Islam dengan kebudayaan masyarakat setempat, digunakan Bratalegawa sebagai alat untuk menyebarkan Islam ke masyarakat saat itu.
Seperti sudah disebutkan, naskah kuno selain Carita Parahyangan yang mengisahkan orang-orang jaman dulu yang telah berhasil menunaikan ibadah haji adalah Carita Purwaka Caruban Nagari dan naskah-naskah tradisi Cirebon seperti Wawacan Sunan Gunung Jati, Wawacan Walangsungsang, dan Babad Cirebon.
Dalam naskah-naskah tersebut disebutkan adanya tokoh lain yang pernah menunaikan ibadah haji, yaitu Raden Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang. Keduanya adalah putra Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, yang pernah berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahfi atau Syekh Nurjati selama tiga tahun di Gunung Amparan Jati Cirebon.
Setelah cukup berguru ilmu agama Islam, atas saran Syekh Datuk Kahfi, Walangsungsang bersama adiknya Rarasantang berangkat ke Mekah -diduga antara tahun 1446-1447 atau satu abad setelah Bratalegawa- untuk menunaikan ibadah haji dan menambah ilmu agama Islam. Dalam perjalanan ibadah haji itu, Rarasantang dinikahi oleh Syarif Abdullah, Sultan Mesir dari Dinasti Fatimiyah (?), dan berputra dua orang yaitu Syarif Hidayatullah (1448) dan Syarif Arifin (1450).
Sebagai seorang haji, Walangsungsang kemudian berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman, sementara Rarasantang berganti nama menjadi Hajjah Syarifah Mudaim.
Sementara dari kesultanan Banten, jemaah haji yang dikirim pertama kali adalah utusan Sultan Ageng Tirtayasa. Ketika itu, Sultan Ageng Tirtayasa berkeinginan memajukan negerinya baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain[4].
Pada tahun 1671 sebelum mengirimkan utusan ke Inggris, Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan putranya, Sultan Abdul Kahar, ke Mekah untuk menemui Sultan Mekah sambil melaksanakan ibadah haji, lalu melanjutkan perjalanan ke Turki. Karena kunjungannya ke Mekah dan menunaikan ibadah haji, Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan Haji.
Menurut naskah Sajarah Banten diceritakan suatu ketika Sultan Banten berniat mengirimkan utusannya kepada Sultan Mekah. Utusan itu dipimpin oleh Lebe Panji, Tisnajaya, dan Wangsaraja. Perjalanan haji saat itu harus dilakukan dengan perahu layar, yang sangat bergantung pada musim. Biasanya para musafir menumpang pada kapal dagang sehingga terpaksa sering pindah kapal. Perjalanan itu membawa mereka melalui berbagai pelabuhan di nusantara. Dari tanah Jawa terlebih dahulu harus menuju Aceh atau serambi Mekah, pelabuhan terakhir di nusantara yang menuju Mekah. di sana mereka menunggu kapal ke India untuk ke Hadramaut, Yaman, atau langsung ke Jeddah. Perjalanan ini bisa makan waktu enam bulan atau lebih.
Di perjalanan, para musafir berhadapan dengan bermacam-macam bahaya. Musafir yang sampai ke tanah Arab pun belum aman. Pada masa awal perjalanan haji, tidak mengherankan apabila calon jemaah dilepas kepergiannya dengan derai air mata; karena khawatir mereka tidak akan kembali lagi.
Dari kisah-kisah tersebut, tampaknya ibadah haji merupakan ibadah yang hanya terjangkau kaum elit, yaitu kalangan istana atau keluarga kerajaan. Hal ini menunjukkan pada jaman itu perjalanan untuk melaksanakan ibadah haji memerlukan biaya yang sangat besar. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan adanya masyarakat kalangan bawah yang juga telah berhasil menunaikan ibadah haji namun tidak tercatat dalam sejarah, sehingga gelar “Haji” memang pantas bagi mereka.
Referensi
1. “Dewa Bratalegawa Orang Islam Pertama di Jawa Barat | Republika Online”. Republika Online. Diakses tanggal 2018-04-03.
2. Atja Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra Sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah, Proyek Permuseuman Jawa Barat, Bandung, 1986 hal. 47.
3. A. Sobana Hardjasaputra, Islam di Tatar Sunda dan Hubungan Bupati dengan Ulama Zaman Hindia Belanda, makalah disampaikan dalam seminar Islam di Tatar Sunda.
4. Tjandrasasmita, 1995: 117.
Hadanallahu Waiyyakum Ajma’in
Penulis: Awang Dadang Hermawan (Ketua DPC PBB Kab. Kuningan)