KUNINGAN (MASS) – Mungkin sebagian masyarakat Kuningan mempertanyakan “untuk apa cuma logo tidak mesti diributkan”. Betul memang demikian, namun hari ini identitas visual menjadi penting bagi siapapun tidak hanya lembaga komunitas ataupun organisasi, bukankah ideology, agama, kepercayaan sekalipun memiliki identitas visual (Lambang, Logo). Richard (1991) lambang dan logo merupakan tanda, objek, pikiran, gagasan, dan konsep. Logo mampu memediasi sebuah keyakinan, pikiran, ideologi lembaga bahkan berfungsi sebagai tanda sebuah jaman dan peradaban.
Untuk supaya kita bisa mudah memahaminya identitas visual dapat dipetakan berdasarkan fungsinya
- Dalam kebudayaan
Lambang/ simbol, tanda dan berbagai artefak lainnya merupakan produk budaya yang memiliki posisi dan porsi dalam menandai peradaban manusia, karena itu simbol, tanda dan artefak merupakan bagian dari partikel-partikel kebudayaan sekaligus menandai, memberi identitas kelompok dan waktu dari masa ke masa.
Di era modern partikel-parikel kebudayaan menjelma menjadi sesuatu yang membungkus dan merapihkan segala aspek yang berserakan. lambang telah memberikan jawaban atas segala sesuatu yang berserakan itu, menyatukan kelompok-kelompok, mengikat berbagai keyakinan dari kelompok kecil hingga kelompok besar, seperti lembaga pemerintahan.
Lambang telah memberikan legitimasi atas kekuasaan/ power dimana kelompok masyarakat itu berada, sehingga terbentuk sebuah mekanisme dan menciptakan fenomena budaya yang tidak hanya menyangkut hubungan emosional antar manusia namun lebih dari itu. Hubungan antar budaya dan kelompok telah membentuk formasi sosial dan modal.
Dikatakan Barker, (2003) bahwa kebudayaan merupakan formasi sosial seperti kekuatan ekonomi karena melibatkan serangkaian praktek yang berarti, termasuk hubungan sosial produksi dan konsumsi, termasuk didalamnya desain dan pemasaran. Dengan demikian lambang dan budaya merupakan bagian dari agenda manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan pokok aktifitas manusia dalam menempatkan budaya sebagai kunci kehidupan.
Karena itu adanya lambang merupakan level teratas dalam peradaban. Sumardjo (2010) mengatakan bahwa terbentuknya lambang merupakan puncak peradaban manusia, diciptakannya lambang tidak lepas dari kepercayaan/ keyakinan terhadap bentuk-bentuk imajiner/ mitologis. Karena itu bukan kebetulan ketika mitos/ kepercayaan/ keyakian merupakan bagian dari konsep, acuan, dan unsur dalam penciptaan lambang.
Dikatakan Dilistone (2002) bahwa acuan yang dimaksud bukan hanya konsep namun sesuatu yang imajiner (disebut Sumardjo yang transenden) dan lebih besar, tinggi, absolut, makna nilai, kepercayaan dan realitas. Menjadi sebuah kepastian diciptakannya symbol selalu berhubungan dengan mitos.
Mutakin (2013) mengatakan mitos yang ada dimasyarakat merupakan bagian dari simbol sebab itu mitos (imajiner dan empirik) bisa memberikan jawaban atas gejala dan fenomena alam. Lambang/ simbol merupakan bentuk pengkultusan atas benda mati dan dianggap memiliki kekuatan.
Karena itu Macneice dalam Sumardjo (2010) mengatakan bahwa “simbol adalah tanda tangan imanensi Allah”. Karena melalui simbol pula manusia mengenal Tuhan Nya. Munculnya lambang tentu didasari kesepakatan yang disadari manusia, dengan melihat dan mengamati segala sesuatu yang tampak maupun tidak tampak.
Kenyataan ini memberi penyadaran terhadap manusia sehingga memiliki will untuk mewujudkan segala sesuatu yang dimaknai sebagai tanda dan identitas. Peristiwa dan segala kejadian kemudian diolah melalui pikiran lalu diwujudkan melalui berbagai media seperti kata-kata dan gambar.
Bagi masyarakat Indonesia (pra-modern) simbol tidak sekedar tanda namun merupakan sebuah keyakinan, kepercayaan, keimanan. Karena itu dikatakan Sumardjo (2006) bahwa “simbol merupakan tanda kehadiran yang transenden” karena itu acuan simbol bukan konotasi gagasan (rasio) dan pengalaman manusia (rasa) akan tetapi hadirnya daya (power) atau energi adikodrati.
Mengamati lambang daerah pemerintahan di Indonesia pada umumnya sangat kental dengan kepercayaan baik yang berhubungan dengan alam nyata maupun alam gaib/ mistis. Ini disebabkan karena culture masyarakat Indonesia yang lebih mempercayai hal magis/ irasional ketimbang yang lebih faktual/ nyata. Pola hidup masyarakat yang berakar pada adat istiadat, mitos seolah memiliki ruang kebebasan dalam menjelajahi pikiran dan keyakinan.
Cauto (1975) mengatakan, suatu ciri khas masyarakat primitif Indonesia adalah mereka yang berpandangan kosmos magis. Percaya ada hubungan timbal balik antara manusia dengan alam semesta. Karena itu banyak ditemukan symbol/ artefak kebudayaan dan dianggap memiliki kekuatan gaib/ mistik.
2. Lambang Sebagai Entitas dan Identitas
Aneka ragam suku budaya dalam masyarakat tentu tidak lepas dari lambang yang digunakan sebagai pembeda dan penunjuk sehingga memberikan ciri dan identitas tertentu pada budaya atau kelompok.
Dengan demikian masyarakat sendirinya bisa menyatakan dan membedakan segala sesuatu itu hanya dengan lambang yang melekat pada dirinya. Lambang tidak hanya sebagai identitas namun memperlihatkan entitas manusia yang membentengi dan memberi batasan kebebasan manusia dalam berelasi dengan lingkungan sekitarnya, karena itu lambang bukan sekedar identitas namun sekaligus bentuk entitas antar budaya, masyarakat dan segala sesuatu termasuk sikap dan perilaku dalam lingkungannya.
Dikatakan Klapp dalam Beurger (2005) identitas menyangkut segala hal pada seseorang yang dapat menyatakan segala sesuatu yang melekat pada dirinya. Karena itu identitas merupakan sebuah refleksi dari pengalaman-pengalaman berupa kode dan artefak budaya yang dianggap sebagai milik bersama. Karena itu identitas bisa dijadikan acuan dalam kehidupan manusia didalam menentukan segala sesuatu yang dilakukannya.
3. Lambang Sebagai Teks
Teks atau naskah merupakan sebuah bahasa yang dapat dibaca secara berulang-ulang. Bagi kaum strukturalis Perancis teks merupakan kasta tertinggi dari bahasa. Barthes mengatakan bahwa teks adalah sebuah objek kenikmatan, the text is an object of pleasure. Kenikmatan sebuah teks tidak muncul secara tiba-tiba namun dimana si pembaca teks menemukan makna dari teks itu sendiri, sehingga teks bisa memunculkan sebuah ketegangan atau kesenangan.
Barthes dalam Kurniawan (2001:102).
Sebuah kenikmatan dalam pembacaan sebuah teks adalah kesenangan kala menyusuri halaman demi halaman objek yang dibaca. Sebentuk keasyikan tercipta yang hanya dirasakan oleh si pembaca sendiri. Kenikmatan pembacaan itu bersifat individual. Kita tak akan bisa merasakan betapa asyiknya seseorang ketika membaca sampai tidak memperhatikan lagi apa yang ada di sekelilingnya bila kita sendiri tidak mencoba merasakan itu dengan turut membaca tulisan yang sama. Kenikmatan yang individual itu seakan-akan membangun sebuah dunia pembaca itu sendiri, yang dia secara bebas mengimajinasikannya.
Perkembangan teks dalam ilmu bahasa tidak hanya berupa naskah atau tulisan, namun teks bisa saja berupa benda atau objek. Menurut Barthes pada bahasa, teks bisa berhubungan dengan tubuh. Sobur memaparkan bahwa Barthes menjelaskan konsep kenikmatan dalam teks menyangkut atau berada dalam analisis tekstual yaitu dengan membaca ulang teks dengan memecah dan merekonstruksi kembali.
Pendapat lain mengenai teks menurut Ricoeur mendefinisikan bahwa teks merupakan wacana yang diwujudkan kedalam bentuk tulisan. Karena itu teks bisa diterjemahkan sebagai tanda/ sekumpulan tanda dengan kode-kode tertentu. Dalam hal ini bisa diartikan bahwa teks merupakan wujud imajinasi yang dirangkai sehingga membentuk kode/ tanda tertentu diman kode/ tanda tersebut bisa saja berupa objek atau artefak.
Dikatakan Sobur (2009). Teks juga bisa kita artikan sebagai seperangkat tanda yang ditransmisikan dari seorang pengirim kepada seorang penerima melalui medium tertentu dan dengan kode-kode tertentu
Munculnya kode-kode dalam sebuah bahasa merupakan bentuk imajinasi dalam mewujudkan apapun yang dikehendaki manusia. Sebuah lukisan atau gambar bisa saja dikatakan sebagai teks, karena teks tidak lagi berupa tulisan tetapi semua yang dapat dibaca dan ditafsir manusia adalah merupakan teks.
Thwaites et.al (2009) Teks merupakan kombinasi dari tanda-tanda, tanda terjalin bersama untuk membentuk teks sehingga gagasan tentang teks melibatkan pelbagai ide kombinasi sintagmatik dan juga pilihan paradigmatik.
Secara umum teks dapat dikatakan sebagai keseluruhan apapun yang dapat dibaca. Sobur (2009) mengatakan bahwa teks dapat diartikan sebagai dunia semesta yaitu bukan hanya teks tertulis atau teks lisan, namun adat istiadat dan kebudayaan pun merupakan bagian dari teks.
Lambang merupakan seperangkat tanda/ asosiasi dari tanda karena itu lambang sebagaai teks dan tanda karena dapat dibaca dan ditafsir sebagai mana umumnya teks. Lambang memiliki cerita, dan unsur-unsur pembentuknya sehingga bisa memberikan informasi kepada khalayak dan siapapun yang melihatnya, lambang bisa menceritakan masa lalu, dan menerangkan waktu bahkan bisa menyampaikan pesan karena dalam lambang berisikan cerita, falsafah dan ideologi.
4. Lambang Sebagai Ideologi
Ideologi secara tidak langsung merupakan ide mengenai komunitas atau kelompok namun lebih luas dikatakan Hartley, (2010). Ideologi merupakan pengetahuan dan karakteristik ide dari atau dalam kepentingan kelas…dan dipandang sebagai pengetahuan yang diposisikan sebagai hal alami. Dalam culture studies ideologi dilihat sebagai praktek reproduksi relasi sosial yang tidak setara di dalam ranah penandaan dan wacana.
Ideologi selalu didasari oleh kepentingan yang bersangkutan dengan sosial, politik dan intelektual. Ideologi kerapkali diwujudkan dalam berbagai media dan kepentingannya. Bagi kelompok/ komunitas ideologi bisa hadir dalam berbagai media visual seperti lambang/ simbol, kemudian dari lambang inilah ideologi dapat dibaca dan ditafsir.
Dari kelompok dan individu simbol diproduksi dan melalui lambang pula ideologi bisa memperlihatkan eksistensinya. Sehingga keduanya bisa saling mengontrol, karena itu ideologi sama tidak berarti memiliki simbol sama namun perbedaan ideologi bisa disatukan melalui simbol.
Ideologi tidak dapat dipisahkan dengan lambang keduanya saling membangun dan memiliki hubungan timbal balik karena cara kerja otak manusia di pengaruhi oleh simbol, indek, ikon dan tanda.
Terbentuknya kelas sosial dalam masyarakat tidak lepas dari ideologi dan simbol walaupun masyarakat tahu dan sadar, terbentuknya kelas tersebut merupakan sebuah sistem yang dibangun dan diciptakan oleh dirinya. Marx dalam Hartley (2009) Individu menyusun kepemilikian kelas penguasa diantara kesadaran yang lain sebagai produser ide dan mengatur produksi dan distribusi ide.
Ideologi selalu dihubungkan dengan kelompok dan kekuasaan bahkan ideologi merupakan kendaraan dalam menuju kekuasaan, artinya tujuan ideologi adalah kuasa. Karena itu ideologi bisa menentukan dan membawa kesadaran dan pikiran manusia untuk berimajinasi dalam posisinya sebagai penguasa.
Hartley, (2009:107-108) menyatakan bahwa keberadaan manusia secara sosial menentukan kesadaran manusia memunculkan ide Marxis mengenai kesadaran palsu. Dalam kasus kelas penguasa itu sendiri kesadaran palsu terjadi ketika kelas membayangkan posisinya dalam masyarakat ditentukan oleh hukum Tuhan atau alam.
Demikian pula dikatakan Magnis-Suseno jika ideologi tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan pada kepentingan. Maka ideologi dapat diartikan sebagai “kesadaran palsu”.
Magnis-Suseno dalam Sobur (2009:67)
Ideologi merupakan keseluruhan sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap-sikap dasar rohani sebuah gerakan, kelompok sosial atau kebudayaan. Dalam arti ini, menurut Magnis-Suseno, nilai ideologi bergantung isinya: Kalau isinya baik, ideologi itu baik, kalau isinya buruk (misalnya membenarkan kebencian), dia buruk.
Bagaimanapun ideologi hanyalah sebuah pikiran yang tidak hanya diperlihatkan melalui tindakan dan perilaku manusia, namun ideologi dapat diwujudkan dalam sebuah lambang, yang berfungsi sebagai tanda, ciri dan identitas.
Lambang Burung Garuda merupakan jelmaan dari ideologi Pancasila yang ditetapkan oleh negara, ini memperlihatkan lambang sebagai ideologi telah memberikan keyakinan dan kekuatan akan keberlangsungan sebuah lembaga negara.
FUNGSI LAMBANG/ IDENTITAS VISUAL
“words used in place of another word to explain the thought in a person’s mind” Richard, (1995).
kata-kata yang digunakan di tempat kata lain untuk menjelaskan pikiran dalam pikiran seseorang
Kekuatan Lambang/ Simbo
Lambang/ simbol dapat menjelaskan perjalanan jaman. Lambang pada tiap jamannya memberikan aura dan stimulus berbeda, sistem sosial masyarakat turut mempengaruhi simbol pada setiap jaman. simbol agama/ keyakinan dan lambang kerajaan keduanya dapat dikatakan sebagai identitas dan kekuatan kelompok. simbol tidak hanya menunjukan waktu dan jaman, simbol berfungsi sebagai sarana komunikasi manusia atau manusia dengan lingkungannya, dengan tujuan untuk menunjukan eksistensi, keyakinan, dan membangun pola pikir manusia.
Ketika simbol menjadi pusat perhatian menunjukkan bahwa simbol merupakan bagian dari sarana komunikasi, karena memiliki makna dan nilai-nilai kehidupan. Simbol bisa memberikan landasan dan pemahaman pada setiap individu dan kelompok. Sebagai alat komunikasi simbol tidak hanya berbentuk objek visual atau pun objek tiga dimensi namun bisa berupa suara dan warna.
Dalam memahami simbol tentu bergantung pada kelompok masyarakat dan budayanya, tafsir tentang warna yang diungkapkan Barthes misalnya, tiap kelompok masyarakat memandang warna dengan beragam makna. Sebagai bentuk komunikasi simbol tidak hanya mengikat sesuatu yang berbeda namun bisa memberikan kebebasan pada siapapun. Seperti dikatakan Mann dalam Beurger, (2005). Hidup yang menggunakan simbol-simbol berarti kebebasan sejati
Dalam kehidupan modern simbol memiliki tempat strategis, karena manusia modern cendurung lebih memposisikan diri/ membedakan dirinya dengan yang lain, ciri yang dapat membedakan ini berupa komponen tanda-tanda yang disusun dan diinstal dalam bentuk lambang. Sehingga akan memberikan power pada siapapun yang menggunakannya, menjadi sebuah kuasa, dan mencitrakan kedudukan serta mengkonstruksi segala sesuatu.
Tidak mengherankan ketika manusia menjadi objek simbol, menjadi referensi sehingga membangun keyakinan. Hanya karena simbol yang melekat pada sebuah objek/ benda manusia bisa kehilangan kendali dirinya.
Kenyataan ini memperlihatkan kerja simbol dalam membangun dan mengkonstruksi pikiran manusia, lebih memiliki muatan dibanding bahasa verbal. Simbol dapat mempengaruhi sikologi manusia. Bentuk dan warna bekerja dan mengkonstruksi dan mengundang pengalaman sikap seperti munculnya rasa takut dan percaya diri
Dikatakan Whitehead dalam Beurger, (2005) Pikiran manusia berfungsi secara simbolis apabila beberapa komponen pengalamannya, menggugah kesadaran, kepercayaan perasaan dan gambaran mengenai komponen-komponen lain…perangkat komponen yang terdahulu adalah simbol dan komponen-komponen yang kemudian membentuk makna simbol.
Dalam simbol terdapat sebuah sistem yang membangun dan memberikan aura sehingga melahirkan makna-makna seperti kekuatan, keberanian, kesuburan dan kejayaan. Sebagai bentuk visual kekuatan simbol dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu terdapat pada unsur-unsur yang membangunnya.
Unsur non fisik seperti, ideologi, mitologi dan keyakinan, kemudian ada pula unsur fisik seperti kondisi alam dan ekosistemnya seperti ikon gunung, air atau bahkan segala sesuatu yang sifatnya abstrak/ imajiner yang sama sekali tidak ada hubungannya. Unsur fisik dan non fisik disusun sehingga melahirkan muatan-muatan dan makna.
Dengan kekuatannya tidak sedikit simbol dianggap suci/ disucikan dan dipujanya, merupakan sebuah kenyataan, dengan demikian benar apa yang dikatakan Sumardjo, (2010) “simbol merupakan puncak kebudayaan dan peradaban manusia” karena dari simbol pulalah keyakinan dan kepercayaan bisa terwujud hingga saat ini.
Lambang dan Pikiran
Lambang merupakan wujud dari jelajah pikiran manusia yang tampak kasat mata, hadir dan ditampilkan dalam berbagai media. Sumardjo mengatakan pada setiap objek/ artefak masalalu selalu terdapat pemikiran, pesan, yang kemudian diwujudkan dalam sebuah bentuk.
Seperti dalam budaya Sunda alat musik karinding bukan sekedar alat musik namun merupakan sebuah simbol dimana dalam alat musik ini tersimpan pemikiran-pemikiran yang mengkodekan/ mengisyaratkan sebuah dasar filsafat Sunda (Tritangtu). Bentuk karinding menampilkan beberapa bagian, ada pangkal, tengah dan ujung.
Berdasarkan kosmologi Sunda tiga bagian tersebut merupakan bentuk dari sebuah ajaran yang disebut Tritangtu/ tiga ketentuan yaitu kuasa, pikiran dan kehendak dari tiga ketentuan ini jika dijalankan maka akan menghadirkan sesuatu yang transenden/ keyakinan.
Tiga ketentuan kuasa, pikiran dan kehendak, jika diwujudkan dalam bentuk objek adalah air, batu dan tanah kemudian ketiganya hadir dan menjadi simbol dalam kehidupan masyarakat Sunda sehingga memiliki makna dalam penampakan bentuk apapun.
Langer dalam Sumardjo (2006) mengatakan bahwa “simbol tidak mewakili objeknya tetapi merupakan wahana bagi konsep tentang objek,” artinya simbol merupakan penjelasan mengenai sesuatu seperti melalui teks atau tulisan, perkataan atau presentasi tentang sesuatu. Namun di dalam seni dan desain menurut Langer simbol harus memperlihatkan ketiganya karena seni dan desain mengandung makna implisit dan muncul dari realitas dan alam kesadaran manusia.
Arief Johari
Dosen Komunikasi Visual UPI