KUNINGAN (MASS) – Direktur Eksekutif Resetindo Barometer, Asep Saepudin angkat bicara perihal beberapa hasil survei yang dilakukan oleh lembaga survei menjelang pilkada di Kabupaten Kuningan. Mulanya, Asep menegaskan bahwa hasil survey itu merupakan hasil pencatatan dari persepsi masyarakat yang dilakukan dengan wawancara langsung terhadap responden terpilih.
“Sebelum menjelaskan lebih detail, saya ingin mengatakan bahwa memang untuk saat ini dan kedepan, saya mengamati kondisi dilapangan bersifat sangat dinamis, dalam kurun waktu yang singkat efektive 1.5 bulan kedepan menjelang pilkada Kabupaten Kuningan persepsi masyarakat bisa sangat rentan berubah-berubah, jangankan berhari-hari, dalam hitungan jam saja persepsi masyarakat bisa berubah karena tim sukses dilapangan sedang saling berlomba mempengaruhi persepsi masyarakat, adanya kegiatan – kegiatan dilapangan dari masing-masing calon atau pasangan calon dan sebagainya. Itu berpengaruh terhadap keadaan di masyarakat,” ujar Asep, Selasa (1/1/2024).
Adapun soal perbedaan hasil survei di 3 lembaga survei di Kabupaten Kuningan yakni dari lembaganya yakni Risetindo kemudian CIMM dan Jamparing, Asep menanggapinya bisa jadi karena faktor di lapangan (kondisi persepsi masyarakat yang dinamis), bisa karena konsep metodologi yang digunakan oleh lembaga survei, bisa karena managemen teknis pengerjaan kegiatan survei oleh lembaga survei seperti ; mutu SDM surveyor, biaya yang digunakan, pengawasan pelaksanaan survei, ketertiban SOP dalam kegiatan survei dan sebagainya yang mendukung pelaksanaan kegiatan survei dilakukan secara baik.
“Untuk hasil survei yang dilakukan oleh Risetindo Barometer yang berbeda dengan lembaga survei CIMM dan Jamparing, saya ingin fokus membahas mengenai metodologi yang digunakan. Kenapa begitu? Karena ini sangat penting menentukan akurasi dan presisi hasil survei diluar dinamika yang terjadi di lapangan. Jika perbedaan hasil survei itu karena faktor perubahan dinamika persepsi masyarakat di lapangan, bagi saya itu lumrah (wajar), tapi jika perbedaan hasil survei itu karena faktor kesalahan atau pemahaman metodologi survei yang digunakan akibat konsep metodologi statistik yang diterapkan maka disini kita perlu edukasi bersama,” jelasnya.
“Contoh saja, saya melihat metodologi yang digunakan oleh CIMM dengan multistack random sampling itu asing di telinga saya, saya belum pernah mendengar metode seperti itu, saya perlu penjelasan dari yang bersangkutan apa itu multistack random sampling? Kemudian cara menghitung perbandingan antara jumlah sample yang ditetapkan dengan margin of error juga secara perhitungannya salah, mestinya dengan jumlah sample 2395 responden itu perhitungan saya menghasilkan margin of error sebesar +_ 2.00%, bukan 2.60% sebagaimana disampaikan oleh CIMM. Dari sini saja, saya melihat CIMM sepertinya tidak paham statistik, darimana angka margin of error sebesar 2.60% tersebut?” ujarnya mempertanyakan.
Asep mengaku saat ini ia belum melihat bagaimana distribusi samplingnya, karena itu akan berdampak terhadap sebaran geografi dan sebaran demografi. Kemudian, umumnya jumlah minimum sampling itu tidak berjumlah ganjil (namun berjumlah genap) karena itu akan berkaitan dengan implementasi metodologi selanjutnya termasuk tingkat pengacakan PSU maupun pengacakan responden didalam PSU.
“Jumlah sample survei di CIMM sebanyak 2395 responden itu bagi saya mengundang pertanyaan, bagaimana cara mengimplementasikan terhadap metodologi surveinya. Perlu diketahui bahwa jumlah sample semakin besar semakin bagus dalam menekan (semakin kecil) margin of error namun perlu hati-hati dalam pelaksanaannya semakin banyak sample maka semakin kompleks pengerjaannya (waktu survei, jumlah SDM, pengawasan, distribusi instrumen, biaya yang digunakan dan sebagainya),” papar Asep.
Kemudian Asep juga mengomentari survei Jamparing Research, implementasi metodologi multistage random sampling menurutnya juga tidak jelas. Jika dimaknai dari distribusi jumlah sample tingkat kecamatan secara proporsional diambil responden berdasarkan profesi masyarakat, maka bisa dimaknainya bahwa dalam pengambilan sample responden berdasarkan metode non probabilistic sampling yaitu purposive sampling (sampling bertujuan).
Kemudian, lanjutnya, distribusi jumlah sample di 32 kecamatan dilihat langsung terhadap responden (tidak terhadap PSU), maka dari itu jumlah sample di tiap kecamatan berjumlah beragam genap atau ganjil dan itu, menurut Asep adalah sebuah kesalahan implementasi dari makna metodologi multistage, mestinya tidak ada ganjil.
Dampak dari itu, kata Asep, sebaran responden tidak mengikuti sebaran demografi populasi Kuningan. Misalnya sebaran berdasarkan gender, hasil survei Jamparing menunjukkan 66.8% jenis kelamin laki-laki dan 33.3% jenis kelamin perempuan, sedangkan sebaran populasi DPT saja dari 891.960 terdiri dari 450.002 laki-laki (50.5%) dan 441.958 perempuan (49.5%). Artinya tidak proporsional berdasarkan gender dan akurasinya terlalu jauh.
“Jika dilihat sebaran berdasarkan pekerjaan, pelajar (mahasiswa) paling dominan (19.3%), kemudian karang taruna / tokoh pemuda (16.9%), sebaran tersebut bagi saya tidak umum terjadi di masyarakat. Jika dibandingkan dengan hasil survei Risetindo Barometer sebaran berdasarkan gender 50% laki-laki dan 50% perempuan, sebaran berdasarkan pekerjaan dominan di profesi Ibu Rumah Tangga (36.5%), Wiraswasta (12.8%). Berdasarkan Rural urban, 90.5% di pedesaan dan 9.5% di perkotaan (kelurahan). Makna perbedaan dari sebaran tersebut saja menandakan bahwa distribusi sample Jamparing tidak proporsional sesuai keadaan di Kabupaten Kuningan yang sebenarnya sehingga tidak semua masyarakat pemilih di Kabupaten Kuningan mempunyai peluang yang sama terpilih sebagai responden. Selain itu, implementasi dari multistage random sampling-nya bermasalah,” paparnya.
Ia menjelaskan, pemahaman terhadap metodologi survei itu sangat berpengaruh terhadap mekanisme konsep kerja. Metodologi itu terdiri dari penentuan minimum sample, pertimbangan margin of error, penentuan selang kepercayaan, metode distribusi sampling yang tepat. Dalam pengambilan sample responden sebenarnya ada dua metode utama yakni; 1. probabilistic sampling contohnya ; simple random, systematic random, stratified random, cluster random dll, dalam penggunakan dua atau lebih metode sampling dapat dikatakan two stage random atau multistage random dan 2. metode non probrabilistic sampling contohnya ; purposive, judgement, convenience/accidental, snowball,Quota, dll.
“Dalam survei opini publik (masyarakat) menjelang pilkada termasuk di Kabupaten Kuningan, bagi saya sudah hukumnya wajib menggunakan probabilistic sampling yaitu multistage random sampling, dengan menggunakan metode tersebut semua populasi masyarakat sebagai pemilih di Kabupaten Kuningan mempunyai peluang yang sama terpilih sebagai responden,” ucapnya.
Jika melihat Kabupaten Kuningan, struktur wilayah kebawah itu berlapis-lapis yaitu ; 32 kecamatan, 376 desa/kelurahan, dusun, RW, RT, KK dan orang. Berkaitan dengan itu, dalam penentuan sampling juga harus mempertimbangkan perbedaan perilaku rural urban sebagai header yaitu status pemerintahan desa atau status pemerintahan kelurahan.
“Di Risetindo Barometer dalam melakukan survei di Kabupaten Kuningan, dipisah terlebih dahulu antara populasi kecamatan di lingkungan pedesaan dan populasi kecamatan dilingkungan perkotaan (kelurahan) itu sangat penting. Dalam pengambilan sample responden responden ada dua tahapan yaitu ; pengambilan sample acak primary key sampling unit (PSU) (desa/kelurahan) dan pengambilan responden secara acak di tingkat PSU. Dampak dari pengambilan sample seperti itu semestinya jumlah sample di masing-masing kecamatan berjumlah genap, dan umumnya jumlah total minimum sample-pun juga genap, tidak ganjil,” ujarnya di akhir. (eki)