KUNINGAN (MASS) – “Hari ini seorang pembaca, besok seorang pemimpin “– Marganet Fuller senada dengan ucapan Sandiaga Uno di suatu podcast “Good leader is a good reader”. Kata-kata bijak itu memang benar adanya tapi tak seindah kata-katanya yang manis karena pada realitanya sekarang sungguh pahit, sekarang membaca buku pun perlu uang untuk membelinya. Bisa juga dengan meminjam kepada teman, itu pun semisal dia mempunyai buku tersebut jika tidak maka mustahil untuk membacanya.
Padahal dengan status mahasiswa (Negeri) yang mempunyai akses lebih luas untuk kelengkapan perpustakaan nya, tetapi dalam realitanya sangat sulit, apalagi sekolah-sekolah yang memang terpencil yang aksesnya pun tidak mudah. Hal ini menjadi pertanyaan besar bagi pendidikan di Indonesia sendiri, disisi lain ingin bisa mengejar ketertinggalan dan mampu bersaing di dunia internasional. Namun, ruh dalam pendidikan (buku) pun belum memadai. Bahkan, di salah satu Universitas ternama di Indonesia sering sekali digaung-gaungakan untuk bisa berdaya saing dengan kampus Internasional (mendunia). Sialnya, hal itu tidak sebanding dengan fasilitas buku di perpustakaan kampus yang masih kurang komplit dan sangat bertolak belakang dengan slogannya.
Problematika tersebut ternyata berbeda dengan isu adanya akreditasi kampus apalagi skala internasional, kerjanya itu sangat lincah dan cepat ibarat buroq tapi dalam hal-hal yang substansial seperti buku masih dianggap buruk? Saya kira setiap kampus memiliki anggaran tersendiri untuk mengembangkan perpustakaan kampusnya.
Kampus menginginkan mahasiswa dan mahasiswi bisa bersaing dalam lingkup nasional dan Internasional tapi buku-buku yang terbarukan dan best seller pun tak mampu. Ataukah memang masih kurang uang UKT nya, Pak/Ibu? Padahal angka kemiskinan masih cukup akut. Buku-buku tersebut merupakan sumber untuk pengetahuan dan informasi untuk berdialektika baik dalam kancah antar kampus di Indonesia maupun dengan negara yang secara kualitas sangat bagus.
Hal ini sebenarnya termaktub dalam konstitusi UUD 1945 yang diamanahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi kenapa beli buku pun begitu sulit? Salah satu teman berkata “UKT elit fasilitas sulit” lama-lama saya rasakan, dan ada benarnya juga ungkapan temen saya. Apalagi mahasiswa atau mahasiswi yang secara finasial ekonomi masih kekurangan, alih-alih mau beli buku baru yang harganya bisa 10 kali makan nasi uduk mending dibelikan kapada hal-hal yang primer:beras. Padahal isi perut dan kepala sangatlah perlu nutrisi dan gizi yang seimbang sehingga akan menambah surflus orang cerdas di Indonesia.
Kampus Elit Buku Best Seller Internasional Sulit
Ini berdasarkan pengalaman saya, ketika saat mencari dan membutuhkan buku“ The Grit Disruption Human Nature And Reconstituion of Sosial Order” tulisan seorang ilmuwan politik Francis Fukuyama dan buku “Why Nation Fail” tulisan dari Daron Acemoglu dan James A. Robinson yang ternyata dua buku itu tidak ada di perpustakaan kampus. Sedangkan dua referensi tersebut sedang saya butuhkan baik yang berbahasa Indonesia maupun bahasa Inggris untuk menyelesaikan beberapa tugas. Coba bayangkan jika hal tersebut menimpa teman-teman yang membutuhkan sekali (kebelet) untuk menjadi bahan referensi skripsi, tesis, ataupun disertasi akan sangat menyedihkan.
Kisah sedih ini juga terkonfirmasi dari peneltian UNESCO bahwa literasi dalam konteks ini ialah minat membaca di Indonesia sangatlah memprihatinkan, hanya ada 0,001% yang berminat. Jadi, bisa dibayangkan dari 1000 orang siswa/ mahasiwa hanya ada 1 orang yang minat membaca . Dan yang 1 orang yang minat membaca pun harus terhalangi dengan fasilitas buku yang kurang lengkap, akhirnya peradaban menjadi negara maju pun akan sukar terealisasi sehingga hanya angan-angan semata, ini pun masih terasa di beberapa kampus-kampus.
Sangat disayangkan sekali buku yang semestinya dijadikan bahan utama dalam perkembangan kampus justru dihiraukan dan lebih mementingkan administrasi daripada substansi. Memang saya akui bahwa buku di perpustakaan kampus banyak sekali yang bagus dan relevan apalagi buku-buku klasik tetapi tidak dengan buku yang kekinian ataupun yang terkenal dan sedang diperbincangkan di dunia internasional. Sialnya, ternyata (mendunia) itu hanya slogan semata yang hanya bisa didengarkan dengan penuh seksama tanpa adanya wujud nyata.
Saya harap kampus-kampus harus adaptif dengan diskursus pengetahuan di dunia dalam jurusan apapun khususnya terkait buku. Sehingga kampus tidak hanya sebatas membangun gedung mewah berlantai marmer semata tetapi juga berusaha membantu membangun intelektual mahasiswa dengan segala kemampuannya. Kasihanlah mahasiswa dengan tugas dari dosen yang sudah setumpuk langit, jangan sampai ditambahi dengan beban fasilitas buku yang serba pelit dan sulit. Jika saat ini negara belum mampu menggratiskan perkuliahan, minimal negara mampu menyumbangkan buku-buku berkualitas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ditulis oleh : Muhamad Riziq Maulana, Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.