KUNINGAN (MASS) – Pandemi COVID-19 tidak hanya semata berkaitan dengan persebaran virus yang menular secara cepat. Ia juga diikuti dengan persebaran masif informasi, baik yang akurat maupun yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sehingga berdampak pada menimbulkan kebingungan di masyarakat. WHO menyebut fenomena ini sebagai infodemik yang berdampak besar pada sulitnya konsumer media untuk mendapatkan panduan informasi yang dapat dipercaya dan kredibel.
Dengan kata lain, informasi tidak hanya berkaitan dengan persebaran masif berita hoaks namun juga berkaitan dengan diseminasi informasi-informasi yang tidak sinkron dan membingungkan yang dikeluarkan oleh pihak-pihak tertentu termasuk pihak yang berwenang. Hal ini merupakan persoalan serius untuk diatasi karena berdampak pada tepat tidaknya individu dan masyarakat dalam mengidentifikasi persoalan dan berperilaku di tengah-tengah pandemi.
Stigma sosial dalam konteks pandemi saat ini adalah pengaitan negatif terhadap seseorang atau kelompok orang yang memilki kesamaan ciri dan penyakit tertentu. Dalam kebijakan PPKM Darurat, stigma sosial berarti orang-orang yang diberi label, distereotipkan, didiskriminasikan, diperlakukan secara berbeda atau mengalami kehilangan status karena dianggap memiliki keterkaitkan atau dampak pandemi, selain itu keterbatasan sosial menyebabkan banyak kehilangan berbagai aspek.
Akses untuk mendapatkan layanan dasar sosial juga semakin sulit di masa pandemi ini, sehingga masyarakat kesulitan untuk memperoleh pangan berkualitas untuk gizi yang layak, layanan kesehatan, dan pendidikan bagi anak. Perlu analisis lebih mendalam terkait dampak ekonomi-sosial pandemi pada pendapatan dan pengeluaran rumah tangga di Indonesia, sehingga pemetaan masalah menjadi jelas dan lebih mudah diatasi.
Perlakuan semacam itu dapat berdampak negatif bagi mereka yang terkena dampak pandemi saat ini, serta pemberi perawatan, keluarga, teman, dan komunitas mereka. Orang yang tidak mengidap penyakit tersebut tetapi memiliki karakteristik yang sama dengan kelompok ini mungkin juga mengalami stigma. PPKM Darurat saat ini telah memicu stigma sosial dan perilaku diskriminatif terhadap orang-orang dari latar belakang etnis tertentu serta siapa pun yang terdampak berbagai aspek.
Tingkat stigma terkait PPKM Darurat didasarkan pada tiga faktor utama:
1) Ekonomi bisa makin menurun, mencapai negatif 0,5 persen sampai minus 1 persen akibat pemberlakuan PPKM
2) Akibatnya, pelaku UMKM seperti restoran, rumah makan dan sebagainya akan kembali terpuruk. Padahal hingga pertengahan tahun 2021 setidaknya sudah 70 persen sampai 80 persen yang mulai bangkit. Namun adanya kebijakan ini diperkirakan omset akan kembali turun hingga 50 persen.
Jika fenomena ini tidak segera diatasi, jelas akan merusak tata kehidupan bermasyarakat, berbudaya, berbangsa, dan bernegara. Masyarakat Indonesia akan semakin kehilangan panutan, dan kehilangan orientasi nilai karena institusi-institusi negara yang harus menegakkan peraturan perundangan dan etika publik, ternyata mempertontonkan ketidakberadabannya. Perilaku penyelenggara negara yang demikian menyuburkan berkembangnya sikap semaunya sendiri di kalanagan masyarakat. Jika kondisi demikian dibiarkan, akan berdampak pada timbulnya barbarisme dan pada akhirnya akan melemahkan perikehidupan bangsa. Wajar jika ada kebingungan, kecemasan, dan ketakutan di kalangan masyarakat. Sayangnya, faktor-faktor ini juga memicu stereotip yang merugikan.
Kita harus melawan stigma sosial dengan empati sosial. Elisabeth Segal, penulis buku Social Empathy: The Art of Understanding Others, mendefinisikan empati sosial sebagai kemampuan untuk memahami orang lain, dengan merasakan atau memahami situasi kehidupan mereka dan sebagai hasilnya mendapatkan wawasan tentang ketidaksetaraan dan kesenjangan struktural. Ketika kita memiliki pemahaman mendalam tentang pengalaman hidup individu/kelompok yang berbeda dengan kondisi diri kita sendiri, berarti kita belajar tentang latar belakang mereka, hambatan juga dukungan terhadap persoalan mereka, dan merasakan seperti apa rasanya berada dalam posisi terpinggirkan. Itulah sebabnya mengapa pengetahuan menjadi faktor penting untuk dapat mengubah stigma sosial menjadi empati sosial.
Ricky Bramantyo
19-07-2021