Connect with us

Hi, what are you looking for?

Kuningan Mass

Inspiration

Begini Pemikiran Ahmad Wahib, Tokoh Pembaharu yang Fenomenal

KUNINGAN (MASS) – Pemikir sekaligus pembaharu Islam fenomenal asal Sampang, Madura, Ahmad Wahib (1947-1973), menjadi bahan diskusi Kolong Ciremai Institute (KONCI). Tokoh tersebut dipilih menjadi diskusi bulanan kali ini karena dinilai memberikan pesan moral yang sangat tinggi.

“Ahmad Wahib mengajarkan kita untuk terus mencari, untuk terus belajar, dan untuk tidak mudah puas dalam menerima ilmu,” kata Pegiat Konci, Sopandi, Minggu (10/3/2019) di Saung Panembongan,  Tembong.

Menurutnya, bentuk pencarian dan upaya Wahib dalam menyikapi kehidupan secara kritis dan penuh tanya tersebut sebagaimana tertulis dalam buku “Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib” yang disunting Djohan Effendi dan Ismed Natsir. Catatan harian yang disunting oleh rekan diskusinya itu banyak membahas isu-isu yang terjadi dimasanya, mulai dari persoalan agama, politik, kebebasan berpikir, pluralisme, dan kegelisahan-kegelisahan lain dibidang ilmu pengetahuan.

Advertisement. Scroll to continue reading.

“Seperti halnya Gus Dur yang kami bahas sebelumnya, meskipun pikiran Wahib tersampaikan atau tertuliskan puluhan tahun silam, tapi konteksnya masih cocok untuk kondisi masyarakat saat ini. Kegelisahan-kegelisahannya sangat mewakili kami yang ada dan hidup di generasi sekarang,” tuturnya.

Dari Wahib, lanjut dia, anak muda belajar cara mengendalikan diri, tidak mengkalaim diri sebagai sesuatu yang final atau mutlak yaitu sesuatu yang akan tidak berubah. Sebagaimana catatan Aku Bukan Wahib yang ditulis 1 Desember 1969, memberikan pesan bahwa seseorang hanya akan menjadi dirinya sendiri ketika ajal menjemput atau sakaratul maut.

Menurutnya, pesan Wahib tersebut mengisyaratkan seseorang untuk selalu mawas diri, hati-hati, dan berpikir panjang, karena tidak akan bisa terhindar dari hidup yang selalu berubah, yang mungkin akan baik di akhir (husnul khotimah), atau mungkin sebaliknya.

Advertisement. Scroll to continue reading.

“Aku bukan Wahib. Aku adalah me-Wahib. Aku mencari, dan terus menerus mencari,  menuju dan menjadi Wahib. Ya, aku bukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus menerus berproses menjadi aku. Aku adalah aku, pada saat sakratul maut,” tuturnya mengutip salah satu catatan yang ditulis Wahib.

Kemudian, lanjutnya, yang menjadi pesan penting dari Wahib juga adalah upaya dalam mencari dan menerima informasi keagamaan. Jika belajar dari Wahib, umat islam harus berupaya terus mencari kebenaran yang hakiki, yaitu Quran dan Hadist setelah menerima informasi atau pemahaman dari ulama-ulama terdahulu.

Kemudian, setelah menemukan informasi dari pedomannya secara langsung, setiap muslim juga diminta sadar diri kalau yang dipahaminya itu masih berupa pemahaman diri sendiri yang mungkin ada kekurangan.

Advertisement. Scroll to continue reading.

“Selain menerima informasi dari orang-orang terdahulu, dia juga kembali mencari dengan memahami langsung Qur’an dan Sunnah. Meskipun dia merasa yakin dengan apa yang dipelajarinya, tapi dia tetap mengaku tidak puas. Dengan begitu, artinya, dia mengajarkan supaya kita tetap belajar dan mengajarkan juga supaya tetap tidak merasa paling tahu. Hal inilah yang kemudian berdampak pada cara beragama yang bijak dan tidak merasa benar sendiri,” pungkasnya. (deden/rl)

Advertisement
Advertisement
Advertisement

You May Also Like

Education

KUNINGAN – Kolong Ciremai Institut (Konci) bekerjasama Villa Kampung Gunung dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Universitas Islam Al-Ihya Kuningan menggelar refleksi perayaan Id Qurban...

Advertisement