KUNINGAN (MASS) – Hanya coretan setitik, tentu saja belum bisa mengobati rasa haus pemburu literasi. Pembahasan tentang multikulturalisme, penerapan juga dampak yang ditawarkannya masih menjadi primadona menarik bagi akademisi juga cendekiawan yaitu intelektual, orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, membayangkan atau menyoal dan menjawab persoalan tentang gagasan untuk di kaji dalam berbagai literature.
Indonesia merupakan salah satu Negara unik dengan berbagai perbedaan dalam ragam bahasa, kebudayaan, suku, ras, bahkan agama. Sehingga Indonesia memiliki simbol bhineka tunggal ika, berbeda-beda namun tetap satu tujuan, perbedaan ini menjadi kekayaan bangsa Indonesia yang harus tetap dijaga keberlangsungannya.
Secara otomatis ini merupakan bagian multikultural. Banyak dampak positif dari multikulturalisme, keberadaannya sangat diperlukan untuk tercapainya cita-cita bangsa Indonesia yang berlandaskan pancasila, inilah multikulturalisme yang diartikan secara sederhana. Akan tetapi tampaknya multikulturalisme perlu dikaji secara filosofis sebagai sebuah ideologi yang ternyata memiliki asumsi-asumsi problematis yang sebaiknya harus dikenali sesuai realitas khas setiap Negara.
Multikultural sendiri berasal dari kata multi (plural) dan kultural (budaya), jadi multikultural merupakan salah satu bentuk pengakuan terhadap adanya keanekaragaman, keberagaman realitas kultural maupun subkultural yang senantiasa bermunculan pada setiap tahap sejarah kehidupan masyarakat. Banyak yang mampu dikembangkan dari kata multikultural ini; tentang pendidikan, agama, politik, HAM, bahkan gender diantaranya.
Istilah multikultural pada awalnya muncul dan di populerkan di Kanada pada tahun 1950 yang menggambarkan masyarakat montreal sebagai masyarakat multikultural dan multilingual. Lahirnya istilah ini didasarkan yang pertama akan kebutuhan pengakuan (the need of recognition) terhadap kemajemukan budaya yang menjadi realitas sehari-hari banyak bangsa.
Kedua merupakan legitimasi keanekaragaman budaya atau pluralism budaya. Multikulturalisme lahir dari benih-benih konsep yang sama dengan demokrasi, supremasi hukum, hak asasi manusia dan prinsip-prinsip etika dan moral egaliter sosial-politik (Fay,1996;Rex,1985 dalam Suparlan, 2002).
Jika esensi dari multikulturalisme adalah pengakuan bahwa kaum minoritas perlu diperlakukan setara seperti kelompok mayoritas, kita akan berhadapan dengan persoalan kaum minoritas di tengah kaum minoritas (minorities within minorities), bahkan kaum minoritas pun dapat menindas terhadap kaum minoritasnya sendiri, semisal kasus sekte keagamaan minoritas yang tidak memiliki kelompok keagamaan mayoritas tempat mereka berafiliasi. Begitupun contoh lain aksi terorisme yang mengutamakan identitas kelompok kultural yang kuat namun memberontak terhadap identitas bersama.
Multikulturalisme macam apa yang bisa memberlakukan mereka sepantasnya? apakah ada batasan dalam menjunjung tinggi setiap perbedaan? pertanyaan-pertanyaan inilah yang masih harus dibahas lebih lanjut.***
Eva Saufana, M.Pd
Guru SMAN 1 Subang Kuningan