KUNINGAN (MASS) – Belakangan ini kerap didengung-dengungkan bahwa Kuningan masuk kategori Miskin Ekstrim. Pemimpin kita “tidak terima” atas “julukan” tersebut. Lembaga sensus dan statistik pun “disalahkan”.
Padahal semestinya “julukan” itu dapat dijadikan bahan muhasabah bagi pemimpin kita. Apa yang telah diberikan mereka untuk rakyat. Seberapa banyak sih? Sebandingkah dengan apa yang telah mereka ambil dari rakyat?
Untuk mencari jawabannya, alangkah bijak apabila kita semua mengkaji sesuatu yang bisa dibuktikan secara ilmiah. Mengkaji sesuatu yang dianggap sangat pokok dan penting dalam menentukan gerak langkah penyelenggaraan pemerintahan.
Betul, hal pokok dan vital itu ialah APBD. Butuh kajian mendalam terhadap APBD ini karena konon angka yang tertuang di dalamnya merupakan uang rakyat. Kebetulan saat ini lembaga legislatif bersama eksekutif di Kabupaten Kuningan tengah menggodok RAPBD 2023. Bahkan lembaga legislatif sampai ikut bimtek ke Bandung selama 3 hari.
Jika kita mengibaratkan APBD sebuah kue bolu, maka bisa diketahui seberapa potong kue yang dapat dimakan oleh rakyat, setelah mengkajinya. Dari situ dapat diketahui pula apakah selama ini rakyat sudah mandiri atau belum? Kalau sudah mandiri, lantas siapakah yang selama ini nete APBD?
Untuk menyamakan persepsi, perlu kiranya dijelaskan terlebih dulu apa itu APBD. APBD singkatan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Suatu bentuk penyusunan anggaran rincian daftar yang dibuat secara sistematis berisi rencana penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah.
Kalau merujuk pada Permendagri No 21 Tahun 2011, APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui oleh pemerintah daerah dan DPRD, serta ditetapkan dengan peraturan daerah (perda), termasuk tujuan APBD.
Di web kemenkeu.go.id, diterangkan pula bahkan APBD dapat dijadikan sebagai sarana komunikasi pemerintah daerah kepada masyarakatnya mengenai prioritas pengalokasian yang dilakukan oleh pemerintah daerah setelah berkoordinasi dengan pihak legislatif, DPRD. Sedangkan penerimaan APBD berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK) dan bagi hasil.
Masuk ke “bedah” APBD, dapat kita fokuskan ke RAPBD yang tengah digodok yaitu RAPBD 2023, sebelum ditetapkan jadi APBD 2023. Angka PENDAPATAN yang tertuang pada RAPBD tersebut senilai Rp2.652.409.548.929. Kita bulatkan saja agar mudah dicerna, APBD 2023 Kuningan direncanakan Rp2,7 triliun.
Sedangkan BELANJA mencapai Rp2.625.409.548.928 atau jika dibulatkan Rp2,63 triliun. Ditambah PEMBIAYAAN DAERAH sebesar Rp27 miliar sehingga kalau ditambah BELANJA maka angkanya seimbang dengan besaran PENDAPATAN DAERAH.
Lebih fokus ke BELANJA atau pengeluaran daerah, dari data yang kuninganmass.com peroleh, BELANJA PEGAWAI menempati urutan tertinggi dengan angka Rp1,4 triliun. Yang artinya, 52% dari APBD habis untuk menggaji pegawai yang jumlahnya lebih dari 10 ribu orang.
Nah, lalu berapa jatah APBD untuk rakyat Kuningan yang penduduknya mencapai 1,2 juta jiwa? Tinggal sisanya saja, 2,7 T dikurangi 1,4 T sama dengan 1,3 T alias 48% dari total APBD. Apakah sebesar itu? ternyata tidak sesimpel itu menghitungnya.
Rakyat Kuningan Hanya Kebagian 19%
Persentase ini dapat dibuktikan dengan menghitungnya secara detil. Setelah dikurangi belanja pegawai, APBD harus pula dikurangi kebutuhan biaya sarana prasarana/operasional lain seperti pemeliharaan gedung, alat tulis kantor, pemeliharaan atau pengadaan mobil dinas, listrik, internet, makan minum, perjalanan dinas dan lain-lain.
Setelah dihitung oleh Litbang kuninganmass.com, kebutuhan biaya tersebut untuk keseluruhan SKPD yang ada mencapai hampir 300 M atau 11%. Dengan begitu, kue APBD tinggal tersisa 1 T atau 37%.
Namun ternyata tidak selesai sampai di situ. Uang sebesar 1 T tersebut berupa program kegiatan. Dari kegiatan-kegiatan yang telah disusun dan hendak dilaksanakan, rupanya ada perhitungan lagi. Satu contoh saja kegiatan pembangunan irigasi atau pembangunan jalan yang pagunya senilai Rp 100 juta, agar mudah dalam menghitungnya.
Dari angka 100 juta, mesti diterapkan aturan pajak PPN-PPH 11%. Kemudian BU 5%. Pelaksana kegiatan/penyedia/pemborong sudah barang tentu harus mendapatkan keuntungan dari pekerjaannya. Asumsikan saja fee 20%. Kemudian dalam pengurusan dibutuhkan pula biaya, diistilahkan biaya lain-lain, dengan persentase 14%. Jadi totalnya 50% sehingga yang terpakai hanya 50 juta rupiah.
Dengan begitu, uang 1 T tadi ketika dikalikan 50% maka menjadi 500 M. Angka itulah yang betul-betul murni diberikan kepada rakyat. Maka ketika dipersentasekan, rakyat hanya menikmati 19% saja. Hanya potongan kecil dari bulatan besar bolu APBD.
Wajar Kalau Rakyat Miskin Ekstrim
Setelah mengetahui persentase kue APBD yang dinikmati rakyat yaitu 500 M (19%), kita akan telusuri berapa yang dirasakan satu jiwa rakyat apabila uang 500 M tersebut berbentuk uang, bukan sarana jalan, irigasi atau kue pembangunan lainnya.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Disdukcapil Kuningan, jumlah penduduk Kuningan mencapai 1,2 juta jiwa. Uang 500 M itu ketika dibagikan kepada 1,2 juta jiwa, menjadi 416 ribu. Jadi dalam satu tahun, satu penduduk Kuningan hanya kebagian jatah 416 ribu rupiah. Dibagi 12 bulan, sama dengan 35 ribu rupiah. Dibagi lagi 30 hari menjadi 1.166 rupiah. Berarti, dalam sehari, satu jiwa penduduk Kuningan hanya kebagian kue APBD sarebu perak.
Dari analisis ini, dapat disimpulkan bahwa selama ini rakyat Kuningan sudah mencari uang sendiri untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Sejak dulu rakyat sudah mandiri. Sebab kue APBD yang mereka nikmati benar-benar sedikit. Terjangan pandemi yang membuat usaha mereka gulung tikar atau merosot, berakibat pada terjadinya kemiskinan ekstrim. Sebab pengaruh APBD terhadap kesejahteraan mereka nyaris tidak ada.
Sebagai solusinya, jika memang APBD dianggap sesuatu yang bisa menjawab persoalan rakyat, maka butuh Revolusi Politik Anggaran. (Kuningan Mass, Senin 14 November 2022)