KUNINGAN (MASS) – Sebagai olahraga yang paling digemari, hiburan masyarakat bernama sepakbola telah direnggut begitu saja oleh Pandemi Covid-19. Denyut emosi dan nafas kebahagiaan publik, dipaksa berhenti situasi yang sama tanpa aktifitas yang berhubungan dengan sepakbola.
Tidak ada lagi kerumunan orang-orang halnya menonton sepakbola secara langsung dilapangan maupun stadion standar nasional. Tidak ada lagi penggemar yang mengejar pemain idolanya setelah latihan untuk sekedar selfie, tidak ada lagi nonton bareng bahkan untuk sekedar nonton siaran langsung liga Shopee atau bahkan liga-liga Eropa. Semua sunyi, semua terdiam.
Bagi publik, sepakbola adalah kerinduan. Sepakbola menumbuhkan rasa memiliki, rasa memiliki klubnya karena kecintaannya terhadap daerah kelahirannya sendiri. Sedih dan bahagia, senantiasa menyertai kerinduan akan semua bisa berjalan dengan normal kembali sedia kala saat semuanya belum ada yang namanya wabah penyakit yang entah kapan berakhirnya.
Sepakbola telah melahirkan fanatisme. Bukan fanatisme kedaerahan yang berhubungan domisili lingkup cakupan daerah skala besar dengan klub profesional ternama seperti Persib Bandung, Persija Jakarta, Bali United, Persebaya Surabaya, Persipura Jayapura dan klub-klub besar lainnya, bukan pula fanatisme golongan, ras ataupun entah apapun itu namanya.
Suatu paguyuban kedaerah yang saya tahu itu bernama Chitimbang, telah berhasil merangkul dan membentuk suatu klub sepakbola yang nama dinamakan Persigul Gunung Luhur ditahun 1992 saat itu didirikan oleh sesepuh-sesepuh pendahulunya tepatnya berada di Dusun Gunung Luhur Desa Darma Kec. Darma Kab. Kuningan. Salah satu hal dari sepakbola yang membuat saya sangat menyukainya adalah kedekatannya yang begitu kental dengan kemanusiaan.
Meski ruang gerak utamanya tidak berhubungan langsung dengan aktivitas-aktivitas kemanusiaan, sepakbola dalam kesempatan, justru memposisikan kemanusiaan sebagai sesuatu yang sangat penting bahkan jauh lebih penting daripada dirinya sendiri.
Katakanlah suatu hari seorang (mantan) pemain sepakbola meninggal dunia. Maka di pertandingan itu tak lama setelahnya tepat sebelum kick off dilakukan terlebih dahulu moment of silence selama satu menit para pemain dari kedua kesebelasan yang akan bertanding saling merangkul atau menundukkan kepala tanda hormat untuk mengheningkan ciptanya.
Kadang aktivitas simbolik ini terasa emosional, mampu membangkitkan sisi semangat kita, sifat afektif kita dan kita jadi ikut bersedih dan merasa kehilangan. Moment of silence, dalam sepakbola, menarik kita kembali ke realitas dan menjaga kita tetap manusia.
Bercerita dari pengalaman yang begitu terasa memukul kesedihan saya saat itu di tahun 2011 lalu, Bapak saya yang juga sangat erat kecintaannya terhadap sepakbola, mengikuti event pertandingan dalam tajuk turnament pertandingan antar kampung sebagai hiburan ditengah masyarakat yang diikuti oleh peserta sudah memakan usia dari berbagai dusun yang ada di desa setempat yang berhasil diselenggarakan oleh aparat pemerintahan desa.
Namun nasib berkata lain dengan kondisi yang tidak diharapkan oleh keluarga bahkan oleh siapapun itu, ditengah pertandingan saat itu terjatuh sampai berlarut dilarikan ke rumah sakit, dalam situasi berlanjut hirup pikuk yang tak kunjung menunjukkan tanda-tanda untuk pulih kembali singkat cerita sampai tibalah waktu itu, di tiga bulan berbaring harus berpindah-pindah penanganan dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, harus menghembuskan nafas terakhirnya.
Dari kejadian yang bisa menjadi pelajaran bahwa nilai-nilai kemanusiaan sebagai rem. Tetapi tentu sepakbola juga memiliki sisi negatif. Dalam sebuah pertandingan kadang dengan tensi yang tinggi, misalnya perseteruan meruncing drastis di lapangan, dan sebagian suporter ikut terpancing emosinya, dan terucaplah kata-kata kasar nan menyakitkan yang ditujukan untuk menyerang dan merendahkan lawan. Ini yang mungkin juga bisa terjadi dalam pertandingan sepakbola, yang sangat tidak kita harapkan.
Semua orang tahu sepakbola, permainan bola dari kaki ke kaki ini ala Tiki Taka “Tikidul Talapung ka Kaler” (Dari Barat Tendang ke Timur” memang menjadi olahraga terpopuler apalagi di kalangan masyarakat kecil di kampung halaman saya tinggal.
Dahulu sepakbola sebelum semodern sekarang ini tidak terlalu sulit untuk bermain bola di lapangan yang cukup standar karena masih bisa bermain di suatu tempat waktu itu sering dinamakan HBM (tempat yang lumayan luas persis berada di bawah bendungan pengairan Waduk Darma), anak-anak muda yang sekarang berada di klub Persigul ini selalu menjadikannya tempat untuk bermain bola sejak sore hari sampe menjelang adzan magrib saat itu. Bahkan mereka biasa bermain di halaman dengan luas ukuran 4×6 meter dengan gawang yang dibuat dari tumpukkan sandal, yang lebih unik lagi peraturannya yang dibuat oleh ke dua tim karena mereka biasa bermain tanpa adanya wasit tetapi mereka bisa mengendalikan permainan dengan sportif.
Mungkin sebagian dari kita sepakat bahwa dulu dengan bermain sepakbola bisa memiliki teman. Karena bermain sepakbola akan menjadi seru ketika dimainkan oleh banyak orang. Maka dari situ kita akan saling mengenal satu sama lain. Tak ada batasan untuk bermain sepakbola, mereka saling merangkul semua bisa bermain bersama dalam sepakbola dengan menjalankan perannya masing-masing.
Terlebih sepakbola adalah hiburan bagi rakyat. Kecuali sepakbola yang dimiliki FIFA dengan segala aspek perlengkapannya yang membuat jadi mahal dan ribet.
“Maenbal kaulinan basajan nu dijien rudet ku jalma di jaman modern” (Sepakbola adalah permainan yang dibuat rumit oleh orang di zaman modern). Bagi kalangan masyarakat yang ada di dusun Gunung Luhur dengan bersatu padu hingar bingar kecintaan terhadap klub yang dijunjungnya di daerahnya itu bahwa Persigul dengan notabene anak-anak muda yang penuh semangat, mereka mempunyai pandangan bahwa pada dasarnya sepakbola yaitu permainan yang sangat sederhana tak perlu sepatu juga seragam bahkan wasit. Untuk menikmati sepakbola dalam bentuk yang paling sederhana kita hanya membutuhkan teman yang mau bermain bola, penjaga gawang, lapang dan bola itu sendiri.
Sepakbola sekarang memang sudah sangat modern. Sepakbola sudah menjadi industri yang menjanjikan dengan segala sesuatunya. Sepekan waktu belakangan terakhir ini, klub Persigul yang di dalamnya pemain-pemain yang mempunyai tujuan sama dalam keinginannya bermain sepakbola, sedikit demi sedikit terbangunlah untuk menggugah para pembinanya dari mengumpulkan pemuda yang berbakat sebagai estapet peneres generasi senior-seniornya ini membuat jersey atau seragam, membuat akses demi terbukanya pintu untuk mengetuk hati dari figur orang-orang yang sudah sukses seperti halnya pengusaha yang ada di lingkungan sendiri maupun yang berada di luar daerah sebagai donatur tetap dalam membangun klub sebagai upaya solidaritas terhadap kecintaannya terhadap Persigul maupun tempat lahir sendiri.
Demi membangun team yang solid, elit masyarakat mampu mensuplai baik dari materi maupun moril itu sendiri dan terbukti sponsor dari beberapa orang yang sebagian sudah menajadi pengusaha, besar kecilnya bersedia untuk memberikan sumbangsihnya terhadap klub Persigul ini. Apresiasi yang begitu besar para dermawan yang mau menyisihkan materinya demi klub Persigul ini.
Sebagai persiapan Liga Darma yang akan diwacanakan pekan depan nanti oleh Desa Darma, team Persigul berupaya keras mengompakkan team bahkan mereka sudah melakukan pertandingan persahabatan dengan dua team berbeda dari dusun yang lainnya dengan mengalahkan klub PSC Ciook dengan skor 2-1 dengan terkenal TIKI TAKA “Ti Kidul Talapung Ka Kaler” (Dari Barat Tendang ke Timur) dan empat hari setelahnya melawan klub Cilamba FC harus berbagi skor 1-1.
Di tengah Pandemi Covid-19 sekarang ini, dengan masa PSBB yang sudah selesai ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten lantas kita juga harus mengikuti anjuran pemerintah dalam menjalankan protokol kesehatan. Sebagai hiburan masyarakat, kurang lebih sudah tiga pekan ini tidak ada kegiatan yang meliputi seperti halnya sepakbola yang berada di lapangan luas dan gratis di Desa Darma ini, membuat saya merasa harus mensyukurinya karena ternyata di daerah tempat saya lahir masih banyak sepakbola yang tidak perlu biaya mahal. Sepakbola seperti ini sudah sangat jarang saya lihat di daerah perkotaan, saya lebih sering melihat sepakbola dalam bentuk modern dilapangan futsal.
Mungkin zaman sudah menggerus semuanya termasuk era sepakbola yang berganti ini. Namun saya merasa bangga ketika mendengar bahwa fasilitas lapang sepakbola vacum digunakan bahkan dengan segala bentuk kegiatan seperti sepakbola yang ada di lapang Desa Darma ini dari tahun ke tahun ini rasanya memang sudah sangat jarang ada dilakukan akan tetapi pada kesempatan sekarang ini mudah-mudahan kegiatan yang diwacanakan nanti bisa diselenggarakan baik dari dukungan aparatur pemerintahan, karang taruna kepemudaan setempat, maupun semua masyarakat di dalamnya.
Mudah-mudahan sepakbola bisa kembali menjadi hiburan rakyat yang bisa dimainkan oleh setiap kalangan. Selain itu juga saya harap sepakbola kembali menjadi salah satu sarana anak-anak untuk saling mengenal satu sama lain. Tidak terkunci di dunia virtual dan juga video game. Saya kira bermain sepakbola tradisional bukan sekedar untuk membuang keringat, lebih dari itu kegembiraan dan persahabatan ada di dalamnya.
Semoga klub Persigul ini pula menjadi kebanggaan masyarakat, terbentuk organisasi yang baik, solidaritas serta integritas dari semua kalangan. Bahkan mampu memberikan kontribusi dalam menumbuhkembangkan bakat serta bibit pesepakbola jenjang nasional.
“Sesepakultur, Gul.. Gul.. Gul.. Persigul”
Penulis: Fiki Priyatna
(Mengeja dan Menulis Sepakbola)