KUNINGAN (MASS) – Isu tentang pendidikan tidak akan pernah habis untuk diperbincangan. Inovasi-inovasi dalam pendidikanpun terus bermunculan, entah itu melalui jalan formal maupun non-formal.
Berbagai pergerakan yang memang konsen dalam bidang pendidikanpun, terus berupaya untuk melakukan pembaharuan. Tujuannya, tentu saja untuk menemukan formula yang benar benar bisa mencetak manusia sesuai fitrahnya di muka bumi, khalifah. Dan tentu saja, perjalanan pendidikan adalah perjalanan tanpa ujung.
Salah satu ujung tombak pendidikan dalam lingkup Indonesia, tentu saja sekolah sekolah formal, dari tingkat SD – SLTP hingga SLTA. Sekolah sekolah formal ini, diharapkan bisa menjadi Basic untuk siswa menjalani kehidupan sebenarnya setelah lulus.
Kalau boleh dikelompokan, lembaga lembaga pendididkan selain sekolah formal tadi, mungkin seperti Madrasah Diniyyah atau Pesantren adalah pendidikan alternative. Dan kuliah adalah jalur pendidikan formal, yang bersifat tambahan.
Lalu kursus keahlian, kalau boleh kita kategorikan sebagai jalur spesifikasi. Dalam hal ini harus saya tegaskan, istilah yang saya gunakan saat ini adalah keterbatasan dari pembendaharaan kata yang saya miliki. Sedikitpun tidak bermaksud membandingkan satu sama lain.
Dalam tulisan kali ini, saya batasi untuk membahas tentang sekolah sekolah formal saja. Hal ini saya maksudkan agar pembahasan tidak melebar kemana mana.
Sekolah sekolah formal sendiri, terutama sekolah Negri, bisa kita anggap sebagai upaya negara untuk hadir sebagai tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan prajurit lapangannya, tentu saja guru, kurrikulum, dan segala tek tek bengek di dalamnya.
Merekalah alat negara yang memegang tanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, baik itu sain, teknologi, bahkan sampai pada tataran etis, dan etika, dibebankan negara pada sekolah.
Dan pertanyaan selanjutnya, bisakah kita percaya masa depan pendidikan bangsa kita yang kompleks dan beragam itu pada para prajurit lapangan pendidikan kita ?
Persoalan pendidikan kita memang tidak bisa disederhanakan begitu saja. Tapi tentu akan salah jika kita tidak punya pakem pakem yang akan kita bahas. Setidaknya, dalam hal ini, saya akan batasi lebih spesifik pada pengembangan minat, dan bakat murid.
Harus saya akui dengan penuh penyesalan, bahwa pengembangan minat dan bakat siswa adalah sesuatu yang sering tidak dianggap primer dalam dunia pendidikan kita, terutama pendidikan sekolah formal. Hal itu tentu saja buntut panjang dari sistem pendidikan yang terlalu berkonsentrasi pada pelajaran pelajaran baku yang dianggap sebagai basic hidup.
Sistem itu berubah menjadi kultur yang tidak kita sadari mendarah daging pada pikiran kita, bahwa siswa akan dipandang pintar, jika berprestasi pada akademik. Untuk itu, biasanya sekolah menjawabnya dengan kegiatan ekstrakulikuler.
Kedua kalinya saya harus mengakui dengan penyesalan, di dalam pelaksanaanya, eskul (sebutan untuk ekstrakulikuler) tidak mendapatkan tempat yang penting. Eskul benar benar terkesan sebagai tambahan yang kurang dilirik, tapi juga kurang dikerjakan dengan serius.
Saya maklum betul ketika eskul di tingkat SD tidak bergerak maksimal dan masih berorientasi pada pembimbing. Kita sama sama tahu, dalam usia belia, anak lebih butuh bimbingan dan basic pelajaran yang kuat. Tapi pada tingkat selanjutnya, SLTP dan SLTA, sudah seharusnya eskul menjadi tempat bereksperimen untuk mengembangkan diri, dan caranya, sebisa mungkin harus dibungkus sebagai tempat bermain yang asyik, dan menarik.
Saya memaklumi betul, sampai saat ini kita masih sama sama terjebak dengan peribahasa “Kalau tidak belajar yang benar, nanti mau jadi apa ?” dan payahnya, kita sama sama menganggap belajar yang benar dan utama adalah akademis.
Dan harus saya sebut, Ini merupakan kesesatan fikir yang terstruktur. Akibatnya, segala hal yang diluar akademis, menjadi kita abai kan. Mulai dari orang tua, lingkungan, bahkan para prajurit lapangan pendidikan kita.
Saya maklum benar, bahwa saat ini, tenaga pengajar kita banyak direpotkan dengan administrasi dan aturan aturan. Tapi saya tetap menganggap tidak wajar, harus membahayakan generasi bangsa dengan mengubur potensi siswa karena urusan administrasi dan aturan.
Ngomong ngomong soal Informasi ribetnya administrasi dan aturan, saya dapatkan dengan banyak sharing dengan banyak orang yang berprosesi sebagai guru, apalagi, saya juga anak dari seorang guru honorer, sekitar 15 tahun mengabdi dengan mengajar Sekolah Dasar, dan saat ini, beliau sudah mustahil menjadi ASN, karena usia.
Lebih lanjut, saya pikir, setiap anak memiliki potensi dan kecenderungannya masing masing. Dan mungkin, sebagian besar potensinya bukan pada bidang akademis. Saya meyakini pepatah pepatah seperti “Setiap anak adalah pintar” atau “ikan akan selamanya bodoh, jika dinilai dari memanjat pohon” . Lalu, kenapa sampai saat ini kita masih terpisah karena bodoh dan pintar ? itu karena standartnya sempit. Akademis.
Untuk ketiga kalinya, saya harus katakan dengan perasaan menyesal, bahwa jika ada anak yang merasa bodoh di sekolah, atau memiliki ketidakpercayaan diri dalam hidupnya di kemudian hari, bisa jadi itu adalah dosa dari sekolah itu sendiri.
Dosa dari menenggelamkan potensi seorang anak manusia yang mungkin, seharusnya menjadi jalan hidupnya, dosa gara gara satu hal. Akademis. Setelah itu, siapa yang mau bertanggung jawab ?
Bukan sekali dua kali saya coba berdiskusi dengan teman-teman yang pernah merasakan sekolah. Banyak diantaranya merasa sekolah bukanlah tempat berkembang. Banyak sekali teman saya yang mengaku bahwa minatnya tidak memiliki tempat di sekolah.
Minatnya tidak terfasilitasi sekolah. Akhirnya, sekolah hanya menjadi tempat bertemu dengan teman. Kalau boleh saya sebut, saya dan mereka adalah “korban” dari pendidikan itu sendiri. Korban sekolah.
Saya harus mengakui, pandangan saya tentang pendidikan bukanlah hal yang konstan dan instan. Beberapa buku seperti “sekolah itu candu”, “perpustakaan kelamin” dan ketidakpuasan selama ini, banyak mempengaruhi pandangan saya.
Belum lagi seminar atau diskusi ringan. Dan puncaknya, adalah ketika saya dientak oleh sebuah film documenter, yang mempertontonkan sebuah lembaga pendidikan alternative. Sekolah masyarakat yang pelajaran utamanya adalah kegiatan yang kita kenal sebagai eskul. Kalau tidak salah lembaga itu namanya “Qoryah Thayyibah”. Dan mungkin nanti akan dibahas lebih lanjut dalam pendidikan alternatif.***
Penulis : Eki Nurhuda A
Penulis adalah Mahasiswa asal Desa Subang Kecamatan Subang