Bismillah
SEDIKIT MENYOAL DEMOKRASI
KUNINGAN (MASS) – Bahwa sesungguhnya bahaya besar andaikata demokrasi dijadikan alat kebutuhan bagi kekuasaan yang dalam praktek politik kekuasaannya pakai pola operasi politik otorianisme!
Akhirnya yang terjadi hadir politik demokrasi barbarianisme!
Negara jangan gagal menghadirkan pemenuhan kebutuhan perlindungan HAM, karena itu bisa menyebabkan kerusakan negara penganut faham demokrasi itu sendiri!
Buang jauh jauh pemikiran hadirnya pelaksanaan demokrasi hanya tersisa semacam tata cara agar memiliki legitimasi kekuasaan, plus dilakukan dengan menghalalkan segala macam cara. Oleh sebab hal itu bertentangan dengan nilai luhur demokrasi dan prinsip dasar demokrasi di Indonesia yang harus memahami nilai luhur “Kemanusiaan yang adil dan beradab“.
Didalam UUD 1945, fahami pembukaannya, pasal pasalnya, mestinya bisa difahami bahwa demokrasi di Indonesia, bukanlah demokrasi sebagai tata cara/mekanisme Ansigh, tetapi sebagai suatu sistem.
Maksudnya, diharapkan praktik negara demokrasi tidak TEREDUKSI menjadi pemerintahan mayoritas (Majority Rule) yang mengesampingkan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan TUJUAN bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Di negara demokrasi itu, mengenal istilah Fractal/ Pola yang sangat kompleks dan serupa diberbagai skala dan merupakan gambaran sistem dinamis – Itu adalah gambaran kekacauan yang tidak mudah untuk diselesaikan.
Negara demokrasi (Khususnya), dikenal juga tata kelola fractal yang didefinisikan bahwa Negara-negara anggota akan menugaskan perwakilan mereka ke Dewan penasehat fractal, tetapi organisasi tersebut akan beroperasi diluar kendali satu negara demokrasi, apapun negaranya.
Apalagi negara demokrasi seperti Indonesia ketika menyoal istilah “Sustainable Development Goals (SDGs )”, itu Adalah 17 tujuan Global yang ditetapkan oleh PBB, untuk menciptakan masa depan lebih baik dan berkelanjutan bagi semua orang pada tahun 2030.
Tujuan-tujuan dimaksud mencakup berbagai bidang antara lain, pengentasan kemiskinan, peningkatan pendidikan, kelestarian lingkungan, kesetaraan gender.
Indonesia dengan demokrasi elektoralnya, pasca-reformasi , ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memberi ruang partisipasi luas melalui pemilihan langsung dari mulai pemilu presiden, pemilu legislatif dan pilkada serentak.
Di sisi lain, praktik dimaksud tersebut di atas melahirkan politik biaya tinggi yang justru menggerogoti substansi demokrasi itu sendiri.
Dari Presiden, anggota legislatif di semua tingkatan, dan kepada daerah, mungkin masih Bias dalam mengusung visi secara utuh, karena terbebani oleh biaya partai, biaya kampanye, hingga “mahar politik” yang sangat tinggi.
Jeffrey Winters dalam Oligarchy (2011) tepat mendiagnosis bahwa: “Indonesia adalah salah satu negara demokrasi paling oligarkis di dunia, di mana pemilu tidak membatasi kekuasaan oligarki, tetapi justru memperkuatnya.”
Demokrasi tanpa batasan finansial hanyalah ilusi—sebuah sistem yang memungkinkan kekuasaan secara terbuka diperjualbelikan.
Ketika kemudian menganalisis krisis demokrasi Indonesia dalam konteks pertarungan global antara hegemoni Pax Judaica dan semangat multipolar BRICS, melalui pendekatan kritis terhadap praktik politik biaya tinggi dan oligarki elektoral pasca-reformasi, terbukti bisa diurai, bagaimana demokrasi prosedural justru menjadi beban bagi kedaulatan bangsa.
Kasus korupsi sistematis dan mandeknya RUU Perampasan Aset Koruptor menjadi bukti kerapuhan sistem elektoral yang mahal.
Sebagai solusi, artikel ini menawarkan pembacaan ulang terhadap UUD 1945, naskah asli sebagai Basis Demokrasi Substantif yang berbiaya rendah, berdaulat dan jangan diasumsikan bicara ideologi kuno!
Demokrasi tanpa batasan finansial hanyalah ilusi—sebuah sistem yang memungkinkan kekuasaan diperjualbelikan kepada penawar tertinggi.
Bagi Indonesia, pilihannya jelas: menjadi bagian dari poros multipolar yang berdaulat, atau terjebak dalam demokrasi elektoral yang dikendalikan oligarki global.
Tahun 2025 menjadi saksi ironi pahit bahwa: pejabat terpilih melalui mekanisme demokrasi elektoral tahun 2024, justru mungkin terjebak dan terjerat kasus korupsi miliaran rupiah.
Lebih memprihatinkan lagi, RUU Perampasan Aset Koruptor—Instrumen krusial pemberantasan korupsi—masih mangkrak di parlemen setelah 15 tahun diperdebatkan!
Fenomena ini membuktikan tesis Winters: demokrasi kita telah berubah dari Government by the people menjadi Government by the highest bidder.
Kemudian ?
Ketika akses kekuasaan ditentukan oleh kapital, maka kebijakan pun menjadi komoditas transaksional.
Di tengah kegagalan demokrasi elektoral, wacana kembali ke UUD 1945 naskah asli patut dipertimbangkan secara serius dan jangan dianggap Nostalgia Politik.
“Demokrasi bukan sekadar mekanisme politik, melainkan etika kolektif untuk menghormati Martabat Manusia”.
Kita Jaman Kiwari ini sedang dalam proses tanzilul qadr (penurunan takdir) dimana setiap langkah reformasi demokrasi adalah bagian dari percepatan menuju kalasuba.
(Negara adil makmur, gemah ripah loh jinawi)
Indonesia dengan demokrasi substantifnya dapat menjadi katalisator transisi global, sebagaimana keris yang menempa diri dalam api sebelum menjadi senjata yang mengubah zaman.
Untuk itu, memperbaiki demokrasi kita hari ini adalah ibarat menyiapkan perahu Nusantara untuk mengarungi samudera kalabendu menuju pelabuhan kalasuba.
Ini adalah panggilan ganda: sebagai bangsa yang merdeka dan sebagai umat yang sadar akan misi kosmiknya.
Seorang sufi (Anonim), pernah berkata:
“Hati yang jernih lebih adil daripada seribu hakim, dan lidah yang jujur lebih kuat daripada seribu pedang.”
Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, kini menghadapi ujian eksistensial yang serius. Di balik pesta demokrasi yang tampak semarak, kekhawatiran akan intervensi asing dan krisis kepercayaany publik terus membayangi.
Sebuah survei tahun 2024 menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden meyakini adanya intervensi asing, terutama dari negara-negara besar seperti Tiongkok dan Amerika Serikat, dalam dinamika pemerintahan dan ekonomi nasional.
Kendatipun publikasi resmi belum tersedia, temuan ini sejalan dengan tren global yang dicatat oleh Freedom House (2024), bahwa risiko terhadap demokrasi elektoral kini meningkat akibat “penggunaan alat koersif dan manipulatif oleh aktor-aktor asing.”
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara demokrasi lain di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
(Rujukan : Freedom House. 2024. Freedom in the World 2024: The Mounting Damage of Flawed Elections and Armed Conflict. Washington, D.C.: Freedom House).
Demokrasi sejati lahir dari kesadaran bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan komoditas, apalagi di tengah pusaran Pax Judaica dan tarikan multipolar BRICS, Indonesia harus memilih: menjadi bangsa yang berdaulat melalui demokrasi substantif, atau terjebak dalam ilusi demokrasi prosedural yang justru membelenggu, banyak mudharat, sedikit manfa’at.
Akhirnya, semoga semua komponen bangsa Indonesia berdoa agar Presiden RI : Prabowo Subianto, dapat mengemban amanah rakyat Indonesia dan sukses minimal sampai tahun 2029.
Aamiin ar-rahmani ar-rahimi🤲🤲🤲
Hadanallahu
Waiyyakum Ajma’in
Awang Dadang Hermawan
*) Pemerhati Intelijen, Sosial Politik dan SARA
#############
21 0ktober 2025