KUNINGAN (MASS) – Tayangan viral di media nasional, khususnya oleh Trans7, yang berkaitan dengan kehidupan pondok pesantren, telah menuai banyak tanggapan dari masyarakat. Kuninganmass.com mewawancarai Dr Andri Azis Putra M Phil, seorang dosen filsafat, mengenai isu ini. Ia menilai bahwa kritik yang disampaikan dalam program tersebut bisa dianggap sebagai “kritik yang salah alamat”.
Dr. Andri menjelaskan tayangan ini mengabaikan prasyarat etika komunikasi yang seharusnya ada di ruang publik. Dalam pandangannya, kritik yang sah harus memenuhi tiga syarat penting menurut Jürgen Habermas: kebenaran, ketepatan normatif, dan ketulusan.
“Kritik yang disampaikan tanpa memenuhi ketiga syarat ini tidak dapat dianggap valid,” ujarnya kepada kuninganmass.com, Kamis (16/10/2025).
Lebih lanjut, ia menekankan ekspresi yang ditunjukkan dalam tayangan tersebut terindikasi merendahkan atau bias. Ia menilai bahwa hal ini sangat disayangkan, terutama mengingat banyaknya informasi yang dapat diakses.
“Penggunaan sampel atau data yang tidak akurat membuat klaim ketepatan normatifnya menjadi runtuh,” jelas Dr. Andri.
Dr. Andri juga mengutip pandangan John Stuart Mill mengenai kebebasan berekspresi yang harus dibatasi oleh “harm principle”. Prinsip ini menyatakan bahwa kritik yang berpotensi melukai martabat individu atau kelompok melemahkan legitimasi kritik tersebut.
“Jika cara mengkritik berpotensi melukai, maka kita perlu mempertimbangkan kembali apakah kritik itu pantas,” tambahnya.
Ia mencatat penonton setia acara tersebut mungkin memahami sifat sindiran dalam tayangan itu. Namun, ia mengingatkan bahwa menyindir bisa menjadi masalah ketika menyangkut martabat suatu kelompok.
“Martabat sangat erat kaitannya dengan konteks sosial dan politik,” ujar Dr. Andri.
Selanjutnya, ia menyampaikan jika ada yang berargumen bahwa tayangan tersebut tidak bermaksud merendahkan, maka argumen itu dianggap lemah. Ia menegaskan pentingnya menghadirkan data yang akurat dan relevan saat membahas masalah pengelolaan pesantren.
“Isi video yang disampaikan mungkin tidak mencerminkan kenyataan yang sebenarnya,” katanya.
Dr. Andri juga menyoroti pentingnya menghadirkan komentator yang layak untuk membahas isu ini. “Pondok pesantren adalah institusi besar dan bersejarah dengan sistem nilai yang vital dalam pendidikan. Mengundang komentator yang kompeten akan lebih tepat dibandingkan hanya menjadikannya bahan pergunjingan,” ujarnya.
Kritik terhadap tayangan ini menunjukkan masyarakat menginginkan diskursus yang lebih mendalam dan berbasis data. “Jangan sampai kritik yang disampaikan justru membuat masalah yang ada menjadi lebih buruk tanpa adanya solusi yang jelas,” pungkas Dr. Andri. (raqib)