KUNINGAN (MASS) – Desa Ciangir adalah merupakan sebuah desa yang terletak di sebelah selatan Kecamatan Cibingbin dan merupakan desa perbatasan dengan Jawa Tengah yaitu Kecamatan Salem Kabupaten Berebes dan berada di Kabupeten Kuningan, dimana jarak desa ke ibukota kecamatan 4 Km, sedangkan jarak ke pusat pemerintahan Kabupeten Kuningan adalah 41 Km.
Dilihat dari topografi dan kontur tanah Desa Ciangir Kecamatan Cibingbin secara umum berupa sawah dan tegalan yang berada pada ketinggian antara 500 m s/d 600 m diatas permukaaan laut dengan suhu rata-rata berkisar antara 28 s/d 30 derajat Celcius. Desa Ciangir terdiri dari 3 (tiga) dusun, 6 (enam) RW dan 26 (dua puluh enam) RT. Orbitasi dan waktu tempuh dari ibukota kecamatan 4 Km dengan waktu tempuh 30 menit dan dari ibukota kabupaten Kuningan 36 Km dengan waktu tempuh 120 menit.
Desa Ciangir adalah salah satu desa di kecamatan Cibingbin yang mempunyai luas wilayah 3 Km2. Jumlah Penduduk desa Ciangir sebanyak 3.438 jiwa yang terdiri dari 1.647 laki-laki dan 1.782 perempuan dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1.040 KK, sedangkan jumlah keluarga miskin (Gakin) 553 KK dengan persentase 30% dari jumlah keluarga yang ada di Desa Ciangir
A. MASA PERJUANGAN
Waktu Negara Mataram mendapat serangan dari tentara Belanda diantara seorang pahlawan lari ke arah barat, karena beliau tidak mau tunduk kepada Belanda, beliau seorang yang sakti, perjalanan pada waktu itu menelusuri gunung, dan beliau dijadikan buronan (Karaman).
Setelah turun gunung naik gunung, beliau (pahlawan Mataram) sampailah di sebuah dusun yang terletak di lereng gunung tepi sebelah timur Gunung Tilu, dusun itu bernama Cingalung, dusun itu hanya didiami oleh beberapa umpi saja, tetapi dia merasa tidak aman diam di dusun itu, karena menurut perhitungannya Belanda akan mudah menangkapnya, lagi pula dia sudah menjadi catatan (dokumen) belanda.
Maka ia pergi lagi dari dusun itu ke arah utara, dengan maksud ingin hidup sebagai Peladang, menemukan sebuah tempat yang datar dan dia membuka hutan, pada waktu dia lari dari Mataram, namanya CIPTANALA, setelah sampai ditempat itu, namanya diganti dengan DITANALA. Belanda tidak tinggal diam, setelah diketahui larinya ke arah barat maka dikirimkanlah pasukan untuk mencari buronan Ki Ciptanala.
Dengan secara kebetulan sampailah ditempat yang sedang dicarinya dan bertemu dengan yang dicarinya, tetapi tetapi belanda tidak hapal rupanya, haya tau namanya saja, kemudian pimpinan pasukan bertanya kepada seorang yang sedang bekerja, diantara pertanyaannya sebagai berikut:
“Apakah kamu mendengar dan mengenal kepada yang bernama Ciptanala? Apakah ada disini?” Maaf tuan saya tidak tau dan tidak mengenal. Siapa namamu?” Nama saya Ditanala dan pekerjaan saya haya bertani. “Kemana terusan jalan ini?” (sambil mencatat nama orang tersebut) Kesana tuan ke selatan. Belanda tidak menaruh curiga, dan terus melanjutkan perjalanan, setelah kira-kira 100 m jaraknya, dengan kesaktian Ki Ciplanala (Dilanala) ditiupnya pasukan Belanda dari belakang hingga mati semuanya. Ki Ditanala berpikir, mesti nanti akan datang lagi pasukan yang menyusulnya, maka beliau meninggalkan tempat itu kembali ke Dukuh Cinyalung, tetapi sebelum meninggalkannya beliau membuat ciri di tempat itu yang merupakan makam/kuburan. Ciri makamnya sekarang masih ada dan mendapat pemeliharaan Kuncen, dengan julukan “Makam Sudi Mampir”
Setelah kembali lagi ke Cinyalung, ia bekerja dengan istrinya membuat Gula Kawung. Belanda di pusat merasa heran, karena pasukan yang dikirim terlebih dahulu belum kembali, maka dikirim lagi pasukan untuk menyusulnya, datang ketempat yang dituju ternyata pasukan mati semua, kemudian melaksanakan pemeriksaan, ditemukan catatan nama Ditanala, pasukan Belanda itu menuju dukuh Cinyalung.
Buyut Ditanala mengetahui belanda sudah datang, ia berkata pada istrinya “Ni ( nene), saya akan mencari tempat untuk ibadah (sholat) sebagai samaran, jika belanda datang kesini jangan diberitaukan, pura-pura tidak tau”, buyut ditanala pergi kearah barat dan mencari sungai serta batu yang datar, setelah menemukan beliau sembahyang. Belanda datang ke Cinyalung dan menemui istrinya buyut ditanala yang sedang memanaskan bahan gula yang sedang mendidih haya pakai tangan saja tanpa alat.
Belanda meneruskan perjalanan ke arah barat dan bertemu dengan orang yang sedang sembahyang, kemudian menanyakan ki ditanala: “Apakah kamu mendengar dan mengenal kepada yang bernama Ditanala? Apakah ada disini?” Maaf tuan karena saya seorang santri yang kerjanya haya sembahyang saja, barang kali ke barat, Belanda tidak menaruh curiga apa-apa. Akhirnya pasukan Belanda meneruskan perjalannya, setelah lewat dan kira-kira 100 m pasukan Belanda ditiup lagi dari belakang hingga mali semua. Buyut Ditanala kembali lagi ke Cinyalung dan sebelum pulang membuat lagi kuburan, kuburan ini diberi nama “Makam Kisantri”.
Sedatangnya di Cinyalung berunding dengan istrinya yang maksudnya untuk meninggalkan tempat itu, karna pasti belanda akan menyusul kembali, sedangkan Buyut sudah merasa berat karena banyak membunuh musuh. Setelah sepakat, suatu waktu berangkat ke arah utara menuju tempat semula (Sudi Mampir) dan singgah dahulu disana (mampir), sebelum meninggalkan tempat itu Buyut Ciptanala/Ditanala berkata (Nurunkeun Basa) sebagai berikut: “Isuk jaganing geto kepada anak cucu (incu) kaula anu asalna ti daerah wetan (Jawa Tengah), sing saha bae boga kahayang datang ka ieu tempat (Sudi mampir) atawa jaroh, tinangtu bakal diijabah sakahayangna”. Sesudah berkata demikian, Buyut pergi ke arah barat menetap sampai meninggalnya di Desa Tanjung Sari (Sampay Kecamatan Ciwaru).
Note: Sampai sekarang banyak orang yang berkunjung (ziarah) ke makam Sudi Mampir, utamanya dari daerah Jawa Tengah, umpama yang bermaksud mencaloncan Kuwu (Kepala Desa, ataupun lainnya. Diantaranya ada terletak cita-cita jadi Kuwu, Kaya, Naik Pangkat, selamat dari perkara Kejaksaan dsb. Kuncen yang memegang adalah Aki Mahyar.
B. SASAKALA DESA
Setelah Buyut Sudi Mampir (Ki Santri, Ditanala, Ciptanala, Wayuga Jatya) meninggalkan Dukuh Cinyalung dan Belanda tidak datang lagi, umpi disana kehilangan tuan-tuannya kemudian ditunjuk Buyut Hasanudin seorang Lebe (Kiyai) oleh umpi-umpi di Cinyalung untuk menjadi Kuwu, maka karena menjabat 2 Jabatan, yaitu: Lebe dan Kuwu istilahnya disebut Aki Bewu. Aki Bewu pada waktu itu sering seba ke Gebang (Mengunjungi Pinangeran) dan kalau seba cukup mengendarai Pelapah Kelapa (baralak). Keseniannya Calung, Gendang. Karena sudah tua kekuwuannya diserahkan kepada anaknya yang bernama MAYA TARUNA.
Buyut Maya Taruna setelah menjadi Kuwu, merencanakan akan memindahkan kampung, dicarinya tempat kearah utara dan menemukan sebuah dataran yang diapit oleh dua buah sungai. Tempat itu penuh dengan Pohon Simpur, maka tempat itu dinamai DUKUH SIMPUR (Ciangir Sekarang), mungkin di Cinyalung dirasakan kurang aman, karena sudah dikenal belanda.Kemudian pindah ke Dukuh yang baru yang dinamai Dukuh Simpur, kemudian Buyut Maya Taruna pun seba ke Pinangeran ke Gebang, merundingkan dan menanyakan untuk nama tempat itu.
Dari Gebang Buyut Taruna disuruh pulang, haya sebelum sampai di Dukuh Simpur disuruh di angir (keramas) dahulu di anak sungai yang mengalir di sebelah barat kampung. Karena Buyut Maya Taruna diangir dulu dan segala prilaku pimpinan pada waktu itu dianggap dan banyak yang ditiru sehingga Dukuh Simpur pun diganti namanya menjadi CIANGIR, yang berarti “Cai Tempat Diangir”.
Kesenian yang sangat digemari oleh masyarakat pada waktu itu adalah seni Calung yang dilengkapi dengan Gendang, permainannya adalah Sulap.
Suatu waktu kesenian Ciangir (Calung Gendang dan Sulap) mendapat undangan dari Desa Gunung Jawa untuk memperlihatkan kemeriahannya, rombongan berangkat ke Desa Gunung Jawa, pada waktu mempermainkan Sulap, yaitu menyembelih manusia dengan diiringi Gendang dan Calung, ternyata kepala orang itu (yang disembelih) hilang tidak dapat diketumukan lagi.
Rombongan merasa cemas apalagi kepala rombongan, kemudian mengadakan pengumuman dan edaran, tetapi tidak ada yang mengaku berbuat curang, setelah tidak ada yang mengaku tetap kepala orang yang disembelih itu tidak diketemukan. Maka kepala pimpinan mengeluarkan kesaktiannya, yaitu menanam Biji Waluh pada waktu itu, waluhpun (labu) tumbuh dan langsung berbuah, buahnya dipetik, kemudian mengadakan pengumuman “Kepada siapa yang mempermainkan agar dengan segera kepala orang itu dikembalikan” tetapi tetap tidak ada yang mengaku (karena sama dengan mengadu kesaktian).
Pemimpin tidak sabar, lalu waluh dibelah diatas panggung, tiba-tiba orang yang mempunyai ilmu di Desa Gunung Jawa itu (orang yang mempermainkan) kepalanya pecah, dan kepala orang yang hilang itu ada didalam gendang, kulit kendang dibuka sebelah dan orang itu hidup kembali.
Setelah datang ke Ciangir, maka keluarlah ucapan mendapat malu “Pikeun anak incu jeng turunanna Desa Ciangir teu benang nanggap calung jeng gegendangan atawa nabeh gendang, sing saha anu ngarempak ieu wangsittinangtu panggih balukar atawa kacilakaan’. Sampai sekarang di Desa Ciangir tidak ada Bedug, boleh nabuh Gendang asalkan jangan tertutup semua (seperti reog). Demikian lah sejarah Desa Ciangir, Assallamualaiku Warohmatullohi Wabarokatuh, Amiiiiin.
a. Urutan Jabatan Kepala Desa (Kuwu) dari Pertama – Sekarang
1. Komarudin/Bewu (Kepala Desa Pertama)
Menjabat sebagai Kepala Desa pertama mulai dari tahun 1675 sampai dengan tahun 1725.
2. Maya Taruna (Kepala Desa Kedua) 1765.
Menjabat sebagai Kepala Desa Kedua mulai dari tahun 1725 sampai dengan tahun
3. Maya Wangsa (Kepala Desa Ketiga)
Menjabat sebagai kuwu Ketiga mulai dari tahun 1765 sampai dengan tahun 1800.
4. Singakerta (Kepala Desa Kempat)
Menjabat sebagai Kepala Desa Keempat mulai dari tahun 1800 sampai dengan tahun 1845
5. Raksa Perwata (Kepala Desa Kelima)
Menjabat sebagai Kepala Desa Kelima mulai dari tahun 1845 sampai dengan tahun 1864.
6. Buyut Kerta Perwata (Kepala Desa Keenam)
Menjabat sebagai Kepala Desa Keenam mulai dari tahun 1864 sampai dengan tahun 1879.
7. Wangsa Perwata (Kepala Desa Ketujuh)
Menjabat sebagai kuwu Ketujuh mulai dari tahun 1879 sampai dengan tahun 1944.
8. Sastra Winata (Kepala Desa Kedelapan)
Menjabat sebagai Kepala Desa Kedelapan mulai dari tahun 1944 sampai dengan tahun 1967.
9. Uta (Kepala Desa Kesembilan/PJS)
Menjabat sebagai Kepala Desa Kesembilan mulai dari tahun 1967 sampai dengan tahun 1970.
10. Daryan (Kepala Desa Kesepuluh)
Menjabat sebagai Kepala Desa Kesepuluh mulai dari tahun 1970 sampai dengan tahun 1975.
11. Sujana (Kepala Desa Kesebelas)
Menjabat sebagai Kepala Desa Kesebelas mulai dari tahun 1975 sampai dengan tahun 1980.
12. Usman (Kepala Desa Kedua belas)
Menjabat sebagai Kepala Desa Keduabelas mulai dari tahun 1980 sampai dengan tahun 1989.
13. Muhpid (Kepala Desa Ketiga belas)
Menjabat sebagai Kepala Desa Ketigabelas mulai dari tahun 1989 sampai dengan tahun 1997.
14 . Kuswari (Kepala Desa Keempat belas)
Menjabat sebagai Kepala Desa Keempat belas mulai dari tahun 1999 sampai dengan tahun 2007.
15. Tarso (Kepala Desa Kelima belas)
Menjabat sebagai Kepala Desa Kelima belas mulai dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013.
16. Tarso (Kepala Desa Keenam belas)
Menjabat sebagai Kepala Desa Ciangir mulai tahun 2013 sampai dengan tahun 2019.
17. Rahmat (Kepala Desa Ketujuh belas)
Menjabat sebagai Kepala Desa Ciangir mulai tahun 2019 sampai dengan tahun 2025 (Sekarang).
Tulisan ini merupakan penelitian sebagai tugas mata kuliah folklore, Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah STKIP Muhammadiyah Kuningan
Penulis : Reza Alam Firdaus, Euis Allysa Julianda Ningsih dan Firman Fathurohman