KUNINGAN (MASS) – Gedung Darul Arqam, Sabtu pagi (10/5/2025), tak hanya menjadi tempat berkumpulnya para santri dan alumni. Ia menjadi ruang pengikat antara masa lalu dan masa depan. Dalam rangka Milad ke-31 Yayasan Husnul Khotimah, ratusan pasang mata—baik yang hadir langsung maupun melalui Zoom dan siaran langsung YouTube HKTV—menyimak dengan khidmat: Sarasehan Alumni HK – Napak Tilas Husnul Khotimah.
Acara dibuka oleh Ketua Umum Yayasan Husnul Khotimah Kuningan, KH. Mu’tamad, Lc. M.Pd. Al-Hafidz, yang mengajak seluruh hadirin untuk menengok ulang keikhlasan para pendiri dan muwakif. “Husnul Khotimah ada hari ini karena mereka—dengan keseriusan dan kerja kerasnya—menjadikan pondok ini ladang dakwah jangka panjang. Kita dititipkan amanah untuk terus menjaga kepercayaan itu,” ujarnya.
Tak lupa ia mengutip pesan KH. Achidin Noor, MA. bahwa pesantren ini harus menjadi lembaga “berumur panjang dan bernafas panjang”.
Satu demi satu, narasumber yang dihadirkan bukan sekadar tokoh. Mereka adalah saksi hidup sejarah panjang Husnul Khotimah. Prof. Dr. Ahmad Satori Ismail, M.A., Anggota Dewan Pembina YHK, membuka sesi pertama dengan menyusuri kembali akar gagasan berdirinya Husnul Khotimah.
“Kami ingin menyiapkan bibit ulama. Kami mencari model pesantren yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan akidah, kedisiplinan, dan kemandirian,” tuturnya.
Gagasan itu kemudian menemukan takdirnya ketika bertemu dengan sosok visioner, H. Sahal Suhana, S.H.
Sejarah itu dilanjutkan oleh H. Maman Kurman, S.H., Ketua I Yayasan Husnul Khotimah Kuningan. Ia mengisahkan bagaimana H. Sahal memutuskan membangun pesantren di Maniskidul, bukan di Garawangi, agar dapat “membendung aliran lain yang mulai menyebar ke desa sekitar.”
Tanah 300 bata dari orang tuanya menjadi awal dari perjalanan panjang yang kini membentang lebih dari 10 hektare. “Kalau H. Sahal adalah hardwarenya, maka Ustadz Achidin Noor adalah softwarenya,” kata H. Maman mengutip perumpamaan yang lekat di kalangan internal yayasan.
KH. Imam Nur Suharno, M.Pd., Kepala Divisi Humas dan Dakwah, tak bisa menyembunyikan haru saat mengenang momen-momen awal berdirinya pesantren. Matanya berkaca-kaca saat menyebut perjuangan dan keikhlasan para pendiri, diantaranya H. Sahal Suhana, SH.
“Karena perjuangan dan keikhlasan beliau,” ujarnya. “Bahkan ketika disodorkan kuitansi, beliau membakarnya. Beliau tidak ingin jasa dicatat secara materiil,” sambung Imam.
Bagi Ustadz Imam, peluncuran buku “Perjalanan HK: Antara Cita dan Harapan” dalam rangka Milad ke-31 ini bukan sekadar dokumentasi. Buku ini adalah penghormatan terhadap nafas panjang sejarah yang dilandasi nilai-nilai pengabdian.
“Kita ingin generasi berikutnya tahu, bahwa yang mereka pijak hari ini adalah tapak keikhlasan,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan kembali empat visi besar H. Sahal Suhana, pendiri Husnul Khotimah, yang kerap diulang dalam berbagai kesempatan: mencetak ulama, negarawan, ekonom, dan profesional. Visi ini menjadi dasar pembinaan pesantren yang tidak hanya fokus pada aspek keilmuan, tetapi juga pada pengembangan karakter dan kepemimpinan santri.
Imam kemudian menambahkan bahwa semangat dakwah yang diwariskan juga terlihat kuat dalam pesan-pesan KH. Achidin Noor. “Setidaknya ada tiga hal yang selalu beliau sampaikan kepada kami,” kenangnya.
Pertama, bahwa apapun profesi kalian kelak, dakwah adalah proyek utama dalam hidup kalian.
“Kedua, dalam pesan perpisahannya kepada para alumni, beliau menekankan empat prinsip yang harus melekat dalam diri setiap lulusan, diantaranya,” sebut Imam.
Fahmul Islam fahman shohihan (memahami Islam dengan pemahaman yang benar),
Al-‘amal lil Islam (beramal untuk Islam),
Ad-da’wah ilal Islam (berdakwah kepada Islam),
At-tarabbut ma‘a man ‘amila lil Islam (Terbina bersama orang-orang yang beramal untuk Islam).
Dan ketiga, lanjut Imam, bahwa jika pesantren ingin berumur panjang, maka ia harus dikelola secara profesional dengan tetap berkomitmen pada nilai-nilai dakwah dan tarbiyah. Prinsip-prinsip ini, menurut Imam, adalah pondasi yang masih relevan dan harus terus dijaga agar Husnul Khotimah tidak hanya besar dalam jumlah santri, tapi juga kokoh dalam nilai dan arah perjuangan.
Sementara itu, Nusaibah Al-Hafidzah, alumni angkatan ke-12, hadir membacakan puisi berjudul Husnul Khotimah, Cahaya yang Tak Padam. Bait demi bait puisinya mengalir lembut dan menyayat hati.
“Engkau ajarkan kami mencintai kebenaran, bukan karena mudah, tapi karena ia jalan panjang yang membawa Cahaya. Semoga langkahmu terus diberkahi, ilmumu terus mengalir tanpa henti, santrimu menjadi benih tumbuh yang dirawat langit, dan pengasuhmu diringankan setiap lelahnya, oleh senyum ridho Illahi, selama milad pesantren husnul khotimah,” ucapnya.
Tak hanya bernostalgia, Nusaibah juga menyampaikan bahwa keterampilannya menulis—yang membawanya menerbitkan novel hingga difilmkan—berawal dari tempaan Husnul Khotimah. “HK itu mercusuar yang menunjukkan arah. Saya bangga menjadi bagian dari lembaga ini,” ungkapnya.
Hadir pula dalam sarasehan tersebut, Muhammad Husein, Presiden ISLAH (Ikatan Silaturahmi Alumni Husnul Khotimah), yang menyampaikan pentingnya menyinergikan potensi alumni untuk memberikan kontribusi nyata bagi pesantren. Ia menekankan bahwa alumni memiliki posisi strategis untuk memperkuat pondasi Husnul Khotimah, tidak hanya secara emosional, tetapi juga secara struktural dan fungsional.
Dalam paparannya, Husein menyebut beberapa program konkret yang tengah dirancang ISLAH, seperti penguatan jaringan kerja dan usaha antar alumni, bantuan beasiswa untuk santri aktif, pembinaan karier bagi alumni muda, serta dukungan terhadap pembangunan fisik dan pengembangan lembaga pesantren.
“Tujuannya tak lain agar keberadaan alumni menjadi sumber manfaat yang terus hidup, tumbuh, dan berdampak jangka panjang bagi almamater tercinta,” terangnya.
Di akhir sesi, Deden Anjar Herdiansyah, alumni sekaligus praktisi pendidikan, menuturkan dengan jujur, “Saya mencintai guru-guru di HK sejak dulu. Tapi saya juga menyesal, karena tidak mengambil sebanyak-banyaknya ilmu dari mereka. Sekarang saya baru merasakannya,” ungkap Deden.
Baginya, Husnul Khotimah bukan hanya catatan di buku tahunan, tapi teman perjalanan hidup yang terus hadir, bahkan hingga hari ini.
Sarasehan itu bukan sekadar reuni atau nostalgia. Ia menjadi refleksi bersama bahwa Yayasan Husnul Khotimah bukan hanya tempat belajar, tapi medan tempur membentuk peradaban. Di usia 31 tahun, cita-cita itu tak meredup. Justru semakin terang, seperti cahaya yang tak pernah padam. (didin)
