LOGISKAH TUNJANGAN RUMAH DPR RP 50 JUTA/BULAN?
Apakah angka Rp 50 juta sebulan untuk tunjangan rumah anggota DPR masuk akal?
Inilah pertanyaan yang sejak beberapa hari terakhir membelah opini publik.
Pihak DPR menyebut skema ini lebih efisien dibanding mempertahankan Rumah Jabatan Anggota (RJA) di Kalibata yang dinilai menua dan “tak layak huni”.
Mereka berargumen, biaya perawatan dan perbaikan RJA akan memakan “ratusan miliar” per tahun sehingga lebih baik diganti uang sewa.
Pernyataan itu diperkuat oleh keterangan Sekretariat Jenderal DPR bahwa mulai 2025 anggaran pemeliharaan RJA dihentikan, lalu kompensasi perumahan diberikan kepada anggota periode 2024–2029.
Di sisi lain, banyak analis menghitung beban total tunjangan ini mencapai sekitar Rp 1,74 triliun untuk lima tahun, sehingga disebut boros dan tak sensitif terhadap situasi masyarakat.
Dua cara pandang ini sama-sama mengklaim efisiensi; publik butuh pembuktian yang lebih konkret ketimbang opini.
EFISIEN UNTUK APBN ATAU HANYA MEMINDAHKAN BIAYA?
Masalahnya bukan sekadar besar kecilnya angka Rp 50 juta.
Persoalan pokoknya adalah apakah tunjangan ini benar-benar lebih hemat dibanding dua opsi lain: tetap memelihara RJA (biaya operasional tahunan) atau melakukan revitalisasi menyeluruh (biaya modal satu kali yang besar).
Tanpa menutup data, kita bisa mengkalkulasi beban tunjangan: anggota DPR periode 2024–2029 berjumlah 580 orang.
Jika seluruh anggota menerima Rp 50 juta/bulan selama 12 bulan, maka biayanya sekitar Rp 348 miliar/tahun atau kurang lebih Rp 1,74 triliun selama lima tahun.
Agar klaim “lebih efisien” sahih, DPR perlu menunjukkan bahwa nilai sekarang (NPV) dari pemeliharaan RJA berikut biaya revitalisasi menyeluruh jelas melebihi Rp 1,74 triliun.
Jika tidak, pernyataan efisiensi berubah menjadi sekadar pemindahan pos biaya—dari belanja pemeliharaan aset negara ke belanja tunjangan individu—tanpa bukti penghematan.
RUMAH TUA VS APARTEMEN MEWAH
Bayangkan Anda mewarisi rumah tua dari orang tua.
Atapnya bocor, instalasinya usang, dan biayanya kian membengkak.
Anda punya tiga pilihan: menambal sekenanya saban tahun, merenovasi menyeluruh sekali jalan, atau menyerah dan menyewa apartemen baru.
Tidak ada jawaban universal; yang rasional adalah menghitung: berapa biaya tahunan “menambal”, berapa biaya renovasi besar untuk membuat rumah layak 20–30 tahun lagi, dan berapa ongkos sewa jika semua biaya ditanggung uang pribadi.
Hanya setelah ketiganya dibandingkan dengan benar—bukan sekadar perasaan mahal—barulah kata “hemat” pantas diucapkan.
Analogi ini tepat untuk RJA Kalibata. Bila data rinci engineering estimate tak dipublikasikan, publik wajar meragukan klaim efisiensi tunjangan.
LOGIKA PASAR SEWA DAN STANDAR KEBIJAKAN
Bagaimana menilai Rp 50 juta/bulan sebagai “harga wajar” sewa hunian bekerja di Jakarta pusat?
Pasar memperlihatkan spektrum luas: unit apartemen dua kamar di kawasan SCBD/Senopati, misalnya, mudah ditemukan pada kisaran Rp 40–57 juta per bulan, bahkan lebih tinggi untuk unit premium; pada saat yang sama tersedia pula banyak opsi di bawah Rp 30 juta.
Artinya, Rp 50 juta memang bisa menyewa hunian kelas atas yang dekat Senayan, tetapi bukan satu-satunya opsi layak huni bagi pejabat negara.
Jika negara hendak membayar, standar yang sehat adalah plafon berbasis bukti, bukan angka datar.
Skema reimbursement dengan batas atas menurut zona (radius Senayan, Jakarta Selatan pusat, hingga pinggiran) akan jauh lebih akuntabel daripada angka tunggal yang memaksa semua orang di level “premium”.
KONTEKS DAYA BELI DAN SENTIMEN PUBLIK
Pertanyaan kedua tak kalah krusial: apa implikasi kebijakan ini ketika daya beli masyarakat “terasa turun” dan ekonomi tidak baik-baik saja?
Secara headline, inflasi terkini masih dalam rentang sasaran.
Tetapi komponen pangan, khususnya beras, kerap menjadi pengganggu.
Di banyak wilayah, harga rata-rata beras medium dan premium melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET).
Inilah sebabnya persepsi publik kerap berbeda dengan angka agregat: rumah tangga tidak berbelanja “rata-rata”, mereka berbelanja beras, telur, transportasi sehari-hari, dan biaya sekolah—komponen yang justru naik.
Di sisi pertumbuhan, perekonomian memang masih menunjukkan laju positif, namun itu tidak otomatis membatalkan rasa “sumpek” warga ketika harga pangan menanjak.
Dalam suasana seperti ini, keputusan menaikkan kompensasi perumahan pejabat ke level premium akan menimbulkan risiko legitimasi: ketidakpercayaan pada institusi, keengganan bayar pajak dengan sukarela (tax morale), dan resistensi publik pada kebijakan sulit lain.
MENGALIR KE INTI: LOGIS DI PASAR, BELUM LOGIS DI APBN
Jadi, apakah Rp 50 juta “logis”?
Jika ukurannya murni pasar sewa, jawabnya bisa: ya, itu kisaran yang lazim untuk apartemen premium di koridor Senayan–SCBD.
Namun kebijakan publik tak boleh berhenti di logika pasar; ia harus lulus uji logika APBN dan etika akuntabilitas.
Pada uji pertama, tanpa perbandingan biaya menyeluruh antara “revitalisasi RJA” versus “tunjangan lima tahun”, klaim hemat belum terbukti.
Pada uji kedua, skema flat berisiko menghadirkan moral hazard: menyewa hunian jauh dari Senayan, menggunakan sebagian dana di luar peruntukan, atau bahkan “menabungkan” selisihnya.
Dalam arsitektur tunjangan modern, standar bakunya adalah reimbursement berbasis kuitansi, pagu bertingkat berdasar zona, verifikasi alamat sewa, dan publikasi agregat triwulanan: berapa rata-rata klaim, sebaran lokasi, serta estimasi penghematan dibanding baseline RJA.
Tanpa itu, sulit memisahkan kebijakan yang benar-benar efektif dari sekadar kebijakan yang “terlihat nyaman” untuk pemegang jabatan.
NARASI KELUARGA VS NARASI NEGARA
Di ruang makan rumah tangga Indonesia, narasi hari-hari ini sederhana: harga beras masih tinggi, biaya sekolah naik, dan pekerjaan informal belum sepenuhnya pulih kualitas pendapatannya.
Di ruang rapat kebijakan, narasi negara seharusnya tak boleh bertabrakan dengan narasi dapur keluarga.
Memberi sinyal bahwa negara siap menanggung sewa hunian premium bagi wakil rakyat—ketika banyak warga menurunkan kualitas belanja makanan—adalah komunikasi kebijakan yang buruk.
Bahkan bila total anggaran tunjangan terlihat kecil secara proporsi APBN, ia tetap besar sebagai opportunity cost yang bisa dialihkan ke penguatan operasi pangan (SPHP), beasiswa, atau layanan publik berbasis kota.
Saat persepsi publik rapuh, makna Rp 300-an miliar bukan hanya angka; ia menjadi simbol jarak antara parlemen dan dapur rakyat.
MENAWARKAN GAGASAN: JALAN TENGAH YANG MASUK AKAL
Solusi yang elegan tidak harus ekstrem.
Pertama, ubah skema dari “uang saku tetap” menjadi reimbursement berbasis bukti dengan plafon zonasi.
Radius Senayan bisa memiliki plafon tertinggi karena kedekatan dengan parlemen, sementara di luar zona inti plafonnya menurun.
Ini mengakui heterogenitas pasar sewa sambil menutup ruang pemborosan.
Kedua, tetapkan periode transisi satu tahun dengan plafon konservatif—misalnya Rp 35–40 juta—sambil menggelar audit teknis menyeluruh terhadap RJA untuk menghitung biaya revitalisasi yang sebenarnya.
Jika audit membuktikan biaya revitalisasi benar-benar lebih mahal ketimbang total tunjangan lima tahun, plafon dapat dievaluasi; jika tidak, plafon diturunkan.
Ketiga, kelola aset RJA secara strategis: alihfungsi menjadi rumah dinas lintas lembaga yang defisit hunian, rusun ASN guru atau nakes di Jakarta, atau skema pemanfaatan bersama lewat kerja sama pemerintah–BUMN.
Keempat, kaitkan tunjangan perumahan dengan kinerja—kehadiran fisik di Senayan, keterlibatan dalam rapat-rapat, dan capaian legislasi.
Tunjangan bukan hak absolut, melainkan instrumen yang sah dipangkas bila tak memberi dampak pada kualitas kerja wakil rakyat.
MENGEMBALIKAN NALAR KE KEBIJAKAN
Opini publik yang gaduh bukan sekadar “iri pada fasilitas”; ini adalah kegaduhan tentang rasa keadilan.
Rakyat ingin melihat tiga hal: hitung-hitungan yang jujur, standar yang masuk akal, dan keteladanan.
Hitung-hitungan jujur berarti DPR mempublikasikan rencana biaya rinci revitalisasi RJA—lengkap dengan umur manfaat, kebutuhan unit, dan rencana pembiayaannya—lalu dibandingkan dengan total tunjangan lima tahun.
Standar masuk akal berarti tak semua anggota “dipaksa” tinggal di spektrum premium; negara cukup menanggung yang wajar untuk menunjang tugas.
Keteladanan berarti menunda selera mewah pada masa ketika rumah tangga masih menahan belanja karena beras mahal, biaya sekolah naik, dan pekerjaan belum seimbang kualitasnya.
Kebijakan yang baik bukan yang membuat pejabat nyaman, melainkan yang membuat kepercayaan publik tumbuh.
Pada akhirnya, Rp 50 juta adalah angka yang “masuk akal” di brosur apartemen, tetapi belum otomatis masuk akal di neraca APBN dan hati publik.
Tanpa transparansi biaya dan desain yang akuntabel, kebijakan ini akan terus menjadi simbol jarak antara Senayan dan dapur keluarga Indonesia.
Tugas kita—terutama saya sebagai ekonom dan warga—adalah mengembalikan nalar ke kebijakan: membuktikan efisiensi dengan data, merancang skema yang hemat dan adil, serta menundukkan kepentingan pribadi di hadapan kepercayaan rakyat.
Jika tiga hal itu dilakukan, publik mungkin tidak hanya memahami, tetapi juga bersedia menerima.
Jika tidak, Rp 50 juta per bulan akan selalu terdengar terlalu mahal—bukan karena angka nominalnya semata, melainkan karena defisit logika dan empatinya.***
Achmad Nur Hidayat, Ekonom & Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta