KUNINGAN (MASS) – Kasus pencabulan yang terjadi di salah satu pesantren di Kabupaten Kuningan menyoroti masalah mendalam dalam sistem pendidikan di pesantren. Hal itu dikatakan oleh Dr. Iskandar, MM, seorang akademisi senior asal Kuningan.
Ia menyatakan, ada kesalahan mendasar dalam sistem dan proses pendidikan di pesantren tersebut yang perlu segera diperbaiki. Menurutnya, masalah pertama terletak pada sistem rekrutmen guru yang tidak hanya mengutamakan kompetensi akademik, tetapi juga harus mempertimbangkan moralitas guru tersebut.
“Guru yang terpilih menjadi pengasuh di pesantren harus teruji betul moralnya. Proses seleksi yang lebih cermat, dengan kearifan dan kewaspadaan berlapis, sangat penting untuk mencegah adanya oknum yang menyalahgunakan posisinya,” ujarnya, Senin (23/12/2024).
Selain itu, dalam proses pembelajaran, ia juga menekankan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap para santri. Kondisi tanpa pengawasan, terutama di area yang sepi, membuka peluang bagi guru yang tidak bermoral untuk melakukan hal-hal yang tidak senonoh.
“Sebaiknya, untuk kompleks santri putri, tidak ada guru laki-laki yang boleh masuk tanpa pengawasan yang jelas,” tambahnya.
Ia juga memberikan pandangannya terkait dampak yang ditimbulkan oleh kasus tersebut terhadap pesantren lainnya. Bagi pesantren yang sudah memiliki sistem yang baik, isu itu tidak akan banyak berpengaruh. Namun, bagi pesantren yang sistemnya masih lemah, tentu akan menjadi peringatan penting agar mereka segera memperbaiki diri.
“Kepercayaan masyarakat terhadap pesantren tersebut pasti akan menurun. Jika tidak segera diperbaiki, kepercayaan itu bisa hilang sepenuhnya. Pesantren lain juga bisa terkena imbasnya, karena orang tua santri mungkin berpikir dua kali untuk memasukkan anak-anak mereka ke pesantren setelah mendengar berita ini,” katanya.
Sebagai solusi, Dr. Iskandar menyarankan agar sistem dan proses pendidikan di pesantren segera direvitalisasi. Ia juga menekankan pentingnya hukuman yang tegas bagi pelaku agar memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, serta pendampingan psikologis bagi korban untuk mengatasi trauma dan melanjutkan pendidikan mereka dengan semangat yang baru.
“Proses pendidikan harus dievaluasi ulang, termasuk niat dari para pengurus dan pengajarnya. Apakah benar-benar lillahi ta’ala atau ada niat lain di baliknya?” pungkasnya. (argi)