KUNINGAN (MASS) – Bismillah. Pertama saya masuk ke camp Syuk’nah disambut puluhan anak laki-laki mengerubuti begitu keluar mobil. Mereka tahu akan datang bantuan.
Sekelebat ada rasa senang dengan antusiasme itu. Tetapi dalam pikiran dalam terbayang betapa habbit terbentuk dan melekat atas keterpaksaan situasi akan ketergantungan semua kebutuhan pada bantuan.
Aspek psikhis ini yang menjadi pemikiran dan kekhawatiran semalam selepas isya saya pikirkan. Harapan dan asa merupakan pembakar motivasi yang menggerakan otak dan alam bawah sadar untuk menggapainya.
Nah jika hope ini sudah berubah pada ketergantungan, bukan keinginan mandiri untuk mencapai harapan, sepertinya akan menjadi beban mental.
Urusan pengungsi bukan hanya pada pemenuhan kebutuhan terendah menurut hierarki Maslow, kebutuhan biologis, tetapi urusan yang mesti terencana, terprogram dan terukur melalui grand design memanusiakan manusia yang mempunyai hope untuk mencapai aktualisasi diri sebagai puncaknya.
Program bantuan bukan hanya tertuju pada pemenuhan sesaat, karena mereka menderita bukan pada hitungan hari. Program sedianya bukan juga sensasi emosional sesaat karena “menjual” foto dan narasi penderitaan. Program juga bukan bertitik pada news value yang tinggi dan pengibaran bendera penderma.
Salah satu dampaknya adalah menurunnya bantuan sejak peristiwa 7 Oktober 2023. Para pengungsi kalah tangisan dan nilai berita. Padahal sekali lagi, mereka dititipi penderitaan bukan hitungan hari.
Sahabat semua yang memburu berkah Ramadhan, perenungan atas nominal rupiah yang kita keluarkan menjadi bayangan akankah itu sebagian berdampak pada harapan mereka. Bahwa mereka masih punya harapan sebagai bahan bakar motivasi untuk menjadi manusia.
Hatur nuhun.
Amman, Jordania, 24 Maret 2024
Asep Hermana
Tim Relawan DT Peduli