KUNINGAN (MASS) - Indonesia merupakan negara agraris, negara yang mengandalkan sumber daya agraria yakni bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalam-nya, untuk me-nopang ekonomi negara. Namun sangat disayangkan karena para pemangku kebijakan kurang memiliki kepedulian untuk membuat suatu aturan yang jelas dalam pengelolaan sumber-sumber agraria, terutama yang ditujukan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat.
Seperti dalam pelaksanaan UUD Desa untuk mewujudkan “otonomi daerah” yang pada kenyataannya masih banyak terjadi pengambilalihan wilayah produksi dan cadangan produksi desa (termasuk kawasan hutan) untuk berbagai proyek pembangunan dan usaha komersial skala besar, yang mencakup pembangunan dan usaha komersial di bidang perkebunan, kehutanan, pertambangan, pariwisata, yang menyebabkan basis-basis produksi bagi warga desa dan cadangan produksi bagi angkatan kerja pertanian berikutnya merosot, bahkan menghilang.
Kombinasi permasalahan agraria dan ekologi ini menimbulkan sebuah pernyataan bagaimana implementasi dari UU Desa sehingga desa memperoleh kewenangan dan pendanaan yang cukup besar dalam menyelenggarakan urusannya. Padahal Secara umum, UU Desa telah memberikan kerangka normatif dan institusional bagi pelaksanaan demokrasi desa yang mencakup aspek kepemimpinan, akuntabilitas, deliberasi, representasi, dan partisipasi.
Dengan demikian, UU Desa telah melembagakan desa sebagai sebuah institusi publik yang otonom, demokratis, dan akuntabel.
Selain itu, Saat ini banyak terjadi Ketimpangan penguasaan lahan dan kerusakan alam yang menyebabkan maraknya konflik agraria serta permasalahan ekologis, seperti perampasan lahan, monopoli petani, kriminalisasi petani, RUU masyarakat adat, penurunan daya dukung alam akibat dari praktik-praktik produksi dan konsumsi yang bersifat eksploitatif yang mengabaikan keberlanjutan layanan alam. persoalan-persoalan tersebut terjadi semakin meningkat di berbagai penjuru tanah air. Seperti pernyataan dari KPA yakni Konsonum Pembaruan Agraria, bahwa sepanjang tahun 2018 terjadi konflik agraria diberbagai provinsi Indonesia, dari berbagai sektor yakni perkebunan, kehutanan, properti infrastruktur, pertanian, kehutanan, kelautan, dan pertambangan.
Contoh konflik agraria yang terjadi di Indonesia yakni yang terjadi pada masyarakat Ambal Kebumen. Dimana Masyarakat didaerah tersebut, memiliki persoalan dengan pengklaiman tanah secara sepihak oleh TNI AD, yang mengklaim bahwa 300 meter dari bibir pantai adalah milih TNI AD, kemudian saat ini tanah tersebut menjadi lahan pertambangan, padahal menurut keterangan warga sekitar dan kepala desa, bahwa sebagian dari mereka sebetulnya memiliki sertifikat atas tanah tersebut dan sebagian lainnya, memiliki letter C. Begitupun yang terjadi pada masyarakat transmigrasi didaerah Konawe, Sulawesi Tenggara yang mana mereka tidak mendapatkan hak yang semestinya Sehingga memiliki nasib yang tidak karuan.
Lain halnya yang terjadi pada masyarakat adat diberbagai penjuru tanah air, mereka memiliki konflik dengan pemerintah mengenai hak atas tanah adat, karena saat ini masih banyak tanah adat yang diklaim pemerintah sebagai tanah negara’ atau hutan negara, yakni 70% hutan adalah kawasan hutan negara. Dimana konsep tanah negara ini lebih mengarah kepada perusahaan dibandingkan masyarakat, dan melakukan ekspansi besar-besaran untuk perkebunan dan pertambangan. Padahal secara turun temurun masyarakat adat memiliki hukum dan tata pemerintahan adat masing-masing dalam pengelolaan tanah adat.
Terdapat tiga solusi yang ditawarkan pemerintah berkenaan konflik agraria dengan masyarakat adat, yakni pertama konsensus masyarakat diatas negara, dimana tanah adat menjadi hutan desa dengan program bahwa masyarakat hanya diberikan hak kelola terbatas yakni untuk 35 tahun, tanpa diberikan hak kepemilikan. Namun banyak yang pihak yang menganggap bahwa solusi atas diberikannya hak kelola saja tidak cukup, bahkan menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, solusi tersebut merupakan langkah mundur karena seharusnya hal tersebut dihentikan atas dasar keputusan MK No.35 Tahun 2013, bahwa hutan adat bukan lagi sebagai hutan negara.
Kedua yakni kepemilikan pribadi diatas sebidang tanah yakni program pemberian stratifikasi tanah kepada setiap individu dalam masyarakat adat, namun solusi ini tentu saja mendapat penolakan yang cukup keras oleh masyarakat adat, karena tanah adat merupakan tanah warisan secara turun temurun yang dikelola bersama-sama, sehingga dengan adanya program ini akan menyebabkan hilangnya solidaritas masyarakat adat, pengikisan budaya, bahkan mungkin saja kedepannya masyarakat adat hanya menjadi buruh diatas tanah mereka, lalu secara perlahan masyarakat adat akan terusir dari tanah mereka sendiri.
Ketiga yakni Hak komunitas Kolektif, dimana pemberian stratifikasi tanah kepada masyarakat adat, sehingga tanah milik kolektif, dikelola bersama masyarakat, atas otoritas bersama masyarakat, dan solusi inilah menurut masyarakat adat yang paling relevan dan diperlukan, yang bisa melindungi budaya, menjadi kawasan pemukiman yang dilindungi, namun di Indonesia langkah tersebut masih dalam proses penyusunan.
Penulis : Siti Noviani (Mahasiswi IAIN Syekh Nurdjati Cirebon)