KUNINGAN (MASS) – Konon zaman terus berubah menuju peradaban yang lebih modern. Berbagai indikator kemajuan ditandai dengan tumbuhnya akselerasi teknologi yang tidak lagi bisa dibendung. Generasi milenial yang baru saja mencari bentuk, sudah bermetamorfosa lagi dengan kelahiran generasi baru. Banyak orang yang masih bingung dengan teknologi 3G, sudah lahir teknologi 4G. Padahal generasi baru 5G pun sudah siap lahir lagi. Teknologi baru selalu lahir tanpa bertanya apakah generasi sebelumnya sudah dipahami atau belum. Tuntutan sosialisasi di era analog sudah tidak bisa dipaksakan di era super digital saat ini.
Mau tidak mau, siap tidak siap peradaban teknologi akan terus menggilas generasi yang tidak pernah siap. Kedewasaan dalam beradaptasi dengan peradaban baru berbasis pada diri sendiri. Inilah tantangan terberat di medan peradaban yang akan datang. Padahal saat berbicara peradaban, kita tidak bisa bicara ego pribadi. Ingatlah terhadap gerbong tanggung jawab sosial yang ada di belakang kita. Jangan anggap mereka bukan siapa – siapa, karena mereka adalah bagian dari hidup kita.
Kita boleh bangga dengan fakta dan realita perubahan perdaban teknologi yang sangat cepat. Tapi kita juga patut merasa prihatin dengan runtuhnya benteng peradaban kesantunan yang merupakan ciri khas bangsa kita. Kaum yang selama ini sering mengaku kaum cendekia dan kaum terdidik, faktanya tidak sedikit yang sering mengeluarkan kata – kata yang jauh dari kesantunan dan peradaban. Bahkan bukan sekedar perkataan, karena faktanya perbuatan dan pemikiran primitif pun terus berkembang. Coba perhatikan anak – anak sekolah di sekitar kita, sungguh tidak sedikit yang sering melontarkan kata – kata kasar yang jauh dari nilai – nilai luhur peradaban.
Ternyata mengasah derajat intelektualitas tanpa kematangan spiritualitas bagaikan membangun istana megah di atas tanah labil yang siap lenyap seiring datangnya tsunami dan likuifaksi peradaban. Ini yang harusnya melahirkan kesadaran kolektif kita semua. Sekolah – sekolah tidak cukup mencekoki muridnya dengan nalar intelektualitas saja, karena nalar intelektualitas harus diimbangi oleh moral agama dan kedewasaan spritualitas.
Implementasi empirik yang bisa dilakukan segera adalah mendidik murid dan adik – adik kita dengan kesantunan dalam bertutur kata – kata. Rasanya tidak terlalu muluk, jika selain mengajar nalar, para guru dan orang tua juga mendidik kesantunan bertutur kata. Miris hati dan telinga ini jika kaum terpelajar saja bahasanya terlalu kasar. Dengarkanlah obrolan anak – anak di sekolah, di lingkungan bahkan di rumah, tidak jarang keluar kata – kata yang membuat orang tua terhenyak. Sedih dan sangat miris. Mari kita bangun peradaban anak – anak kita dengan moral agama dan tutur kata yang penuh kesantunan.***
Penulis: Dede Farhan Aulawi