KUNINGAN (MASS)- Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI (UU Nomor 6 Tahun 2014).
Desa memiliki kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri dan menentukan penyelenggara pemerintah, yaitu dengan cara pemilihan kepala desa (Pilkades).
Kabupaten Kuningan sebagai daerah otonom hari ahad ini, 28 November 2021 melaksanakan Pemilihan Kepala Desa (pilkades) serentak dengan jumlah desa pelaksana sebanyak 78 desa dari 29 kecamatan, dengan jumlah calon Kepala Desa sebanyak 219 calon.
Pemilihan Kepala Desa merupakan salah satu aspek penting dalam pemerintahan desa, karena dari proses inilah terpilih seorang Kepala Desa (Kades) yang sangat menentukan dalam pelaksanaan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah desa.
Sejarah Pemilihan Kepala Desa
Sistem penyelenggaraan Pilkades ternyata berubah-ubah sejalan dengan perkembangan peradaban manusia dan perkembangan demokrasi di negara kita.
Sisitem pemilihan Kepala Desa secara genealogis yaitu didasarkan pada ikatan darah, komunitas desa yang terbentuk dari sekelompok orang yang mempunyai ikatan keluarga (darah) yang bermukin secara menetap disuatu wilayah.
Istilah panepuluh adalah seorang yang mengepalai 10 kepala keluarga, penatus mengepalai 100 kepala keluarga, dan penyewu yaitu seorang yang mengepalai 1000 kepala keluarga.
Penentuan pemimpin berdasarkan musyawarah dan mufakat, dijiwai semangat gotong royong dan kekeluargaan. Syarat dan kriteria didasarkan pada usia, bijaksana, memiliki kecakapan dan pengalaman, memahami adat istiadat penduduk desa dan memiliki kesaktian, Syarat ini harus terpenuhi untuk bertanggung jawab atas keamanan & ketertiban.
Pada zaman feodal (kerajaan), desa umumnya terbentuk sebagai bagian dari proses politik kerajaan. Dimana kedudukan raja sebagai pemilik tanah seluruh kerajaan. Dalam mengelola tanah, raja memerlukan beberapa orang untuk mengelola wilayah kekuasaannya.
Ditunjuklah ‘Bekel’ sebagai kepala desa atau kades. Posisi seorang bekel dalam masyarakat desa memiliki otoritas untuk mengatur masyarakat termasuk menarik pajak, memonopoli kekuasaan, menguasai tanah dan menyediakan tenaga kerja untuk keperluan kerajaan di wilayahnya.
Jabatan bekel atau kepala desa merupakan penunjukkan langsung dari adipati. Seseorang yang menjabat sebagai kepala desa memang benar-benar orang pilihan yang punya kemampuan lebih.
Disamping memiliki kecakapan memimpin, punya ilmu kanuragan, secara politik juga harus dekat dengan adipati atau pimpinan diatasnya.
Pada masa kolonial Belanda, peran ‘bekel’ sebagai kades mengalami perubahan, khususnya yang semula bertugas dalam bidang ekonomi, bergeser kepada bidang politik dan administrasi pemerintahan desa.
Dengan keluarnya Undang-Undang Regering Reglement (RR) tahun 1854 mekanisme tata cara Pilkades dipilih secara langsung dan terbuka oleh seluruh penduduk desa yang telah dewasa dan dianggap cakap hukum.
Calon Kepala Desa harus mendapat persetujuan wedana dan asisten wedana (camat) serta kontrolir (pejabat pengawas pemerintah Belanda).
Selanjutnya masing-masing pemilih dan pendukung calon kepala desa membuat barisan adu panjang ditanah lapang. Kepala desa terpilih adalah berdasarkan panjang barisan pemilih atau pendukungnya.
Pemilihan dengan model terbuka ternyata banyak menimbulkan konflik horizontal pada waktu itu. munculah aturan pemilihan tertutup menggunakan biting (lidi) dan bumbung sebagai medianya.
Setiap pemilih mendapat satu biting yang harus dimasukkan ke dalam bumbung yang tersedia dalam bilik. Masing-masing bumbung telah ditandai dengan simbol hasil palawija seperti padi, jagung, kelapa dan lainnya.
Simbol-simbol tersebut merupakan representasi dari calon kades yang akan dipilih. Setelah selesai, biting-biting yang masuk dalam bumbung akan dihitung. Calon yang memperoleh biting paling banyak dialah pemenangnya.
Pada awal kemerdekaan, Pemerintah Indonesia berupaya mengeluarkan suatu kebijakan tentang pemerintahan daerah yang diharapkan dapat mengganti peraturan-peraturan kolonial.
Pada tahun 1948 pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948, namun karena menghadapi berbagai kesulitan, sehingga Pemerintahan Desa di Indonesia masih diatur oleh Undang-Undang produk pemerintah kolonial Belanda.
Pelaksanaan Pilkades pada masa tersebut yaitu dengan menggunakan pemilihan tertutup dalam bilik suara dengan menggunakan kartu suara.
Karena pada saat itu belum banyak orang yang bisa membaca (angka buta huruf masih tinggi), maka cakades tetap diidentidaskan dengan gambar hasil bumi atau palawija.
Hasil penghitungan suara, calon yang mendapat suara terbanyak itulah yang terpilih sebagai kepala desa.
Pada masa Orde baru, sistem pemerintahan desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979. Dalam Undang-undang tersebut disebutkan bahwa desa mempunyai hak untuk menyelenggarakan rumah tangga sendiri.
Kades dipilih secara langsung oleh warga masyarakat setempat,kemudian masa jabatan Kepala Desa dibatasi hanya delapan tahun.
Namun ternyata, pilkades masih dipengaruhi oleh faktor-faktor genealogis dan kultural yang merupakan kendala bagi kemapanan dan keyakinan idealisme sebagai syarat utama dalam proses demokrasi.
Demokrasi itu dihadapkan pada kesulitan sosiologis, ekonomi dan kultural, sehingga pilkades dapat dikatakan sebagai suatu kehidupan demokrasi yang masih semu.
Pemerintahan desa diperlakukan sebagai kepanjangan tangan dalam mewujudkan kepentingan-kepentingan kekuasaan.
Pada masa Reformasi terjadi perubahan yang cukup mendasar, yaitu mengubah skema sentralisasi menjadi desentralisasi yang tampak jelas dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.
Pengertian desa yaitu sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa.
Pengaturan pemerintahan desa berlandaskan keanekagaraman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.
Penyelenggara pemerintahan desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Pemerintahan desa yang otonom ditandai adanya pembagian yang jelas antara fungsi eksekutif dan legislatif.
Model pemilihan kepala desa mengalami perkembangan yaitu menggunakan kartu suara berisi foto dan nama cakades. Pemilih dalam menggunakan hak pilihnya harus mencoblos foto cakades yang dipilihnya.
Hasil penghitungan suara masih sama dengan cara sebelumnya yaitu calon yang memperoleh suara terbanyak itulah pemenangnya.
Lahirnya Undang Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 berikut peraturan dibawahnya mengatur Mekanisme tata cara Pemilihan Kepala Desa.
Muncullah mekanisme Pemilihan Kepala Desa serentak dan siapapun diperbolehkan untuk mencalonkan Kepala Desa walau tidak terdaftar sebagai penduduk desa setempat.
Keputusan ini kemudian menjadi hal yang paling mencolok dengan diperbolehkannya seluruh Warga Negara Indonesia untuk mencalonkan diri di seluruh desa di Indonesia, tanpa ada syarat harus terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran.
Pilkades dan Pembelajaran Politik
Pilkades merupakan bentuk pesta demokrasi yang begitu merakyat. Pemilu tingkat desa ini merupakan ajang kompetisi politik yang realistis dan dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran politik bagi masyarakat. Pada Pelaksanaan Pilkades, masyarakat yang akan menentukan siapa pemimpin desanya selama 6 tahun ke depan.
Pelaksanaan Pilkades berkaitan erat dengan berbagai latar belakang kehidupan, kualitas masyarakat, sosial budaya, genealogis, dan adat istiadatnya. sehingga Pilkades terasa lebih spesifik dari pada pemilu-pemilu di atasnya.
Kedekatan dan keterkaitan secara langsung antara pemilih dan para calon memunculkan suhu politik yang amat terasa.
Para bakal calon biasanya sudah banyak dikenal oleh setiap anggota masyarakat yang akan memilih.
Hal ini menjadikan sosialisasi program atau visi misi sering kali tidak dijadikan sebagai media kampanye dan pendidikan politik yang baik.
Masyarakat sering menentukan pilihan berdasarkan kedekatan pribadi (unsur nepotisme) masih membudaya dan begitu kental. Kekhawatiran yang menakutkan adalah unsur money politik yang sering dijadikan iming-iming dorongan dalam pemilihan.
Hal demikian akan menjadikan para calon harus mengeluarkan biaya yang begitu besar, terlebih lagi jika terjadi persaingan antar calon yang berlebihan. Kejadian demikian mengakibatkan usaha penghapusan KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme ) akan sulit diwujudkan.
Perwujudan Pilkades yang demokratis dan berkualitas, diperlukan pendidikan politik bermartabat. Kerelaan berkorban untuk kepentingan desa merupakan bagian dari kerelaan berkorban demi bangsa dan negara ini perlu kita wujudkan.
Pengorbanan tidak selamanya harus diukur dengan kontribusi uang. Jika budaya money politik di tingkat desa bisa dikikis, dan kualitas melek politik masyarakat meningkat, maka pemilihan yang berada diatasnya (pemilihan DPR/DPRD, Pilkada dan Pilpres) akan dapat diwujudkan melalui pemilihan yang berkualitas, jujur dan adil.
Pemilihan Kepala Desa harus mengutamakan kapasitas dan kapabilitas, figur yang memiliki intelektual, bermoral dan bermartabat, serta berjiwa sosial. Kepala Desa yang dibutuhkan oleh masyarakat sekarang yakni seseorang yang memiliki akseptabilitas dan ditunjang oleh intelektual serta moral yang baik.
Kepala desa tersebut juga harus memiliki kemampuan yang cukup untuk memimpin dan membimbing masyarakatnya, juga memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas administratif, serta berwawasan dan pandangan yang luas terhadap pembanguan desa dan perbaikan taraf hidup masyarakat.
Penulis:
SAHURI, M.Pd.
Guru SMP Negeri 2 Lebakwangi