KUNINGAN (MASS) – Sepanjang 5 dan 6 Juli 2025, suasana di Pondok Pesantren Husnul Khotimah Kuningan, tampak berbeda dari hari biasanya. Ribuan santri baru berdatangan, membawa serta cerita, harapan, dan air mata perpisahan yang menghiasi setiap sudut kompleks pesantren. Dari gerbang utama hingga pelosok asrama, aura haru, optimisme, dan semangat menuntut ilmu terasa begitu kental.
Sejak matahari belum sepenuhnya meninggi, area parkir pesantren sudah dipadati berbagai jenis mobil. Pelat nomor dari beragam daerah di Indonesia menjadi penanda seberapa luas jangkauan pendidikan yang ditawarkan Husnul Khotimah. Dari dalam mobil-mobil itu, satu per satu, keluarga turun dengan membawa koper dan tas. Ini bukan sekadar barang bawaan, melainkan seluruh perlengkapan hidup baru yang akan menemani para santri selama beberapa tahun ke depan.
Di antara hiruk pikuk itu, terlihat jelas pemandangan yang menyentuh hati: pelukan erat orang tua yang terasa lebih lama dari biasanya, usapan lembut di kepala anak, dan beberapa wajah yang tak bisa menyembunyikan genangan air mata. “Ini pertama kalinya dia jauh dari kami,” tutur salah satu wali santri asal Aceh, dengan suara bergetar saat mengantar putrinya ke asrama putri. “Tapi saya percaya, ini jalan terbaik untuk masa depannya,” ucapnya.
Wali santri lain, Ardiansyah percaya dengan Husnul Khotimah ingin putranya mendapatkan pengajaran adab dan akhlak. “Diantara alasan keluarga kami mengantar anak-anak ke Husnul khotimah adalah kami melihat bahwa Husnul Khotimah tidak semata mengajarkan ilmu pengetahuan tetapi juga adab dan akhlak. Semoga apa yang kami harapkan tercapai,” ungkapnya.
Para wali asrama dengan sigap menyambut setiap santri dan keluarganya. Dengan senyum ramah dan arahan yang jelas, mereka membantu mengarahkan para santri ke kamar masing-masing. Di dalam asrama, kecanggungan awal terlihat jelas di antara santri-santri yang baru bertemu. Namun, obrolan kecil tentang asal daerah atau jurusan yang diambil mulai memecah suasana, membuka gerbang pertemanan baru yang akan menemani mereka dalam suka dan duka di lingkungan pesantren.
Makna “TITIP”
Usai mengantar putra-putrinya dan memastikan mereka nyaman di asrama, para wali santri tidak langsung beranjak pulang. Mereka diarahkan untuk mengikuti serangkaian kegiatan yang dirancang khusus untuk mereka. Dimulai dengan sesi wawancara santai dengan beberapa staf pesantren, momen ini dimanfaatkan untuk berbagi informasi, menjawab pertanyaan, dan membangun jembatan komunikasi antara keluarga dan pihak Pesantren.
Puncak dari rangkaian kegiatan wali santri adalah pertemuan di Masjid Husnul Khotimah. Di sanalah, seluruh wali santri baru berkumpul, mendengarkan wejangan dari KH. Mu’tamad, Lc. M.Pd. Alhafidz, Ketua Umum Yayasan Husnul Khotimah.
Ulama terpandang ini memulainya dengan kisah Nabi Ibrahim AS dan keluarganya ketika beliau meninggalkan keluarganya di sebuah lembah yang tandus. Selanjutnya Kiai Mu’tamad menekankan satu pesan fundamental: pentingnya keikhlasan dalam menghantarkan putra-putri di pesantren. Ia kemudian menguraikan sebuah nasihat yang dirangkum dalam akronim “TITIP”, yang menurutnya merupakan kutipan dari nasihat KH Abdullah Sahal:
Tega: “Tega berarti Bapak/Ibu harus rela, harus berani melepaskan putra-putri sejenak dari dekapan hangat keluarga. Bukan berarti tidak sayang, justru ini bentuk sayang yang paling mendalam, demi kemandirian dan masa depan mereka.”
Ikhlas: “Ikhlas karena Allah SWT. Niatkan sepenuh hati bahwa pendidikan di pesantren ini adalah bagian dari ibadah kita, titipan amanah dari Allah yang harus kita jaga dan bina dengan sebaik-baiknya.”
Tawakkal: “Setelah semua ikhtiar dan keikhlasan kita curahkan, maka pasrahkan sepenuhnya kepada Allah. Yakinlah bahwa Allah akan menjaga dan membimbing putra-putri kita.”
Ikhtiar: “Meski sudah bertawakkal, ikhtiar tidak boleh berhenti. Terus doakan, terus dukung, dan terus pantau perkembangan mereka. Kita berkolaborasi dengan pesantren.”
Percaya: “Percayalah kepada kami, kepada pesantren ini. Kami di sini, insya Allah, adalah perpanjangan tangan Bapak/Ibu dalam mendidik putra-putri menjadi insan yang berilmu, berakhlak mulia, dan bermanfaat.”
Nasihat “TITIP” ini seperti siraman embun yang menyejukkan hati para wali santri. Mereka mengangguk-angguk, meresapi setiap kata yang disampaikan, seolah menemukan kekuatan baru untuk menjalani fase perpisahan ini.
Empat Puluh Hari Penyapihan
Setelah pertemuan berakhir, satu per satu mobil wali santri mulai meninggalkan kompleks pesantren. Suasana haru kembali terasa, namun kali ini bercampur dengan keyakinan yang lebih kuat. Mereka tahu, ini bukan perpisahan, melainkan awal dari proses pendidikan yang akan membentuk karakter dan ilmu putra-putri mereka.
Selama 40 hari ke depan, para santri baru akan menjalani masa “penyapihan”, sebuah periode adaptasi intensif dengan lingkungan, jadwal, dan aturan pesantren tanpa kunjungan dari keluarga. Ini adalah fase krusial untuk membangun kemandirian dan ikatan persaudaraan antar-santri. Setelah masa itu, barulah reuni penuh kerinduan akan terjadi.
Kedatangan ribuan santri baru di Husnul Khotimah tahun ini bukan sekadar rutinitas tahunan. Ini adalah gelombang baru harapan, energi, dan potensi yang akan mengisi dinding-dinding pesantren, siap dibentuk menjadi generasi penerus yang berilmu, berakhlak, dan mampu menghadapi tantangan zaman. Sebuah amanah besar yang telah “dititipkan” dengan penuh keikhlasan. (didin)