KUNINGAN (MASS) – Pondok pesantren, bisa dibilang sebagai sistem pendidikan yang ‘tua’ di Indonesia. Sebelum adanya sekolah-sekolah modern, pesantren sudah sejak lama mengayom masyarakat dan mendidik santri.
Hal itu jugalah yang tergambar dari sejarah yang diceritakan Kyai Ahmad Mustofa Agil S Kom I, pengasuh pondok Pusaka Ciwedus, Timbang Cigandamekar.
Pada kuninganmass.com, Kyai Ahmad menceritakan bagaimana berdirinya pondok pada abad ke-17, tepatnya di tahun 1715 oleh Tu Bagus Kalamudin Bin Sultan Mahasin, bin Sultan Haji bin Sultan Ageng Tirtayasa yang jika diteruskan, nasabnya akan sampai pada Syekh Syarif Hidayutllah.
“Beliau ini, Kodi di Kesultanan Banten pada zaman Sultan Mahasin,” jelasnya beberapa waktu lalu.
Sebelum datang ke Ciwedus, dicerutakan juga Tu Bagus Kalamudin sempat datang ke Cidahu dan berteman sengan Syekh Datul Kahfi.
“Saya telah menelusuri juga, dan alhamdulillah menemukan situs/maqbaroh yang kuru nya sama. Dan orang disana (Cidahu, red) kenal mama Tu Bagus Kalamudin. Tepatnya di panyamunan putat. Lalu beliau mungkin dapet ilham, untuk datang ke tempat yamg sekarang bernama Ciwedus (tapi dulu belum tau namanya apa), ” jelasnya panjang lebar.
Soal penamaan Ciwedus sendiri cukup unik. Konon, nama Ciwedus diambil dari istikah tidak tidak keendus. Hal itu merujuk, karena Ciwedus dipakai sebagai tempat bersembunyinya Mama Tu Bagus Kalamudin, karena ketidaksetujuannya dan pemberontakannya pada Belanda.
Adapun pondok pesantren Pusaka Ciwedus ini, sampai saat ini masih berdiri tegak.
Dulu, adakalanya pesantren ini memiliki reputasi yang sangat tersohor, terutama di generasi keempat setelah Tu Bagus Kalamudin, Kyai Syueb dan Mama Adro’i, yakni pada masa K H Ahmad Shobari. (eki)