Connect with us

Hi, what are you looking for?

Netizen Mass

Perbandingan Pemikiran Cak Nur dan Syekh Imran

KUNINGAN (MASS) – Ditengah tantangan global yang kian kompleks, dunia Islam membutuhkan pendekatan pemikiran yang mampu menjawab problematika kontemporer secara relevan dan komprehensif.

Dalam konteks ini, dua pemikir besar, Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Syekh Imran Hosein, menonjol dengan pendekatan yang unik dalam menafsirkan ajaran Islam.

Cak Nur, yang dikenal sebagai pembaharu pemikiran Islam di Indonesia, menekankan pendekatan kontekstual dalam merespons tantangan dunia modern, seperti kolonialisme dan pembangunan sosial.

Sementara itu, Syekh Imran dikenal dengan perspektif eskatologisnya dalam menghadapi fenomena akhir zaman, berfokus pada interpretasi Al-Qur’an dan Hadits dalam menjelaskan dinamika politik dan ekonomi global, terutama di Timur Tengah.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Kajian ini menjadi penting karena dapat memberikan wawasan tentang bagaimana pendekatan kontekstual Cak Nur, yang lebih berorientasi pada reformasi sosial, dibandingkan dengan Eskatologi Syekh Imran, dapat saling melengkapi atau menyoroti kebutuhan tertentu dalam memahami isu-isu kontemporer seperti ketidakadilan global, hegemoni politik, dan pergeseran kekuatan ekonomi dunia.

Mengulas kedua pemikiran ini memungkinkan kita melihat bagaimana Islam dapat menghadirkan pandangan dan solusi atas krisis-krisis modern. Pemahaman mendalam tentang keduanya membuka ruang untuk refleksi kritis dalam upaya mengintegrasikan kepekaan terhadap tradisi Islam dengan kebutuhan akan respons yang relevan terhadap dinamika dunia yang terus berubah.

Esensi dan Titik Temu Pemikiran Cak Nur dan Syekh Imran

Cak Nur dan Syekh Imran keduanya hidup pada masa pasca-kolonialisme, di mana tantangan besar yang dihadapi umat Islam adalah bagaimana merespons kemajuan modernitas, kolonialisme, dan sekularisasi yang telah menggerus nilai-nilai Islam.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Dalam konteks Indonesia, Cak Nur lebih banyak membahas bagaimana Islam bisa berinteraksi dengan kebudayaan dan peradaban modern tanpa mengorbankan nilai-nilai inti Islam. Ia melihat bahwa umat Islam harus mampu melakukan reformasi pemikiran agar bisa menghadapi tantangan dunia modern yang semakin pluralistik dan sekuler.

Fokus Cak Nur adalah mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam modernitas dengan tetap mempertahankan relevansi ajaran Islam dalam kehidupan kontemporer.

Dalam karya-karyanya, seperti “Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah” dan “Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan”, ia menunjukkan bahwa tantangan utama pada masa hidupnya adalah menemukan cara Islam tetap relevan di dunia modern tanpa terjebak dalam konservatisme atau sekularisme.

Syekh Imran di sisi lain, lebih fokus pada Eskatologi Islam, terutama dalam memahami tanda-tanda akhir zaman yang sangat dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa global kontemporer seperti dominasi Barat, Zionisme, dan fenomena geopolitik dan geoekonomi yang mempengaruhi dunia Islam.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Tantangan yang dihadapi dunia Islam adalah memahami dan menginterpretasikan Islam dalam konteks realitas politik dan sosial zaman ini, termasuk ketegangan antara dunia barat dan Islam, serta peran Dajjal dan sistem politik dan ekonomi global sebagai representasi dari fitnah besar di akhir zaman.

Syekh Imran menyoroti bahwa umat Islam perlu kembali pada ajaran Islam yang asli, dan tidak terjebak dalam pemahaman materialisme atau modernitas barat yang ia kritik keras.

Dalam banyak tulisan dan ceramahnya, ia menekankan pentingnya mempersiapkan diri menghadapi fitnah akhir zaman dan menyarankan umat Islam untuk menjaga kesucian ajaran Islam dari pengaruh luar sebagai ancaman besar bagi keimanan.

Meskipun kedua pemikir ini berbeda dalam konteks tantangan zaman, namun ada sejumlah titik temu dalam esensi pemikiran mereka:

Advertisement. Scroll to continue reading.

Pertama, ketegasan terhadap perlunya kembali pada Ajaran Islam yang asli. Baik Cak Nur maupun Syekh Imran sama-sama menekankan pentingnya mempertahankan esensi ajaran Islam dan tidak terjebak dalam pemahaman yang terdistorsi oleh pengaruh luar.

Cak Nur melalui pendekatan kontekstualisasi menekankan bahwa ajaran Islam harus tetap relevan dan mampu menjawab tantangan zaman. Sedangkan Syekh Imran menekankan pentingnya memahami Islam dalam perspektif eskatologi untuk menjaga kesucian agama dari pengaruh materialisme dan modernitas yang merupakan bentuk kemerosotan moral dan spiritual umat manusia.

Kedua, kritik terhadap sekularisme dan materialisme. Keduanya memiliki kritik terhadap sekularisme dan materialisme barat, meskipun dari perspektif yang berbeda. Cak Nur berfokus pada bagaimana umat Islam harus menghindari sekularisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta menciptakan jembatan antara Agama dan modernitas,l. Sedangkan Syekh Imran melihat sekularisme sebagai bagian dari fitnah besar yang datang dari sistem politik dan ekonomi global yang dominan.

Keduanya setuju bahwa modernitas dan sekularisme dapat mengancam spiritualitas umat Islam.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Ketiga, peran umat Islam dalam menyikapi dunia kontemporer. Kedua pemikir ini sama-sama menekankan pentingnya kesadaran kolektif umat Islam untuk menyikapi dunia yang semakin kompleks.

Cak Nur menginginkan agar umat Islam memiliki kemampuan intelektual yang cukup untuk menjawab tantangan dunia modern, sedangkan Syekh Imran menginginkan agar umat Islam mempersiapkan diri dengan pemahaman yang mendalam tentang Eskatologi Islam, agar tidak terjebak dalam fitnah dunia akhir zaman yang semakin keras.

Dapat disimpulkan, meskipun fokus pemikiran Cak Nur lebih kepada modernitas dan integrasi Islam dalam dunia kontemporer, sementara Syekh Imran lebih menekankan pada Eskatologi Islam dan kesiapan menghadapi fitnah akhir zaman, namun keduanya memiliki kesamaan dalam mengkritik pengaruh barat dan menekankan pentingnya umat Islam kembali pada ajaran Islam yang asli untuk menghadapi tantangan zaman.

Mereka melihat bahwa umat Islam perlu melakukan penyesuaian dan persiapan untuk menghadapi dinamika dunia, meskipun dengan pendekatan yang berbeda.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Dua paragraf berikut mewakili gambaran profil keilmuan keduanya:

Dalam disertasinya yang menyoroti pandangan Ibnu Taimiyah tentang Kalam dan Filsafat (1984), Cak Nur menunjukkan bahwa di balik kritiknya yang tajam terhadap ilmu kalam dan filsafat, namun ada logika baru yang dibangun oleh Ibnu Taimiyah. Di akhir disertasinya, Cak Nur memberi catatan kritis terhadap pemikiran Ibnu Taimiyah, tetapi tetap memberikan apresiasi besar terhadap logika baru yang dibangun Ibnu Taimiyah. Dalam pandangan Cak Nur, logika baru itu bisa membawa masyarakat muslim menghadapi tantangan modernitas dan globalisasi.
(http://alif.id/pWPZ).

Imran Nazar Hosein (born 1942) is a Trinidadian and Tobagonian Islamic preacher, author and philosopher, who specializes in Islamic eschatology, world politics, economics, and modern socio-economic/political issues. He is the author of Jerusalem in the Qur’an and other books.
https://en.wikipedia.org/wiki/Imran_N._Hosein

Perbedaan

Advertisement. Scroll to continue reading.

Selain terdapat persamaan dan titik temu antara pemikiran Cak Nur dan Syekh Imran, juga terdapat sejumlah perbedaan:

  1. Perbedaan Fokus pada Tantangan Zaman

Meskipun tahun kelahiran Cak Nur (1939-2005) dan Syekh Imran (1942- ) hanya berselisih 3 tahun, namun sejak wafatnya Cak Nur tahun 2005, banyak peristiwa penting yang mempengaruhi konstelasi global, terutama dalam bidang politik dan ekonomi, yang tidak sempat disaksikan oleh Cak Nur.

Sementara di sisi lain, sejak terbitnya buku Syekh Imran Jerusalem dalam Al-Qur’an tahun 2001 (versi internet), kematangan intelektual dan produktivitas karya Syekh Imran terus menanjak sampai sekarang.

Kedekatan tahun kelahiran antara Cak Nur dan Syekh Imran memang menandai latar belakang era yang sama, tetapi perbedaan dalam waktu kematian dan kelanjutan produktivitas Syekh Imran hingga sekarang, mengakibatkan perbedaan mendasar dalam arah pemikiran mereka.

Cak Nur berfokus pada isu-isu modernisme Islam dalam konteks pascakolonial, dengan perhatian pada bagaimana Islam dapat beradaptasi dengan modernitas sambil mempertahankan nilai-nilai inti.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Karena ia meninggal sebelum era pasca tragedi WTC 9/11yang berdampak pada perkembangan konflik global, pemikirannya tidak secara mendalam membahas dampak langsung dari berbagai bentuk globalisasi politik-ekonomi dan gejolak Timur Tengah saat ini, termasuk ketegangan terkait Palestina yang semakin meningkat eskalasinya belakangan ini.

Sebaliknya, Syekh Imran fokus pada ketidakstabilan global terus berkembang, dan perspektif eskatologinya, khususnya dengan buku Jerusalem in the Qur’an, menunjukkan respons langsung terhadap geopolitik kontemporer.

Syekh Imran melihat konflik global sebagai manifestasi dari peristiwa eskatologis, merupakan suatu pendekatan yang memungkinkan analisis langsung terhadap kekuatan-kekuatan yang mendominasi, seperti Zionisme dan penindadan global.

Dalam hal ini, produktivitasnya pasca-2005 mencerminkan respons terhadap perubahan besar yang tidak disaksikan oleh Cak Nur.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Setelah buku Jerusalem in the Qur’an, Syekh Imran terus mengeksplorasi konsep-konsep Eskatologi Islam dengan kritis terhadap kekuatan politik-ekonomi barat. Hal ini memperlihatkan evolusi pemikiran yang secara langsung berkaitan dengan konteks zaman, dimana setiap perkembangan geopolitik dipandang sebagai tahapan dalam skenario eskatologis.

Tanpa menyaksikan era pasca-9/11, fokus pemikiran Cak Nur tetap pada pembaharuan Islam melalui konteks sosial-kultural dan teologi, tanpa eksplorasi yang mendalam tentang ketidakadilan struktural global yang menjadi tema utama pemikiran Syekh Imran.

Dengan demikian, kedua pemikir ini mencerminkan kebutuhan zamannya masing-masing: Cak Nur terhadap dialog dan pembaharuan dalam Islam, dan Syekh Imran dengan pendekatan eskatologis yang lebih tajam dan langsung sebagai respon Islam atas krisis global yang muncul belakangan.

  1. Perbedaan Pendekatan

Perbedaan pendekatan antara Cak Nur dan Syekh Imran berperan besar dalam pandangan mereka tentang fenomena akhir zaman.

Cak Nur dikenal dengan konteksualisme atau pendekatan rasional-tekstualis, yang bertujuan untuk memahami ajaran Islam dalam konteks sosial, sejarah, dan budaya yang lebih luas. Ia cenderung menekankan aspek etis dan universal dari Islam untuk membangun pemikiran yang relevan dengan modernitas, sehingga kurang mengutamakan aspek eskatologis atau tanda-tanda akhir zaman secara literal.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Sebaliknya, Syekh Imran lebih fokus atau bisa disebut menggunakan pendekatan tekstualiame kontekstual dalam mengkaji Eskatologi Islam. Ia melihat fenomena akhir zaman sebagai realitas yang relevan dengan kondisi global saat ini, dan mengaitkan peristiwa politik, ekonomi dan sosial dengan nubuat dan tanda-tanda akhir zaman dalam Al-Qur’an dan Hadits.

Syekh Imran melihat bahwa simbol-simbol akhir zaman punya relevansi langsung dengan kondisi dunia kontemporer, termasuk konflik global dan dominasi kekuatan besar.

Sementara itu Cak Nur, kemungkinan besar menganggap bahwa penekanan pada eskatologi dapat mengarahkan umat pada fatalisme, alih-alih membangun masyarakat yang lebih baik. Maka, fokusnya lebih pada aplikasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.

  1. Perbedaan Pandangan Sejarah

Cak Nur dan Syekh Imran memiliki pandangan sejarah yang berbeda, meskipun keduanya mengakui pentingnya konteks dalam memahami sejarah.

Syekh Imran cenderung memandang sejarah dalam perspektif yang lebih teleologis dan eskatologis. Sejarah sebagai bagian dari Rencana Tuhan yang berujung pada peristiwa-peristiwa akhir zaman.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Dalam pandangan ini, kejadian-kejadian di dunia memiliki arah dan tujuan yang jelas yang terhubung dengan Eskatologi Islam. Syekh Imran menggunakan sejarah sebagai alat untuk memprediksi dan memahami tanda-tanda akhir zaman berdasarkan teks-teks Agama (Al-Qur’an dan Hadits), dengan penekanan pada konsep-konsep seperti kemunculan Dajjal, Imam Mahdi, dan perjuangan melawan kekuatan-kekuatan dunia yang dianggap sebagai simbol fitnah misalnya, Zionisme dan imperialisme baru.

Sedangkan pandangan Cak Nur lebih bersifat historis-sintesis, yang menggabungkan pemahaman tentang sejarah dengan perspektif rasional dan kontemporer.

Cak Nur tidak terlalu menekankan eskatologi atau prediksi akhir zaman, tetapi lebih berfokus pada upaya untuk menghidupkan kembali pemikiran Islam yang kritis dan terbuka, serta relevansi ajaran Islam dengan tantangan zaman.

Ia lebih melihat sejarah sebagai proses dialektik yang harus dipahami dalam konteks perubahan sosial dan politik, tanpa mengabaikan peran Tuhan, namun lebih menekankan pada kontribusi manusia dalam membentuk sejarah.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Namun demikian, keduanya memandang sejarah melalui lensa sintesis, tetapi dengan penekanan yang berbeda: Syekh Imran lebih pada teleologi eskatologis, sementara Cak Nur lebih pada kontekstualisasi sejarah dalam kerangka perubahan sosial dan intelektual.

  1. Perbedaan Trajektori Intelektual

Trajektori intelektual merujuk pada perjalanan atau perkembangan pemikiran dan karya intelektual seseorang seiring waktu. Ini mencakup perubahan, evolusi, atau transformasi dalam cara seseorang berpikir, menganalisis, dan menginterpretasikan berbagai ide dan masalah.

Trajektori bisa melibatkan pergeseran perspektif, pengaruh pengalaman hidup, serta respon terhadap kondisi sosial, politik, atau budaya tertentu. Dalam frasa Bahasa Indonesia, ‘trajektori intelektual’ mungkin sinonim dengan ‘pergumulan intelektual’.

Cak Nur dan Syekh Imran dalam beberapa hal memiliki kemiripan dalam pergumulan intelektualnya, khususnya pada fase krusial di ujung penyelesaian program doktornya. Cak Nur di Chicago University AS dan Syekh Imran di Swiss, mungkin menggambarkan bagaimana fase ini mempengaruhi perkembangan pemikiran mereka dengan cara yang berbeda.

Perjalanan Doktoral Cak Nur dengan fokus pada disertasi,Ibn Taymiah on Kalam and Philosophy, mencerminkan keterlibatannya yang mendalam dalam pemikiran Islam, khususnya dalam mendamaikan Filsafat dan Teologi Islam tradisional dengan tantangan modernitas.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Karier akademiknya di AS ini memengaruhi pemikiran Cak Nur, yang kemudian dikenal dengan pendekatannya yang kontekstual terhadap pemikiran Islam. Pemikiran ini membantu Cak Nur untuk merespons persoalan-persoalan dunia Islam pasca-kolonial.

Sementara itu, Syekh Imran menempuh studi doktoralnya di Swiss, dengan fokus pada disertasi yang berkaitan dengan Eskatologi Islam. Namun, ia tidak menyelesaikan program doktornya karena perbedaan pandangan mendalam dengan promotornya tentang tema dan metodologinya.

Akhirnya ia memilih untuk tetap memperdalam subjek disertasinya, yang kemudian menjadi buku berjudul Jerusalem in the Qur’an (2001). Buku itu sampai sekarang masih best-seller dan menjadi rujukan utama dalam Eskatologi Islam. Buku ini membahas pentingnya Yerusalem dalam pemikiran eskatologis Islam, serta kaitannya dengan konteks politik global, terutama Zionisme.

Keputusan untuk menulis buku ini tanpa menyelesaikan studi doktoralnya, yang ia akui sendiri merupakan salah satu keputusan terbaik dalam karir keilmuannya, menunjukkan bahwa ia lebih memilih untuk mengembangkan pemikiran Eskatologi Islam di luar batasan akademis konvensional.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Sempat belajar satu tahun di Universitas Al-Azhar tahun 1963, kemudian menyelesaikan Studi Islam di Universitas Karachi, lalu menyelesaikan Magister Filsafat di Universitas West Indies. Kemudian menempuh kajian Hubungan Internasional di Graduate Institute of Technology Switzerland selama lima tahun.

Pengalaman Cak Nur di Amerika Serikat dan keterlibatannya dengan Filsafat Islam membentuk pendekatan kontekstualis dalam pemikiran Islam. Meskipun disertasinya berfokus pada tokoh klasik, hal ini menunjukkan upaya Cak Nur untuk membawa wacana Islam berdialog dengan tantangan filosofis dan teologis modern. Pendekatan ini menjadi dasar bagi karya-karya Cak Nur selanjutnya yang mengusung gagasan pembaruan pemikiran Islam dalam konteks modern.

Sementara itu, pilihan Syekh Imran untuk mengembangkan pemikiran eskatoligisnya di luar jalur akademik konvensional, telah membawanya untuk lebih mendalami Eskatologi Islam menjadi lebih independen.

Keputusan untuk menulis Jerusalem in the Qur’an mencerminkan trajektori intelektualnya yang lebih mengutamakan pembahasan Eskatologi Islam terkait dengan peristiwa-peristiwa dunia nyata, khususnya dengan Zionisme dan konflik geopolitik di Timur Tengah.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Kesimpulan dan Implikasi

Cak Nur dan Syekh Imran memiliki kesamaan visi dalam menghadirkan Islam sebagai respons terhadap tantangan dunia, namun pendekatan mereka berbeda. Cak Nur dikenal sebagai seorang kontekstualis yang memfokuskan pada revitalisasi nilai-nilai Islam dalam rangka menjawab krisis modernitas, sekularisme, dan tantangan pasca-kolonialisme.

Di sisi lain, Syekh Imran lebih fokus pada pendekatan literal-kontekstual dalam kajian Eskatologi Islam, yang menitikberatkan analisisnya pada fenomena-fenomena akhir zaman dikaitkan dengan ketidakadilan politik dan ekonomi global.

Pendekatan Cak Nur, yang lebih kontekstual dan berkaitan dengan reformasi sosial dan modernisasi Islam, memberikan pondasi bagi masyarakat Muslim untuk beradaptasi dengan tantangan modernitas. Sebaliknya, Syekh Imran memberikan perspektif eskatologis yang mendorong umat Islam untuk memahami dinamika politik global dalam konteks akhir zaman, sebuah tema yang sangat relevan mengingat situasi global saat ini.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Kedua tokoh ini mewakili dua spektrum pendekatan yang saling melengkapi. Cak Nur memperkaya diskursus intelektual Islam dengan konsep-konsep modernisasi, sementara Syekh Imran memperluas pemahaman eskatologis yang mengundang umat Islam untuk melihat pola-pola besar dalam sejarah dan geopolik.

Konteks tantangan yang menjadi fokus perhatian keduanya, yaitu post-kolonialisme bagi Cak Nur dan ketidakadilan global bagi Syekh Imran, menciptakan kesinambungan yang memperlihatkan evolusi kebutuhan umat Islam dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini juga menegaskan bahwa Islam memiliki fleksibilitas untuk memberikan solusi relevan sesuai perkembangan zaman.

Artikel ini berusaha untuk menunjukkan urgensi dalam menggabungkan kedua pendekatan ini sebagai upaya memperkuat pemikiran Islam kontemporer. Pada era Cak Nur, urgensi utama adalah pembaruan pemikiran Islam yang menjawab tantangan sekularisme dan modernitas. Sedangkan Syekh Imran menghadirkan kebutuhan untuk memahami Islam dalam lanskap global yang dipenuhi ketidakadilan dan konflik.

Jika kedua pendekatan ini disintesiskan, dunia Islam akan lebih mampu menghadapi tantangan kontemporer dengan landasan intelektual yang kokoh dan kompregensif. Ini membuktikan bahwa Islam tidak hanya mampu menjawab tantangan kontemporer dengan pendekatan normatif dan kontekstual, tetapi juga dengan kerangka eskatologis yang menyadarkan umat akan urgensi nilai-nilai keadilan global.

Advertisement. Scroll to continue reading.

Rujukan:

Semua karya Cak Nur dapat diperoleh di:
https://www.paramadina-pusad.or.id/ensiklopedia-nurcholish-madjid/

Sedangkan buku-buku Syekh Imran dapat diunduh gratis di: https://imranhosein.org/o/e-books/

والله اعلم

Advertisement. Scroll to continue reading.

Maman Supriatman (Akademisi/Penulis Buku Eskatologi Islam)

MS 08/11/24

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Advertisement

Berita Terbaru

Advertisement
Advertisement

You May Also Like

Netizen Mass

KUNINGAN (MASS) – Tragedi 11 September 2001, atau yang lebih dikenal sebagai 9/11, adalah serangan terhadap World Trade Center (WTC) di New York yang...

Netizen Mass

KUNINGAN (MASS) – Kajian tentang eskatologi atau ilmu akhir zaman merupakan tema penting dalam banyak tradisi keagamaan, khususnya Islam, Kristen, dan Yahudi. Setiap agama...

Netizen Mass

KUNINGAN (MASS) – Mark Zuckerberg dan banyak elit global lainnya kini telah memiliki bunker nuklir di sebuah pulau di Hawai dan Selandia Baru. Mereka...

Netizen Mass

KUNINGAN (MASS)- Seorang cendikiawan Muslim, Nurcholish Madjid, atau Cak Nur sebagai sapaan akrabnya. Beliau merupakan tokoh pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia yang...

Advertisement
Exit mobile version