KUNINGAN (MASS) – Wanita dijajah pria sejak dulu, demikian lirik dalam sebuah lagu. Bisa jadi, itu adalah gambaran kenyataan yang dirasakan oleh seniman saat membuat lirik tersebut. Sudah 76 tahun Indonesia merdeka, rupanya tidak menjamin masalah yang menimpa perempuan terhenti. Bahkan, masih banyak permasalahan yang menjadikan perempuan sebagai korban, mulai dari kekerasan rumah tangga, kekerasan seksual, hingga eksploitasi dirinya untuk komoditas ekonomi.
Dalam rangka mengatasi hal tersebut, ditempuh berbagai upaya, diantaranya adalah meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Terkait ini, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mendorong DPD Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia (KPPI) Provinsi Jabar terus memperkuat kapasitas perempuan di DPRD. Tujuannya untuk melahirkan kebijakan responsif yang membela kepentingan perempuan dan anak. (inews.Jabar.id, 27/4/2021)
Keterwakilan perempuan minimal 30% di parlemen merupakan amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Dalam terminologi saat ini, politik dimaknai sebagai seni untuk meraih kekuasaan. Beraktifitas di dalamnya berarti terkait menduduki jabatan tertentu dalam kekuasaan. Bisa dikatakan, segala hal diupayakan untuk meraih kedudukan/kekuasaan.
Upaya peningkatan jumlah partisipasi perempuan dalam parlemen maupun kepala daerah dinilai sebagai solusi penyelesaian berbagai masalah bangsa yang dihadapi saat ini, terutama yang menimpa perempuan. Namun, benarkah demikian?
Realitas menunjukkan, ditengah masyarakat terdapat banyak irisan. Ada kelompok perempuan, kelompok laki-laki, kelompok pedagang, pendidik, petani, dan lain-lain. Jika masing-masing irisan itu harus terwakili agar masing-masing permasalahan mereka terselesaikan, tentu sangat tidak mungkin. Sehingga bisa dikatakan, peningkatan keterwakilan perempuan sebagai solusi permasalahan bangsa termasuk perempuan hanyalah berdasarkan asumsi belaka.
Sehingga wajar, berbagai problema yang dihadapi bangsa termasuk perempuan hingga saat ini tidak kunjung selesai. Hal ini disebabkan sistem demokrasi yang menjadi akar permasalahannya. Demokrasi berasakan ide sekulerisme, yang memberikan wewenang pembuat hukum kepada manusia. Padahal akal manusia lemah dan terbatas. Maka aturan yang dihasilkan akan mengandung kelemahan dan keterbatasan pula. Dapat dipastikan, aturan buatan manusia tidak akan dapat memberi kebaikan dan keadilan kepada masyarakat, termasuk kepada perempuan.
Adapun dalam Islam, pembuat hukum itu hanya wewenang Pencipta manusia yaitu Allah SWT. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya pembuat hukum itu hanya milik Allah” (Q.S.Yusuf :67)
Allah sebagai Pencipta manusia merupakan Zat Yang Maha Tahu apa-apa yang terbaik bagi manusia. Aturan dariNya menjamin tidak akan menimbulkan diskriminasi bagi seseorang atau segolongan orang. Sebagaimana firmanNya:
“Dan hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allah bagi orang-orang yang meyakini” (Q.S. Almaidah ayat 50)
Dalam Islam, politik berarti mengurus urusan masyarakat dalam dan luar negeri dengan sudut pandang syariat Islam. Aktifitas politik dilakukan oleh dua pihak, yaitu penguasa dan rakyat.
Aktifitas politik yang dilakukan penguasa berupa pengurusan urusan rakyatnya berdasarkan syariat Islam serta mengemban dakwah ke luar negeri. Rasulullah saw bersabda:
“Tidaklah seorang penguasa diserahi urusan kaum muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan tersebut, kecuali Allah mengharamkan surga untuknya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Aktifitas politik yang dilakukan rakyat dengan melaksanakan kontrol, amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa. Dengan kata lain adalah dengan melakukan aktifitas dakwah, agar kehidupan bisa berjalan sesuai dengan syariat Allah SWT. Berbagai dalil syariat mendorong hal ini, diantaranya hadits Nabi SAW:
“Agama itu adalah nasihat. Para sahabat bertanya: Untuk siapa? Nabi SAW bersabda: Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum Muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad)
Dengan demikian, aktifitas politik merupakan kewajiban seorang muslim, termasuk perempuan, baik dia sebagai penguasa maupun sebagai rakyat biasa, dengan aktifitas yang berbeda dengan gambaran aktifitas politik dalam sistem sekuler.
Kondisi negeri ini tengah ditimpa berbagai permasalahan. Mulai dari kemerosotan akhlak, penjualan aset-aset masyarakat kepada asing, korupsi merajalela, hingga banyak pemimpin yang tidak amanah. Hal ini adalah akibat penerapan sistem sekulerisme kapitalisme. Oleh karena itu, aktifitas politik yang sahih mendesak untuk dilakukan, yaitu fokus melaksanakan dakwah kepada syariat Islam, agar berbagai permasalahan negeri ini segera terselesaikan.
Disinilah kiprah politik perempuan sangat dibutuhkan. Mencetak generasi yang cerdas lagi berakhlak mulia, dan menyiapkan calon pemimpin yang adil dan amanah, adalah tugas besar lagi berat yang harus ditunaikan. Dan tugas ini harus dimulai dari rumah. Inilah peran strategis politik perempuan selain memberikan nasihat/dakwah ditengah masyarakat.
Disisi lain, Islam melarang kaum perempuan untuk menduduki jabatan kekuasaan. Disinilah keadilan Islam, sehingga perempuan bisa fokus melakukan tugas yang ada dipundaknya.
Pembagian tugas antara perempuan dan laki-laki, bukan berarti mengangkat sebagian dan merendahkan sebagiannya. Karena, yang menentukan kemuliaan keduanya terletak apada ketakwaannya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Alhujurat:13)
Perbedaan sebagian peran politik perempuan dan laki-laki, bukan berarti satu pihak bisa menzalimi pihak yang lainnya, melainkan agar keduanya bisa saling tolong menolong, sebagaimana firmanNya:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S. Attaubah: 71)
Walhasil, peran politik perempuan sejatinya adalah dengan mengoptimalkan fungsi sebagai ummun wa robbatul bait (ibu dan manajer rumah tangga) dan dakwah ditengah masyarakat, agar kehidupan dapat terwujud berdasarkan syariat Islam, berupa sistem pemerintahan yang bertakwa, amanah, serta bertanggung jawab mengurus urusan masyarakat, tanpa harus berebut kedudukan dalam kekuasaan.
Wallahu a’lam
Penulis: Siti Susanti, S.Pd.
Staff Pengajar Lembaga Assyifa Bandung