KUNINGAN (MASS) – Disadari atau tidak, kasus kekerasan pada anak (Child Abuse) merupakan persoalan yang cukup memprihatinkan di Indonesia.
Apalagi jika hal tersebut terjadi di dalam keluarga. Ironisnya, tak jarang kekerasan tersebut justru dilakukan oleh orang tua mereka sendiri dalam rangka proses mendidik dan mendisiplinkan anak agar menjadi anak yang patuh terhadap orang tuanya.
Terkadang ketidakstabilan emosi dan pengalaman masa lalu orang tua ikut serta dalam proses membesarkan anak. Setiap orang tua memang memiliki cara tersendiri untuk mendidik anaknya.
Namun, jika sudah mulai menjewer, menendang, memukul, mencubit sehingga muncul ruam pada tubuh anak. Apakah hal tersebut masih bisa di anggap wajar?
Hasil survei KPAI tahun 2020 memperlihatkan persentase anak yang mengalami kekerasan berupa ditampar sebanyak 3%, dikurung 4%, ditendang 4%, didorong 6%, dijewer 9%, dipukul 10 %, dan dicubit 23%, dimarahi 56%.
Kemudian, dibandingkan dengan anak lain 34%, diancam 4%, dipermalukan 4%, di bully 3%, dan diusir 2%.
Selain itu, Survei terbaru dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) sejak januari hingga juni 2021 telah menerima 3.122 pengaduan kekerasan pada anak.
Anak-anak yang mengalami kekerasan, baik berupa fisik maupun verbal selama fase pertumbuhan dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, diantaranya anak menjadi tidak percaya diri karena apapun yang dilakukannya selalu salah di mata orang lain
Lalu, anak mudah merasa terancam dan takut karena sewaktu kecil kebutuhan akan rasa aman tidak terpenuhi, anak terlalu ragu-ragu dalam mengambil keputusan atau bertindak.
Selanjutnya muncul perasaan tidak berguna, bersikap murung, bersikap agresif, kecenderungan mengalami stress, depresi, dan tertekan.
Selain itu, bila kekerasan dilakukan oleh orang tua bisa mempengaruhi kedekatan antara orang tua dan anak, anak menjadi pribadi yang tertutup dengan orang tuanya, dan mudah berbohong karena merupakan salah satu sistem pertahanan diri mereka.
Jika kekerasan pada anak terjadi berulang-ulang dan tak segera dihentikan maka dapat menimbulkan pengalaman traumatis dan masuk ke alam bawah sadar bahkan hingga memasuki usia dewasa.
Dalam hal ini seorang psikolog forensik memiliki peranan penting dalam penanganan kasus-kasus kekerasan pada anak dengan cara mengkaji aspek-aspek mental pelaku, korban, dan saksi.
Terhadap pelaku kekerasan, seorang psikolog forensik dapat membantu penyidik atau kepolisian dalam membuat criminal profiling dan melakukan asesmen psikologi untuk memberikan gambaran tentang kondisi mental pelaku dan motif pelaku melakukan tindak kekerasan.
Terhadap anak korban kekerasan, seorang psikolog forensik bisa membantu memberikan layanan konseling pada anak terkait perasaan dan trauma-trauma yang dialaminya setelah mengalami kekerasan.
Lalu, melakukan intervensi psikologi, dan melakukan pendampingan dengan memberikan rasa aman.
Berdasarkan UU RI No.8 tahun 1981, psikolog forensik juga dapat masuk dalam peradilan sebagai saksi ahli.***
Penulis :
Yuniar Noor Fitriyanti –
Mahasiswa Psikologi UPI
SUMBER REFERENSI
Fulero, S.M. & Wrightsman, L. S. (2009). Forensic Psychology. USA: Wadsworth, Cengage Learning.