KUNINGAN (MASS) – Pesantren selalu menjadi tujuan bagi setiap orang tua yang akan menyekolahkan putera/puteri dengan tujuan agar memahami agama Islam. Tak sedikit dari mereka harus menempuh pendidikan kurang lebih 6 tahun lamanya. Akhirnya mereka pun identik dengan sebutan santri.
Setiap tahun, pesantren selalu merayakan hari santri, sebagai pengingat perjuangan seorang santri dalam melawan penjajahan di Indonesia. Biasanya hari santri dirayakan setiap tanggal 22 Oktober. Dan tahun ini bertemakan, ”Berdaya Menjaga Martabat Kemanusiaan”. Maksudnya adalah peran aktif santri dalam sejarah perjalanan Indonesia. Ketika Indonesia memanggil, santri tidak pernah mengatakan tidak, selalu siaga mendarmabaktikan hidupnya untuk bangsa dan negara, walaupun dari berbagai latarbelakang (Kemenag.go.id).
Jika ditelusuri dari sejarahnya, bahwa Hari Santri disahkan berdasarkan Keputusan Presiden(Keppres) nomor 22 Tahun 2015 Presiden Joko Widodo. Harapannya sebagai pengingat akan seruan jihad (berjuang) yang dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam mengusir penjajah. Sehingga, keberadaan ulama dan santri begitu penting semenjak sebelum kemerdekaan, merdeka, bahkan setelah kemerdekaan.
Dari sana, tentu setiap santri yang dididik oleh para ulama di pesantren merupakan cikal bakal penerus pengisi kehidupan di Indonesia. Perannya sangat penting dalam melakukan pembinaan dengan metode pendidikan pesantren yang berkualitas. Pembinaan dan pengajarannya sesuai pendidikan dalam Islam.
Sayangnya, keberadaan pesantren kini selalu menjadi sorotan “negatif” ditengah masyarakat. Mengapa? Sebab, berbagai kejadian yang kurang baik menyasar santri, guru, ataupun lembaga. Dimana dugaannya sebagai ‘sarang teroris’ yang berdampak pada islampobia. Dampaknya, masyarakat takut menyekolahkan anaknya di pesantren, dan yang lebih ektrim, mereka tidak mau mengkaji Islam kaffah.
Tak hanya itu, pesantren menghadapi ‘intervensi’ dari pengambil kebijakan dengan mengalihkan tujuan utamanya yakni mencetak ulama menjadi sebuah wadah penghasil ekonomi. Seperti salah satunya program One Pesantren One Product (OPOP). Terlihat bagaimana pesantren harus memiliki program kewirausahaan, agar para santri menjadi mandiri dan bisa mengembangkan perekonomian bangsa.
Sungguh sangat mengkhawatirkan kondisi pesantren zaman sekarang. Santri yang dicetak bukan sebagai calon ulama yang taat terhadap hukum Allah, tetapi sebaliknya. Mereka terkena paham sekularisme yang menjauhkan dari tugas utama seorang santri. Yaitu menjauhkan agama dari kehidupan, salah satunya perkara politik.
Politik itu sendri adalah mengatur urusan umat dengan menerapkan hukum-hukum Allah Swt. di tengah kehidupan. Kini, sudah saatnya mengembalikan peran politik santri ditengah umat dengan merujuk pada pola pendidikan Islam. Yaitu menerapkan kurikulum pesantren berbasis aqidah yang menghasilkan para santri berkepribadian islam. Sehingga, mereka siap terjun ke masyarakat sebagai rujukan umat.
Wallohu’alam bishshowwab.
Penulis : Heka Syamsiah