KUNINGAN (MASS) – Anak muda mana yang tak kenal valentine’s day?. Minimal pernah mendengar dan mengetahui apa itu hari valentine, walaupun mungkin belum pernah merayakannya. Sebagian anak muda lain bahkan ikut merayakan dan larut dalam seremonial hari kasih sayang yang diperingati setiap tanggal 14 Februari tersebut. Yang lucunya lagi budaya latah valentin melanda di sebagaian orang dewasa. walaupun sebatas bercanda dalam lisan.
Secara historis, menurut satu versi Valentine adalah nama dari seorang pendeta Roma pada Abad ketiga Masehi. Al-kisah Kaisar Claudius II melarang pernikahan, karena menurutnya pria yang sudah menikah adalah prajurit yang buruk. Valentine merasa hal itu tidak adil, jadi dia melanggar aturan dan mengatur pernikahan secara rahasia. Ketika Claudius mengetahuinya, Valentine dijebloskan ke penjara dan dijatuhi hukuman mati. Di dalam penjara, dia jatuh cinta kepada putri sipir penjara. Ketika dia akan dibunuh pada 14 Februari, ia menulis surat cinta dengan tulisan “dari Valentin Anda”
Dalam praktek dan perkembangannya, Valentine’s day sering jadi ajang melegalkan maksiat oleh para pelakunya dengan alasan atas nama cinta dan kasih sayang. Valentine’s day kerap dipahami oleh pelakunya sebagai sex day. Yang paling tahu persis fenomena ini adalah polisi lapangan. Tahun 2020 misalnya, Anggota Satpol PP dan petugas Dinas Sosial Kota Makassar mengamankan belasan remaja dalam razia yang digelar di hari Valentine.
Muda-mudi yang kedapatan di dalam kamar hotel langsung dibawa ke kantor Balai Kota. Karenanya, Disdik Kota Bekasi pernah mengeluarkan edaran berisi larangan bagi pelajar untuk merayakan Valentine’s Day. Edaran ini dibuat untuk menghindari kemudaratan yang dilakukan para pelajar dengan kedok perayaan Valentine’s Day. Langkah ini bahkan diikuti oleh beberapa daerah, seperti Disdik Kota bandung, Pemkot Banda Aceh, dll.
Hari valentine selalu menjadi pro dan kontra baik di kalangan remaja maupun di mata masyarakat. Banyaknya aksi penolakan terhadapnya sejatinya jika dikaji lebih dalam adalah sebuah bentuk perlawanan. Perlawanan terhadap budaya Barat yang dikhawatirkan akan meraksuk ke generasi muda. Kekhatiran inilah yang diistilahkan oleh najib Kaelani sebagai “moral panick” (kepanikan moral) terhadap fenomena masyarakat kaum muda yang semakin dilanda budaya permisif.
Membanjirnya budaya pop yang menghantam remaja sejak tahun 1970-an sampai 1990-an bagaimanapun telah membuat sebagian kalangan Muslim khawatir. Mereka berasumsi bahwa budaya pop telah menampilkan dan mengajak remaja untuk mengadopsi budaya Barat yang negatif seperti pakaian seksi, hubungan di luar nikah sebagaimana tergambar di film-film Hollywood dan MTV.
Kondisi inilah yang membuahkan “moral panics” sebagaimana tergambar di media-media Muslim. Sebagai contoh, hampir semua majalah muslim seperti Sabili, Ummi, dan Suara Hidayatullah selalu menghadirkan isu Valentine Day menjelang 14 Februari. Mereka mengajak remaja Muslim tidak merayakan hari Valentine sebab maknanya yang mengundang remaja untuk mengekspresikan daya tarik seksual mereka kepada lawan jenis secara bebas. Kebebasan dan kebablasan,
Salah satu fenomena distorsi kebablasan itu adalah pergaulan remaja yang sering disalah-gunakan untuk masa sekarang. Sering kali, atas nama kebebasan karena suka sama suka, sepasang anak muda berlainan jenis yang melakukan hubungan suami istri di luar nikah tak dapat dihukum, padahal undang-undang sendiri mengatur pernikahan.
Hal ini bisa tergambar dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita yang secara jujur harus kita akui sebagai warisan penjajah Belanda bahwa perzinaan merupakan delik aduan (klahrk delic) yang berarti polisi baru bisa menindak pelakunya kalau ada pengaduan dari si korban. Selama si korban perzinaan atau perkosaan tidak mengadu ke polisi maka dianggap terjadi suka sama suka dan karenanya tidak bisa diproses hukum.
Sebagai bahan renungan, pada tahun 2007 Komnas Perlindungan Anak bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) pernah melakukan survei di dua belas provinsi, hasilnya diperoleh pengakuan remaja bahwa Sebanyak 93,7% anak SMP dan SMU pernah melakukan ciuman, petting, dan oral seks, lalu sebanyak 62,7% anak SMP mengaku sudah tidak perawan, sebanyak 21,2% remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi, dari dua juta wanita Indonesia yang pernah melakukan aborsi, satu juta adalah remaja perempuan, dan sebanyak 97% pelajar SMP dan SMA mengaku suka menonton film porno
Sepertinya akibat fenomena di atas, kadang-kadang 5% sampai 10% dari jumlah calon pengantin yang daftar nikah ke KUA adalah pernikahan wanita yang hamil di luar nikah. Untung saja para ulama kita telah menyusun Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang membolehkan KUA menikahkan perkawinan wanita hamil dengan pria yang menghamilinya (Pasal 53 KHI). Jika tidak, maka kita sulit membayangkan bagaimana solusi atas permasalahan ini.
Dalam skup yang lebih kecil kita melihat budaya permisif melanda begitu masif. Setiap akhir pekan kita sering melihat sepasang muda-mudi yang “mojok” di pinggir-pinggir jalan, di bawah pohon rindang, dan di obyek wisata atau di kamar hotel. Semua perilaku yang dulu dianggap tabu dan larangan kini dianggap biasa dan boleh-boleh saja bahkan menjadi tontonan biasa. Di kalangan remaja bahkan tumbuh rasa bangga jika ia punya pacar dan bisa jalan berdua kemana-mana. Sebaliknya bagi yang menjomblo dianggap kuno, kurang laku dan tidak gaul.
Jika ditelusuri lebih lanjut, ini adalah sebuah konsekwensi sistemik dari era teknologi komunikasi yang begitu masif menyerang kehidupan kita dengan tanpa ampun. Kepada siapapun, tidak peduli tua, muda, laki-laki maupun perempuan, jika ia tipis keimanan, teknologi yang membawa manfaat kini menjadi petaka. Puluhan tahun ke belakang, fenomena ini sejatinya sudah diramalkan futurolog Alvin Toffler yang menyatakan bahwa pada era teknologi komunikasi nanti dan ini sebuah kenyataan sekarang, kita semua akan menjadi “masyarakat yang hilang”. Teknologi mengambil peran lebih besar dibanding manusia. Manusia akan menjadi budak dari teknologi itu sendiri.
Atas dasar itu semua, kepanikan kita dan beberapa Pemda serta Dinas Pendidikan di beberapa daerah menjadi sangat beralasan, walaupun harus dengan menuai protes dari beberapa netizen. Kepada Pemda Banda Aceh, ada yang menulis bahwa sampai sekarang dirinya tidak pernah tahu apa alasannya Valentine’s Day tidak diperbolehkan. Begitupun kepada Pemda Makasar, bahwa razia kondom hanya akan meningkatkan angka penderita HIV/AIDS. Maka ketahuilah, hal ini dilakukan demi menutup rapat-rapat keburukan dan kemaksiatan dengan mengatasnamakan cinta dan kasih sayang wallahu a’lam bissawwab.
Oleh : H. Muhamad Jaenudin, S.Ag. MH. (Kepala KUA Kecamatan Pancalang)